Kata Pengusaha Soal Jatuhnya Lira yang Sebabkan Krisis Turki
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
13 August 2018 13:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha terus memperhatikan bagaimana perkembangan krisis di Turki yang menyebabkan anjloknya nilai tukar lira. Meski begitu, untuk saat ini belum ada kekhawatiran berlebih dari pengusaha Indonesia atas hal itu.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan International Shinta W Kamdani menjelaskan, pelemahan lira membuat utang swasta di Turki yang sekitar 70% GDP dalam bentuk dolar AS naik dan menjadi terlalu besar.
[Gambas:Video CNBC]
"Bank-bank atau institusi keuangan kita yang terekspos krisis ini saya rasa sedikit atau bahkan tidak, karena lebih banyak ke bank-bank Eropa dan AS," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, Senin (13/8/2018).
Dia melanjutkan, per Januari 2018, 72,2% utang luar negeri swasta Indonesia didominasi di sektor keuangan, indsutri pengolahan, pertambangan, serta pengadaan listrik, gas, dan air bersih. Oleh karena itu, dia melihat spillover atas kondisi ekonomi Turki akan terfokus di Eropa dan AS.
"Meskipun begitu saat ini kami masih melihat dulu dampaknya seperti apa dan bagaimana sentimennya terhadap negara berkembang seperti kita, jangan sampai ada spillover sampai ke sini," tutur Shinta.
Atas pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp 14.600 pada perdagangan pagi ini, Shinta mengatakan ini merupakan dampak kumulatif beberapa hal. Misal, financial deepening atau kedalaman sektor finansial yang masih dangkal.
"Contohnya pasar modal, karena banyak investor merupakan pemain asing, begitu pemerintah AS mengumumkan tax cut, mereka langsung mengalihkan modalnya. Lain cerita bila yang masuk di pasar modal adalah orang-orang kita sendiri. Tentu mereka akan berpikir beberapa kali untuk mengalihkan sahamnya ke luar negeri karena kedekatan psikologis," jelasnya.
Selain itu, pelemahan rupiah akhir-akhir ini juga disebabkan kegiatan ekspor yang belum bisa berlari kencang serta pembangunan infrastruktur yang terlambat. Namun di sisi lain, walau terlambat, pembangunan saat ini dapat berdampak positif dalam jangka panjang.
Untuk solusi, dia mengakui tidak ada hal yang dapat dilakukan dalam jangka pendek. Kenaikan BI Rate pada Juni lalu pun baru mulai direspon oleh bank-bank swasta pada bulan ini dengan menaikkan suku bunga masing-masing.
Maka dari itu, dia mengatakan usaha perbaikan ekonomi harus terintegrasi mulai dengan memperbaiki struktur ekspor, meningkatkan investasi berkualitas, meneruskan pembangunan infrastruktur, serta mendorong sektor manufaktur bernilai tambah tinggi.
"Kami kurang sejalan bila pemerintah mengambil jalan pintas, misalnya memaksa konversi devisa hasil ekspor (DHE) kepada pengusaha, karena permasalahan ini struktural, bukan case per case karena kondisi global," jelasnya.
(dru) Next Article Krisis Mata Uang Turki Menjalar ke Euro
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan International Shinta W Kamdani menjelaskan, pelemahan lira membuat utang swasta di Turki yang sekitar 70% GDP dalam bentuk dolar AS naik dan menjadi terlalu besar.
[Gambas:Video CNBC]
"Bank-bank atau institusi keuangan kita yang terekspos krisis ini saya rasa sedikit atau bahkan tidak, karena lebih banyak ke bank-bank Eropa dan AS," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, Senin (13/8/2018).
"Meskipun begitu saat ini kami masih melihat dulu dampaknya seperti apa dan bagaimana sentimennya terhadap negara berkembang seperti kita, jangan sampai ada spillover sampai ke sini," tutur Shinta.
Atas pelemahan rupiah yang sempat menyentuh Rp 14.600 pada perdagangan pagi ini, Shinta mengatakan ini merupakan dampak kumulatif beberapa hal. Misal, financial deepening atau kedalaman sektor finansial yang masih dangkal.
"Contohnya pasar modal, karena banyak investor merupakan pemain asing, begitu pemerintah AS mengumumkan tax cut, mereka langsung mengalihkan modalnya. Lain cerita bila yang masuk di pasar modal adalah orang-orang kita sendiri. Tentu mereka akan berpikir beberapa kali untuk mengalihkan sahamnya ke luar negeri karena kedekatan psikologis," jelasnya.
Selain itu, pelemahan rupiah akhir-akhir ini juga disebabkan kegiatan ekspor yang belum bisa berlari kencang serta pembangunan infrastruktur yang terlambat. Namun di sisi lain, walau terlambat, pembangunan saat ini dapat berdampak positif dalam jangka panjang.
Untuk solusi, dia mengakui tidak ada hal yang dapat dilakukan dalam jangka pendek. Kenaikan BI Rate pada Juni lalu pun baru mulai direspon oleh bank-bank swasta pada bulan ini dengan menaikkan suku bunga masing-masing.
Maka dari itu, dia mengatakan usaha perbaikan ekonomi harus terintegrasi mulai dengan memperbaiki struktur ekspor, meningkatkan investasi berkualitas, meneruskan pembangunan infrastruktur, serta mendorong sektor manufaktur bernilai tambah tinggi.
"Kami kurang sejalan bila pemerintah mengambil jalan pintas, misalnya memaksa konversi devisa hasil ekspor (DHE) kepada pengusaha, karena permasalahan ini struktural, bukan case per case karena kondisi global," jelasnya.
(dru) Next Article Krisis Mata Uang Turki Menjalar ke Euro
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular