
Kritikan Bertubi INDEF ke Jokowi saat PDB Melesat 5,27%
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
08 August 2018 14:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melihat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kuartal II-2018 sebesar 5,27% tidak mampu menolong rupiah dari keterpurukan. Sejak awal tahun, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah di kisaran 6%.
INDEF juga memandang pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kuartal II-2018 merupakan puncaknya, ke depan pertumbuhan ekonomi akan melambat seiring tak ada stimulus dari pemerintah.
Ekonom INDEF Henny Sri Hartati mengatakan, seharusnya dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka nilai Rupiah juga bisa menguat. Tapi ternyata hal itu tidak berlaku, terlihat dari Rupiah yang hanya menguat beberapa hari setelah pengumuman hasil pertumbuhan ekonomi.
"Kalau Rupiah harusnya dengan pertumbuhan 5,27% otomatis menguat tapi kondisinya setelah 2 hari pengumuman (PDB), Rupiah tidak menguat signifikan, artinya pemain pasar uang memiliki perhitungan atau kalkulatornya sendiri di aksi pasar keuangan," ungkap Henny di Kantornya, Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Selain itu, Ekonom INDEF Eko Listiyanto juga berpendapat sama dengan Enny. Dia menilai Rupiah yang kembali melemah setelah pengumuman pertumbuhan ini karena para analis tidak hanya melihat pertumbuhan yang tinggi tapi juga faktor pendorong yang ternyata menurun.
"Katakanlah (PDB) menjadi obat bagi upaya stabilisasi tapi hanya sehari saja itu menguat terus depresiasi lagi. Kenapa begitu karena memang saya rasa para analis pasar uang melihat bahwa pertumbuhan yang tinggi terjadi sepenuhnya di dorong oleh konsumsi justru ada fenomena penurunan dari sisi industri dan juga PMTB-nya," kata Eko.
"Padahal 2 indikator itu bisa dikatakan leading indikator terhadap prospek investasi dan sektor rill ke depan," jelasnya.
Selain itu, pembagian dividen juga disebutkan menjadi salah satu faktor domestik yang bisa membuat Rupiah melamah.
"Saya rasa selain tadi dari sisi investasi, yang lainnya Rupiah itu ada momentum biasanya pembagian dividen, kalau enggak di kuartal II ya biasanya September. Di kuartal III terkadang menjadi bagian penting dunia usaha. Pengusaha akan menghitung apakah di 3 bulan sisi bisa capai target apa enggak," imbuhnya.
Sementara itu, dari sisi global masih harus diwaspadai adalah kenaikan suku bunga The Fed pada September dan Desember serta perang dagang AS dan negara mitra dagangnya yang masih berlangsung.
"Dugaan saya sampai akhir tahun bisa depresiasi Rp 100-Rp 200 masih sangat mungkin sampai Rp 14.700 sampai akhir tahun," tutupnya.
(dru) Next Article Uji Nyali Rupiah di 2020
INDEF juga memandang pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kuartal II-2018 merupakan puncaknya, ke depan pertumbuhan ekonomi akan melambat seiring tak ada stimulus dari pemerintah.
Ekonom INDEF Henny Sri Hartati mengatakan, seharusnya dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka nilai Rupiah juga bisa menguat. Tapi ternyata hal itu tidak berlaku, terlihat dari Rupiah yang hanya menguat beberapa hari setelah pengumuman hasil pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Ekonom INDEF Eko Listiyanto juga berpendapat sama dengan Enny. Dia menilai Rupiah yang kembali melemah setelah pengumuman pertumbuhan ini karena para analis tidak hanya melihat pertumbuhan yang tinggi tapi juga faktor pendorong yang ternyata menurun.
"Katakanlah (PDB) menjadi obat bagi upaya stabilisasi tapi hanya sehari saja itu menguat terus depresiasi lagi. Kenapa begitu karena memang saya rasa para analis pasar uang melihat bahwa pertumbuhan yang tinggi terjadi sepenuhnya di dorong oleh konsumsi justru ada fenomena penurunan dari sisi industri dan juga PMTB-nya," kata Eko.
"Padahal 2 indikator itu bisa dikatakan leading indikator terhadap prospek investasi dan sektor rill ke depan," jelasnya.
Selain itu, pembagian dividen juga disebutkan menjadi salah satu faktor domestik yang bisa membuat Rupiah melamah.
"Saya rasa selain tadi dari sisi investasi, yang lainnya Rupiah itu ada momentum biasanya pembagian dividen, kalau enggak di kuartal II ya biasanya September. Di kuartal III terkadang menjadi bagian penting dunia usaha. Pengusaha akan menghitung apakah di 3 bulan sisi bisa capai target apa enggak," imbuhnya.
Sementara itu, dari sisi global masih harus diwaspadai adalah kenaikan suku bunga The Fed pada September dan Desember serta perang dagang AS dan negara mitra dagangnya yang masih berlangsung.
"Dugaan saya sampai akhir tahun bisa depresiasi Rp 100-Rp 200 masih sangat mungkin sampai Rp 14.700 sampai akhir tahun," tutupnya.
(dru) Next Article Uji Nyali Rupiah di 2020
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular