Sanksi Iran Berlaku Tapi Harga Minyak Naik Terbatas, Mengapa?

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
07 August 2018 11:51
Harga sang emas hitam mampu stabil di zona hijau, pasca kemarin kompak ditutup menguat di kisaran 0,75%.
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak jenis brent kontrak pengiriman Oktober 2018 bergerak menguat 0,34% ke level US$74,00/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak September 2018 naik tipis 0,09% ke US$69,07/barel pada perdagangan hari ini Selasa (07/08/2018) hingga pukul 11.15 WIB.

Harga sang emas hitam mampu stabil di zona hijau, pasca kemarin mampu kompak ditutup menguat di kisaran 0,75%. Sentimen utama yang menjadi penguatan harga minyak pada sehari lalu datang dari perkembangan di Timur Tengah yang menegangkan.



Hari ini, mulai pukul 11.00 WIB atau pukul 00.01 Eastern Time (ET), sebagian sanksi dari Amerika Serikat (AS) akan kembali aktif. Sanksi ini akan menyasar pembelian dolar AS oleh Iran, perdagangan logam, batu bara, perangkat lunak industri, dan sektor otomotif. Negeri Paman Sam juga berencana akan memberikan sanksi yang lebih banyak pada sektor perminyakan Iran pada bulan November 2018 mendatang.

Sebagai tambahan, salah seorang pejabat resmi AS menyatakan bahwa Presiden AS Donald Trump siap untuk bertemu dengan pemimpin Iran kapan saja, dalam rangka membuat kesepakatan baru yang lebih baik dibandingkan dengan kesepakatan pada tahun 2015 yang dibuat oleh mantan presiden Obama, seperti dilansir dari CNBC International.

Sayangnya, Presiden Iran Hassan Rouhani menolak mentah-mentah ajakan berunding dari AS tersebut. Menurutnya, Trump tidak tulus dalam perundingan ini karena punya maksud-maksud terselubung.

"Jika Anda menusuk orang dengan pisau dan kemudian ingin mengajaknya bicara, maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencabut pisaunya. Kami selalu terbuka untuk diplomasi dan perundingan, tetapi itu butuh kejujuran. Ajakan Trump hanya untuk konsumsi domestik jelang pemilu dan menciptakan kekacauan di Iran," papar Rouhani dalam sebuah wawancara televisi yang dikutip Reuters.

Kondisi di Negeri Persia yang sepertinya akan sulit menemui titik terang itu lantas memicu kekhawatiran akan teputusnya pasokan minyak dari Iran, salah satu pengekspor minyak mentah utama di dunia. Dengan adanya sanksi, Morgan Stanley memprediksi produksi Iran akan jatuh ke 2,7 juta barel per hari di kuartal IV-2018, dengan lebih dari 1 juta barel akan hilang dari pasar. Sentimen ini lantas mengerek harga sang emas hitam.

Meski demikian, sejauh ini pelaku pasar nampaknya masih cenderung bermain aman. Pasalnya, banyak negara, termasuk sekutu AS di Eropa, menentang dipulihkannya sanksi bagi Iran. Sejumlah diplomat utama Eropa bahkan sudah berjanji untuk bekerja bersama dalam menjaga kesepakatan nuklir dengan Iran pada tahun 2015.

Padahal, pemerintah AS ingin sebanyak mungkin negara untuk berhenti membeli minyak dari Teheran. "Ini kebijakan kita untuk membuat sebanyak mungkin negara ke titik nol (tidak membeli minyak sama sekali dari Iran), secepat mungkin yang kita bisa. Kita akan bekerja dengan secara kasus per kasus dengan negara lain, tapi tujuan kita untuk mereduksi jumlah pendapatan Iran," kata pejabat resmi AS kemarin, seperti dikutip dari Reuters.

Aksi "mitigasi" dari Uni Eropa dan sejumlah negara tersebut lantas bisa mengurangi dampak kerusakan bagi Iran. Akibatnya, penguatan harga minyak pagi ini pun relatif tidak sekencang pada perdagangan kemarin. 



(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular