
RI Harusnya Tak Hanya Tahan Impor Barang Konsumsi
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
23 August 2018 15:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengambil langkah untuk menekan defisit perdagangan Indonesia yang semakin menjadi-jadi. Di sisi impor, Kemendag akan melakukan pengendalian impor barang konsumsi.
Otoritas perdagangan RI itu tengah bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas rencana pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap barang impor yang sudah ada substitusinya di dalam negeri.
Sebagai informasi, pada periode Juli 2018 ekspor Indonesia tembus US$16,24 miliar atau tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi US$18,27 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai US$2,03 miliar.
Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir, atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini (hingga bulan Juli 2018), defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,1 miliar.
Lantas, apakah kebijakan menahan impor barang konsumsi akan efektif?
Pertama-tama, kita perlu mengetahui barang konsumsi apa saja yang sebenarnya paling banyak diimpor oleh Indonesia pada tahun 2017. Dalam daftar 20 besar yang disusun oleh tim riset CNBC Indonesia, posisi puncak dipegang oleh hasil minyak bumi dengan nilai impor mencapai US$14,12 miliar (atau Rp197,67 triliun menggunakan kurs Rp14.000/US$)
Nilai impor hasil minyak bumi tersebut jauh mengungguli propana/butana cair dan gula/madu, yang duduk di posisi ke-2 dan ke-3. Sebagai informasi, RI mengimpor kedua produk tersebut masing-masing sebesar US$2,71 miliar (Rp37,89 triliun) dan US$2,31 miliar (Rp32,29 triliun).
Produk lainnya yang mendominasi impor barang konsumsi tanah air di antaranya kendaraan untuk pengangkutan barang, kapal/perahu, buah-buahan, piring/map plastik, kendaraan penumpang, barang-barang plastik lainnya, hingga emas (non-moneter). Berikut 20 besar barang konsumsi yang paling banyak diimpor oleh RI.
Jika memang Kemendag ingin menyelamatkan defisit neraca perdagangan, produk-produk yang disebutkan di atas wajib masuk ke dalam daftar barang-barang yang harus dikurangi impornya. Yang paling signifikan tentunya hasil minyak bumi.
Sebagai informasi, dari defisit perdagangan sebesar US$2,03 miliar pada bulan lalu, sebagian besarnya disumbangkan oleh defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$1,19 miliar. Artinya, jebloknya defisit migas menyumbang nyaris 60% dari defisit neraca perdagangan nasional.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas kilang minyak dalam negeri sudah tidak bisa ditunda lagi. Baik revitalisasi kilang eksisting, maupun pembangunan kilang minyak baru. Sudah lebih dari 20 tahun, Indonesia tidak lagi membangun kilang minyak, padahal kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu meningkat. Terakhir kilang minyak yang dibangun adalah di Sorong, yakni tahun 1995.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa impor barang konsumsi hanya berkontribusi kecil bagi total impor Indonesia. Pada tahun 2017, impor barang konsumsi hanya menyumbang 9,18% bagi total impor tanah air. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh bahan baku, yakni mencapai 76,33%. Sementara itu, impor barang modal berkontribusi sebesar 14,49%.
Dengan porsi yang jauh lebih kecil dari impor bahan baku, penahanan impor barang konsumsi hanya akan memberikan dampak yang amat minim. Tujuan semula untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan bisa jadi tidak akan dicapai dengan maksimal.
Apalagi, pemerintah perlu ingat bahwa menahan impor barang konsumsi tentunya akan menciptakan efek inflatoir bagi barang-barang konsumsi di dalam negeri. Di saat barang-barang konsumsi menjadi lebih mahal, maka daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.
Atas dasar tersebut, baiknya kebijakan menahan impor juga perlu dipasangkan dengan kebijakan lainnya yang bisa menjaga harga barang-barang konsumsi dalam negeri. Produksi dalam negeri mau tidak mau harus digenjot, plus dapat didistribusikan dengan baik. Selain hasil minyak bumi, barang-barang semacam gula/madu, buah-buahan, atau piring/map plastik, seharusnya bisa dipasok lebih banyak dari dalam negeri.
Tapi perlu diingat bahwa membuat kilang minyak atau menggenjot produksi gula, kemungkinan besar akan menaikkan impor bahan baku atau barang modal yang sejatinya berkontribusi paling besar bagi total impor Indonesia. Akhirnya, apapun upaya Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, ujung-ujungnya akan terbentur pada ketidakmampuan industri pengolahan RI memasok kebutuhan bahan baku dan barang modal dalam negeri.
Kini, bola panas ada di Kemenperin, bukan di Kemendag. Kebijakan baik dari Kemendag tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada upaya Kemenperin untuk memecahkan permasalahan deindustrialisasi yang sedang terjadi di tanah air.
(RHG/ray) Next Article Demi Rupiah, PPh Impor 900 Barang Konsumsi Dikaji Ulang!
Otoritas perdagangan RI itu tengah bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas rencana pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap barang impor yang sudah ada substitusinya di dalam negeri.
Sebagai informasi, pada periode Juli 2018 ekspor Indonesia tembus US$16,24 miliar atau tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi US$18,27 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai US$2,03 miliar.
Lantas, apakah kebijakan menahan impor barang konsumsi akan efektif?
Pertama-tama, kita perlu mengetahui barang konsumsi apa saja yang sebenarnya paling banyak diimpor oleh Indonesia pada tahun 2017. Dalam daftar 20 besar yang disusun oleh tim riset CNBC Indonesia, posisi puncak dipegang oleh hasil minyak bumi dengan nilai impor mencapai US$14,12 miliar (atau Rp197,67 triliun menggunakan kurs Rp14.000/US$)
Nilai impor hasil minyak bumi tersebut jauh mengungguli propana/butana cair dan gula/madu, yang duduk di posisi ke-2 dan ke-3. Sebagai informasi, RI mengimpor kedua produk tersebut masing-masing sebesar US$2,71 miliar (Rp37,89 triliun) dan US$2,31 miliar (Rp32,29 triliun).
Produk lainnya yang mendominasi impor barang konsumsi tanah air di antaranya kendaraan untuk pengangkutan barang, kapal/perahu, buah-buahan, piring/map plastik, kendaraan penumpang, barang-barang plastik lainnya, hingga emas (non-moneter). Berikut 20 besar barang konsumsi yang paling banyak diimpor oleh RI.
Jika memang Kemendag ingin menyelamatkan defisit neraca perdagangan, produk-produk yang disebutkan di atas wajib masuk ke dalam daftar barang-barang yang harus dikurangi impornya. Yang paling signifikan tentunya hasil minyak bumi.
Sebagai informasi, dari defisit perdagangan sebesar US$2,03 miliar pada bulan lalu, sebagian besarnya disumbangkan oleh defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$1,19 miliar. Artinya, jebloknya defisit migas menyumbang nyaris 60% dari defisit neraca perdagangan nasional.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas kilang minyak dalam negeri sudah tidak bisa ditunda lagi. Baik revitalisasi kilang eksisting, maupun pembangunan kilang minyak baru. Sudah lebih dari 20 tahun, Indonesia tidak lagi membangun kilang minyak, padahal kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu meningkat. Terakhir kilang minyak yang dibangun adalah di Sorong, yakni tahun 1995.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa impor barang konsumsi hanya berkontribusi kecil bagi total impor Indonesia. Pada tahun 2017, impor barang konsumsi hanya menyumbang 9,18% bagi total impor tanah air. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh bahan baku, yakni mencapai 76,33%. Sementara itu, impor barang modal berkontribusi sebesar 14,49%.
Dengan porsi yang jauh lebih kecil dari impor bahan baku, penahanan impor barang konsumsi hanya akan memberikan dampak yang amat minim. Tujuan semula untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan bisa jadi tidak akan dicapai dengan maksimal.
Apalagi, pemerintah perlu ingat bahwa menahan impor barang konsumsi tentunya akan menciptakan efek inflatoir bagi barang-barang konsumsi di dalam negeri. Di saat barang-barang konsumsi menjadi lebih mahal, maka daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.
Atas dasar tersebut, baiknya kebijakan menahan impor juga perlu dipasangkan dengan kebijakan lainnya yang bisa menjaga harga barang-barang konsumsi dalam negeri. Produksi dalam negeri mau tidak mau harus digenjot, plus dapat didistribusikan dengan baik. Selain hasil minyak bumi, barang-barang semacam gula/madu, buah-buahan, atau piring/map plastik, seharusnya bisa dipasok lebih banyak dari dalam negeri.
Tapi perlu diingat bahwa membuat kilang minyak atau menggenjot produksi gula, kemungkinan besar akan menaikkan impor bahan baku atau barang modal yang sejatinya berkontribusi paling besar bagi total impor Indonesia. Akhirnya, apapun upaya Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, ujung-ujungnya akan terbentur pada ketidakmampuan industri pengolahan RI memasok kebutuhan bahan baku dan barang modal dalam negeri.
Kini, bola panas ada di Kemenperin, bukan di Kemendag. Kebijakan baik dari Kemendag tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada upaya Kemenperin untuk memecahkan permasalahan deindustrialisasi yang sedang terjadi di tanah air.
(RHG/ray) Next Article Demi Rupiah, PPh Impor 900 Barang Konsumsi Dikaji Ulang!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular