
Newsletter
Hati-hati, Dolar AS Bisa Balas Dendam
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 August 2018 05:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Padahal bursa utama Asia kompak mengakhiri hari di teritori positif.
Kemarin, IHSG ditutup minus 0,16%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,87 triliun dengan volume 9,11 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 399.556 kali.
Padahal, mayoritas bursa utama Asia menguat bahkan beberapa di antaranya cukup signifikan. Indeks Nikkei 225 naik 0,69%, Hang Seng melesat 1,54%, Shanghai Composite terbang 2,4%, Kospi menguat 0,6%, dan Straits Time melaju 1,66%.
Kekhawatiran perang dagang yang mereda membuat investor berani mengambil risiko alias risk-on. Tidak ada perkembangan signifikan dari isu ini kemarin, sehingga investor berani masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia.
Apalagi kemarin nilai tukar yuan China terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat sampai 0,33%. Selama ini, AS menuding China sengaja melemahkan mata uangnya agar harga barang-barang Negeri Tirai Bambu tetap murah di pasar global sehingga mendukung kinerja ekspor mereka.
Namun sejatinya penguatan yuan kemarin juga disebabkan intervensi Bank Sentral China (PBoC) yang menetapkan kurs tengah yang lebih kuat. Kemarin, kurs tengah yuan dipatok di level CNY 6,8431/US$ atau lebih kuat 0,12% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Isu perang dagang yang agak adem ayem membuat investor berani masuk ke Asia. Korban dari perilaku ini adalah dolar AS, yang akhirnya melemah. Hingga penutupan pasar spot valas Indonesia kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang lainnya) turun 0,25%.
Investor berbondong-bondong melepas dolar AS dan instrumen-instrumen berbasis mata uang ini. Buktinya adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.
Kemarin sore, yield obligasi pemerintah tenor 5 tahun naik 1,2 basis poin (bps) ke 2,8159%. Sementara yield tenor 10 tahun naik 1,3 bps menjadi 2,9506% dan 30 tahun naik 1,4 bps ke 3,095%.
Kenaikan yield merupakan cerminan penurunan harga akibat aksi jual investor. Dana hasil penjualan ini kemudian masuk ke Asia dan memperkuat bursa saham maupun mata uang Benua Kuning.
Sebenarnya dana-dana itu juga masuk ke pasar saham Indonesia. Terlihat dari koreksi IHSG yang membaik dibandingkan penutupan perdagangan Sesi I yaitu 0,27%. Namun karena pada awal pekan sudah menguat tajam akibat rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018, aksi ambil untung (profit taking) membuat IHSG tidak mampu menembus zona hijau.
Kemarin, IHSG ditutup minus 0,16%. Nilai transaksi tercatat Rp 7,87 triliun dengan volume 9,11 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 399.556 kali.
Padahal, mayoritas bursa utama Asia menguat bahkan beberapa di antaranya cukup signifikan. Indeks Nikkei 225 naik 0,69%, Hang Seng melesat 1,54%, Shanghai Composite terbang 2,4%, Kospi menguat 0,6%, dan Straits Time melaju 1,66%.
Kekhawatiran perang dagang yang mereda membuat investor berani mengambil risiko alias risk-on. Tidak ada perkembangan signifikan dari isu ini kemarin, sehingga investor berani masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia.
Apalagi kemarin nilai tukar yuan China terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat sampai 0,33%. Selama ini, AS menuding China sengaja melemahkan mata uangnya agar harga barang-barang Negeri Tirai Bambu tetap murah di pasar global sehingga mendukung kinerja ekspor mereka.
Namun sejatinya penguatan yuan kemarin juga disebabkan intervensi Bank Sentral China (PBoC) yang menetapkan kurs tengah yang lebih kuat. Kemarin, kurs tengah yuan dipatok di level CNY 6,8431/US$ atau lebih kuat 0,12% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Isu perang dagang yang agak adem ayem membuat investor berani masuk ke Asia. Korban dari perilaku ini adalah dolar AS, yang akhirnya melemah. Hingga penutupan pasar spot valas Indonesia kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang lainnya) turun 0,25%.
Investor berbondong-bondong melepas dolar AS dan instrumen-instrumen berbasis mata uang ini. Buktinya adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.
Kemarin sore, yield obligasi pemerintah tenor 5 tahun naik 1,2 basis poin (bps) ke 2,8159%. Sementara yield tenor 10 tahun naik 1,3 bps menjadi 2,9506% dan 30 tahun naik 1,4 bps ke 3,095%.
Kenaikan yield merupakan cerminan penurunan harga akibat aksi jual investor. Dana hasil penjualan ini kemudian masuk ke Asia dan memperkuat bursa saham maupun mata uang Benua Kuning.
Sebenarnya dana-dana itu juga masuk ke pasar saham Indonesia. Terlihat dari koreksi IHSG yang membaik dibandingkan penutupan perdagangan Sesi I yaitu 0,27%. Namun karena pada awal pekan sudah menguat tajam akibat rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018, aksi ambil untung (profit taking) membuat IHSG tidak mampu menembus zona hijau.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular