
Sepekan, Dolar AS Terus Bertahan di Kisaran Rp 14.400-an
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
04 August 2018 20:45

Angin surga yang sempat mampir langsung sirna, pelemahan rupiah pun semakin tak terhindarkan. Penyebab utamanya sentimen eksternal yang begitu kuat, terutama sinyal kuat The Federal Reserve/The Fed akan lebih hawkish dari sebelumnya serta perang dagang antara AS dan China yang kembali memanas.
Pada beberapa waktu lalu, The Fed kembali melaksakanakan rapat bulanan untuk menentukan arah kebijakan moneternya. Hasilnya, The Fed menahan suku bunga acuan tetap berada di rentang 1,75-2%. Meskipun begitu, rupanya dolar AS tetap mampu menguat. Penyebabnya, pernyataan The Fed bernada hawkish beriringan dengan keputusan menahan suku bunga acuan tersebut.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed. Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) pada September mencapai 91,2%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 64,2%.
Proyeksi ini yang menyebabkan dolar AS tetap di atas angin meskipun the Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya saat ini.
Faktor lain datang dari perang dagang. Setelah sempat adem ayem beberapa saat, tensi antara AS dan China kembali memanas. Awal mula hal ini lagi-lagi berasal dari Presiden AS, Donald Trump. Sebelumnya Trump memerintahkan jajarannya untuk mengkaji kenaikan tarif menjadi 25% pada US$200 miliar produk China.
Arahan Trump kepada Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer itu terjadi saat Gedung Putih mencoba menggunakan bea masuk, di antara instrumen lainnya, untuk menekan China agar menghentikan praktik dagang tidak adilnya dan mencapai kesepakatan dagang baru.
China pun tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu disebut-sebut telah menyiapkan tarif impor balasan untuk Amerika Serikat (AS) senilai US$60 miliar (Rp 864 triliun).
"Pihak AS telah berulang kali meningkatkan situasi terhadap kepentingan perusahaan dan konsumen," katanya, seperti dilansir Reuters. "China harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan martabatnya dan kepentingan rakyatnya, perdagangan bebas dan sistem multilateral." Ujar sumber Kementerian Perdagangan China.
Semakin memanasnya tensi dua negara, menyebabkan investor mulai khawatir. Kondisi ini mendorong investor untuk melepas aset investasi yang beresiko tinggi seperti saham dan beralih ke safe haven asset. Akibatnya, pasar saham Asia termasuk Indonesia pun berguguran akibat aksi jual oleh investor asing. Pada akhir Jumat kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ditutup koreksi 0,07%. Aksi jual oleh investor asing pun menyentuh Rp 176,22 miliar.
Situasi ini semakin mendorong pelemahan rupiah semakin dalam, sehingga menjadi mata uang dengan nilai pelemahan tertinggi kedua di kawasan ASEAN.
(roy)
Pada beberapa waktu lalu, The Fed kembali melaksakanakan rapat bulanan untuk menentukan arah kebijakan moneternya. Hasilnya, The Fed menahan suku bunga acuan tetap berada di rentang 1,75-2%. Meskipun begitu, rupanya dolar AS tetap mampu menguat. Penyebabnya, pernyataan The Fed bernada hawkish beriringan dengan keputusan menahan suku bunga acuan tersebut.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed. Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) pada September mencapai 91,2%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 64,2%.
Proyeksi ini yang menyebabkan dolar AS tetap di atas angin meskipun the Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya saat ini.
Faktor lain datang dari perang dagang. Setelah sempat adem ayem beberapa saat, tensi antara AS dan China kembali memanas. Awal mula hal ini lagi-lagi berasal dari Presiden AS, Donald Trump. Sebelumnya Trump memerintahkan jajarannya untuk mengkaji kenaikan tarif menjadi 25% pada US$200 miliar produk China.
Arahan Trump kepada Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer itu terjadi saat Gedung Putih mencoba menggunakan bea masuk, di antara instrumen lainnya, untuk menekan China agar menghentikan praktik dagang tidak adilnya dan mencapai kesepakatan dagang baru.
China pun tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu disebut-sebut telah menyiapkan tarif impor balasan untuk Amerika Serikat (AS) senilai US$60 miliar (Rp 864 triliun).
"Pihak AS telah berulang kali meningkatkan situasi terhadap kepentingan perusahaan dan konsumen," katanya, seperti dilansir Reuters. "China harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan martabatnya dan kepentingan rakyatnya, perdagangan bebas dan sistem multilateral." Ujar sumber Kementerian Perdagangan China.
Semakin memanasnya tensi dua negara, menyebabkan investor mulai khawatir. Kondisi ini mendorong investor untuk melepas aset investasi yang beresiko tinggi seperti saham dan beralih ke safe haven asset. Akibatnya, pasar saham Asia termasuk Indonesia pun berguguran akibat aksi jual oleh investor asing. Pada akhir Jumat kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ditutup koreksi 0,07%. Aksi jual oleh investor asing pun menyentuh Rp 176,22 miliar.
Situasi ini semakin mendorong pelemahan rupiah semakin dalam, sehingga menjadi mata uang dengan nilai pelemahan tertinggi kedua di kawasan ASEAN.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular