
Donald Trump vs The Fed, Siapa yang Salah?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 August 2018 10:34

Sebenarnya langkah The Fed mengetatkan kebijakan moneter sudah sesuai dengan pendekatan Keynesian. Saat ekonomi pulih, maka memang sudah sewajarnya otoritas fiskal dan moneter melakukan pengereman agar tidak terjadi overheat, yaitu pasokan tidak mampu memenuhi permintaan yang tumbuh terlalu cepat dan menghasilkan efek inflatoir dahsyat.
Sejak krisis keuangan global 2008, AS menerapkan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif. Stimulus fiskal digelontorkan, The Fed menurunkan suku bunga hingga ke kisaran 0% dan membeli surat-surat berharga untuk menyuntik likuiditas ke perekonomian.
Hasilnya adalah ekonomi AS pulih dengan kecepatan yang lumayan. Sejak kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi AS sudah menyentuh area positif setelah terkontraksi sampai nyaris 4% pada kuartal II-2009. Ekonomi AS terus tumbuh hingga mencapai 4,1% pada kuartal II-2018.
Oleh karena itu, The Fed mulai mewacanakan pengurangan stimulus moneter atau tapering-off pada 2013. The Fed baru benar-benar menaikkan suku bunga pada penghujung 2015, sehingga selama 2 tahun pelaku pasar dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Periode tarik-ulur ini dikenal dengan nama taper tantrum.
Namun ketika The Fed benar-benar sudah yakin terhadap prospek pemulihan ekonomi Negeri Adidaya, maka Yellen pun tidak ragu untuk mulai menaikkan suku bunga. The Fed hanya menjalankan prinsip ekonomi Keynesian. Kala ekonomi membaik dalam laju yang konstan, maka memang saatnya agak direm.
Dalam kacamata Keynesian, justru Trump yang salah. Sebab pada saat ekonomi melaju, Trump malah menambah nitro dalam perekonomian AS dengan memberikan stimulus fiskal. Berkebalikan dengan pemahaman Keynesian, yang saat ekonomi tumbuh kencang semestinya otoritas fiskal juga melakukan pengetatan seperti menaikkan tarif pajak, Trump malah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) baik untuk orang pribadi maupun badan.
Tidak hanya itu, Trump juga menambah belanja negara utamanya untuk pembangunan infrastruktur. Ekonomi yang sudah kencang dibuatnya lebih kencang lagi.
Kalau diteruskan, apa yang dilakukan Trump justru membahayakan ekonomi AS. Laju pertumbuhan ekonomi akan sulit terbendung, impor semakin membanjir karena produksi dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan, dan jangan lupa efek inflatoir.
Oleh karena itu, nitro yang disuntikkan Trump perlu diimbangi oleh bank sentral yang hawkish. Kebijakan moneter yang cenderung ketat dibutuhkan agar ekonomi AS tidak melaju terlalu kencang dan tidak terkendali.
Meski begitu, Trump tidak bisa disalahkan begitu saja. Apapun yang dia lakukan, semua demi AS. Membuat AS kembali digdaya, make America great again. Walau dalam prosesnya harus bersenggolan dengan bank sentral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sejak krisis keuangan global 2008, AS menerapkan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif. Stimulus fiskal digelontorkan, The Fed menurunkan suku bunga hingga ke kisaran 0% dan membeli surat-surat berharga untuk menyuntik likuiditas ke perekonomian.
Hasilnya adalah ekonomi AS pulih dengan kecepatan yang lumayan. Sejak kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi AS sudah menyentuh area positif setelah terkontraksi sampai nyaris 4% pada kuartal II-2009. Ekonomi AS terus tumbuh hingga mencapai 4,1% pada kuartal II-2018.
Oleh karena itu, The Fed mulai mewacanakan pengurangan stimulus moneter atau tapering-off pada 2013. The Fed baru benar-benar menaikkan suku bunga pada penghujung 2015, sehingga selama 2 tahun pelaku pasar dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Periode tarik-ulur ini dikenal dengan nama taper tantrum.
Namun ketika The Fed benar-benar sudah yakin terhadap prospek pemulihan ekonomi Negeri Adidaya, maka Yellen pun tidak ragu untuk mulai menaikkan suku bunga. The Fed hanya menjalankan prinsip ekonomi Keynesian. Kala ekonomi membaik dalam laju yang konstan, maka memang saatnya agak direm.
Dalam kacamata Keynesian, justru Trump yang salah. Sebab pada saat ekonomi melaju, Trump malah menambah nitro dalam perekonomian AS dengan memberikan stimulus fiskal. Berkebalikan dengan pemahaman Keynesian, yang saat ekonomi tumbuh kencang semestinya otoritas fiskal juga melakukan pengetatan seperti menaikkan tarif pajak, Trump malah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) baik untuk orang pribadi maupun badan.
Tidak hanya itu, Trump juga menambah belanja negara utamanya untuk pembangunan infrastruktur. Ekonomi yang sudah kencang dibuatnya lebih kencang lagi.
Kalau diteruskan, apa yang dilakukan Trump justru membahayakan ekonomi AS. Laju pertumbuhan ekonomi akan sulit terbendung, impor semakin membanjir karena produksi dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan, dan jangan lupa efek inflatoir.
Oleh karena itu, nitro yang disuntikkan Trump perlu diimbangi oleh bank sentral yang hawkish. Kebijakan moneter yang cenderung ketat dibutuhkan agar ekonomi AS tidak melaju terlalu kencang dan tidak terkendali.
Meski begitu, Trump tidak bisa disalahkan begitu saja. Apapun yang dia lakukan, semua demi AS. Membuat AS kembali digdaya, make America great again. Walau dalam prosesnya harus bersenggolan dengan bank sentral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular