
Donald Trump vs The Fed, Siapa yang Salah?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 August 2018 10:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menyarangkan kritik kepada bank sentral Negeri Paman Sam, The Federal Reserve/The Fed. Lagi-lagi Trump mengkritik keputusan The Fed yang dinilai terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Sejak akhir 2015, The Fed terhitung sudah tujuh kali menaikkan Federal Funds Rate masing-masing 25 basis poin (bps). Saat ini, suku bunga kebijakan AS berada di 1,75-2%.
Tahun ini, The Fed sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan. Sampai akhir tahun, Jerome Powell dan kolega diperkirakan dua kali lagi menaikkan suku bunga acuan sehingga total menjadi empat kali selama 2018. Lebih banyak ketimbang proyeksi awal yaitu tiga kali.
Trump yang punya latar belakang pengusaha, apalagi properti, tentu tidak suka dengan yang namanya kenaikan suku bunga. Kebijakan ini akan memakan profitabilitas dunia usaha, membuat cuan menyusut. Laba, laba, laba, itulah nabi bagi para pengusaha.
"Saya tidak terkejut The Fed menaikkan suku bunga. Namun seharusnya The Fed bekerja untuk kebaikan negara. The Fed seharusnya membantu saya, negara-negara lain masih akomodatif (dalam kebijakan moneter)," tuturnya dalam wawancara dengan Reuters, kemarin malam waktu Indonesia.
Ini bukan kali pertama Trump mengkritik kebijakan The Fed. Jelang akhir Juli lalu, Trump pun melontarkan pernyataan senada.
"(Ekonomi) Kita membaik, dan setiap kali kita membaik mereka (The Fed) ingin menaikkan bunga. Saya tidak senang dengan itu, tetapi pada saat yang sama saya juga mempersilakan mereka melakukan yang terbaik. Saya hanya tidak suka kita sudah bekerja keras di bidang ekonomi tetapi kemudian suku bunga naik.
"Saya hanya menyatakan hak saya sebagai warga negara. Ada yang mengatakan 'sebaiknya Anda jangan katakan itu sebagai seorang presiden'. Saya tidak peduli karena pandangan saya belum berubah," tegas Trump dalam wawancara bersama CNBC International.
Sebelum menjadi presiden, Trump pun sudah konsisten mengkritik bank sentral. Pada pertengahan September 2016, Trump yang masih berstatus calon presiden (capres) mengatakan Janet Yellen, Gubernur The Fed kala itu, seharusnya malu.
"Yellen seharusnya malu terhadap apa yang diperbuatnya terhadap negara ini. Kala The Fed menaikkan suku bunga, maka hal-hal buruk akan terjadi. Mereka tidak melakukan pekerjaannya dengan benar!" tegas Trump dalam pidato kampanyenya.
Sejauh ini The Fed memang tidak menggubris serangan-serangan Trump. Pada Juli lalu, Powell and friends menegaskan bahwa bank sentral adalah institusi independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh pihak mana pun.
"Kami tidak memasukkan faktor politik dalam pertimbangan (kebijakan)," tegas Powell dalam sebuah acara radio, dikutip dari Reuters.
"Orang-orang boleh berkomentar, termasuk Bapak Presiden dan para politisi lainnya. Namun keputusan dan kebijakan terbaik ditentukan oleh Komite," kata James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Sebenarnya langkah The Fed mengetatkan kebijakan moneter sudah sesuai dengan pendekatan Keynesian. Saat ekonomi pulih, maka memang sudah sewajarnya otoritas fiskal dan moneter melakukan pengereman agar tidak terjadi overheat, yaitu pasokan tidak mampu memenuhi permintaan yang tumbuh terlalu cepat dan menghasilkan efek inflatoir dahsyat.
Sejak krisis keuangan global 2008, AS menerapkan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif. Stimulus fiskal digelontorkan, The Fed menurunkan suku bunga hingga ke kisaran 0% dan membeli surat-surat berharga untuk menyuntik likuiditas ke perekonomian.
Hasilnya adalah ekonomi AS pulih dengan kecepatan yang lumayan. Sejak kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi AS sudah menyentuh area positif setelah terkontraksi sampai nyaris 4% pada kuartal II-2009. Ekonomi AS terus tumbuh hingga mencapai 4,1% pada kuartal II-2018.
Oleh karena itu, The Fed mulai mewacanakan pengurangan stimulus moneter atau tapering-off pada 2013. The Fed baru benar-benar menaikkan suku bunga pada penghujung 2015, sehingga selama 2 tahun pelaku pasar dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Periode tarik-ulur ini dikenal dengan nama taper tantrum.
Namun ketika The Fed benar-benar sudah yakin terhadap prospek pemulihan ekonomi Negeri Adidaya, maka Yellen pun tidak ragu untuk mulai menaikkan suku bunga. The Fed hanya menjalankan prinsip ekonomi Keynesian. Kala ekonomi membaik dalam laju yang konstan, maka memang saatnya agak direm.
Dalam kacamata Keynesian, justru Trump yang salah. Sebab pada saat ekonomi melaju, Trump malah menambah nitro dalam perekonomian AS dengan memberikan stimulus fiskal. Berkebalikan dengan pemahaman Keynesian, yang saat ekonomi tumbuh kencang semestinya otoritas fiskal juga melakukan pengetatan seperti menaikkan tarif pajak, Trump malah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) baik untuk orang pribadi maupun badan.
Tidak hanya itu, Trump juga menambah belanja negara utamanya untuk pembangunan infrastruktur. Ekonomi yang sudah kencang dibuatnya lebih kencang lagi.
Kalau diteruskan, apa yang dilakukan Trump justru membahayakan ekonomi AS. Laju pertumbuhan ekonomi akan sulit terbendung, impor semakin membanjir karena produksi dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan, dan jangan lupa efek inflatoir.
Oleh karena itu, nitro yang disuntikkan Trump perlu diimbangi oleh bank sentral yang hawkish. Kebijakan moneter yang cenderung ketat dibutuhkan agar ekonomi AS tidak melaju terlalu kencang dan tidak terkendali.
Meski begitu, Trump tidak bisa disalahkan begitu saja. Apapun yang dia lakukan, semua demi AS. Membuat AS kembali digdaya, make America great again. Walau dalam prosesnya harus bersenggolan dengan bank sentral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, The Fed Pangkas Bunga Acuan!
Sejak akhir 2015, The Fed terhitung sudah tujuh kali menaikkan Federal Funds Rate masing-masing 25 basis poin (bps). Saat ini, suku bunga kebijakan AS berada di 1,75-2%.
Trump yang punya latar belakang pengusaha, apalagi properti, tentu tidak suka dengan yang namanya kenaikan suku bunga. Kebijakan ini akan memakan profitabilitas dunia usaha, membuat cuan menyusut. Laba, laba, laba, itulah nabi bagi para pengusaha.
"Saya tidak terkejut The Fed menaikkan suku bunga. Namun seharusnya The Fed bekerja untuk kebaikan negara. The Fed seharusnya membantu saya, negara-negara lain masih akomodatif (dalam kebijakan moneter)," tuturnya dalam wawancara dengan Reuters, kemarin malam waktu Indonesia.
Ini bukan kali pertama Trump mengkritik kebijakan The Fed. Jelang akhir Juli lalu, Trump pun melontarkan pernyataan senada.
"(Ekonomi) Kita membaik, dan setiap kali kita membaik mereka (The Fed) ingin menaikkan bunga. Saya tidak senang dengan itu, tetapi pada saat yang sama saya juga mempersilakan mereka melakukan yang terbaik. Saya hanya tidak suka kita sudah bekerja keras di bidang ekonomi tetapi kemudian suku bunga naik.
"Saya hanya menyatakan hak saya sebagai warga negara. Ada yang mengatakan 'sebaiknya Anda jangan katakan itu sebagai seorang presiden'. Saya tidak peduli karena pandangan saya belum berubah," tegas Trump dalam wawancara bersama CNBC International.
Sebelum menjadi presiden, Trump pun sudah konsisten mengkritik bank sentral. Pada pertengahan September 2016, Trump yang masih berstatus calon presiden (capres) mengatakan Janet Yellen, Gubernur The Fed kala itu, seharusnya malu.
"Yellen seharusnya malu terhadap apa yang diperbuatnya terhadap negara ini. Kala The Fed menaikkan suku bunga, maka hal-hal buruk akan terjadi. Mereka tidak melakukan pekerjaannya dengan benar!" tegas Trump dalam pidato kampanyenya.
Sejauh ini The Fed memang tidak menggubris serangan-serangan Trump. Pada Juli lalu, Powell and friends menegaskan bahwa bank sentral adalah institusi independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh pihak mana pun.
"Kami tidak memasukkan faktor politik dalam pertimbangan (kebijakan)," tegas Powell dalam sebuah acara radio, dikutip dari Reuters.
"Orang-orang boleh berkomentar, termasuk Bapak Presiden dan para politisi lainnya. Namun keputusan dan kebijakan terbaik ditentukan oleh Komite," kata James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Sebenarnya langkah The Fed mengetatkan kebijakan moneter sudah sesuai dengan pendekatan Keynesian. Saat ekonomi pulih, maka memang sudah sewajarnya otoritas fiskal dan moneter melakukan pengereman agar tidak terjadi overheat, yaitu pasokan tidak mampu memenuhi permintaan yang tumbuh terlalu cepat dan menghasilkan efek inflatoir dahsyat.
Sejak krisis keuangan global 2008, AS menerapkan kebijakan fiskal dan moneter ekspansif. Stimulus fiskal digelontorkan, The Fed menurunkan suku bunga hingga ke kisaran 0% dan membeli surat-surat berharga untuk menyuntik likuiditas ke perekonomian.
Hasilnya adalah ekonomi AS pulih dengan kecepatan yang lumayan. Sejak kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi AS sudah menyentuh area positif setelah terkontraksi sampai nyaris 4% pada kuartal II-2009. Ekonomi AS terus tumbuh hingga mencapai 4,1% pada kuartal II-2018.
Oleh karena itu, The Fed mulai mewacanakan pengurangan stimulus moneter atau tapering-off pada 2013. The Fed baru benar-benar menaikkan suku bunga pada penghujung 2015, sehingga selama 2 tahun pelaku pasar dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Periode tarik-ulur ini dikenal dengan nama taper tantrum.
Namun ketika The Fed benar-benar sudah yakin terhadap prospek pemulihan ekonomi Negeri Adidaya, maka Yellen pun tidak ragu untuk mulai menaikkan suku bunga. The Fed hanya menjalankan prinsip ekonomi Keynesian. Kala ekonomi membaik dalam laju yang konstan, maka memang saatnya agak direm.
Dalam kacamata Keynesian, justru Trump yang salah. Sebab pada saat ekonomi melaju, Trump malah menambah nitro dalam perekonomian AS dengan memberikan stimulus fiskal. Berkebalikan dengan pemahaman Keynesian, yang saat ekonomi tumbuh kencang semestinya otoritas fiskal juga melakukan pengetatan seperti menaikkan tarif pajak, Trump malah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) baik untuk orang pribadi maupun badan.
Tidak hanya itu, Trump juga menambah belanja negara utamanya untuk pembangunan infrastruktur. Ekonomi yang sudah kencang dibuatnya lebih kencang lagi.
Kalau diteruskan, apa yang dilakukan Trump justru membahayakan ekonomi AS. Laju pertumbuhan ekonomi akan sulit terbendung, impor semakin membanjir karena produksi dalam negeri tidak sanggup memenuhi permintaan, dan jangan lupa efek inflatoir.
Oleh karena itu, nitro yang disuntikkan Trump perlu diimbangi oleh bank sentral yang hawkish. Kebijakan moneter yang cenderung ketat dibutuhkan agar ekonomi AS tidak melaju terlalu kencang dan tidak terkendali.
Meski begitu, Trump tidak bisa disalahkan begitu saja. Apapun yang dia lakukan, semua demi AS. Membuat AS kembali digdaya, make America great again. Walau dalam prosesnya harus bersenggolan dengan bank sentral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Tak Ada Angin Tak Ada Hujan, The Fed Pangkas Bunga Acuan!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular