
Tak Ingin Rupiah dan BUMN Jadi Korban? BBM Harus Naik!
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
02 August 2018 16:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus melemah. Salah satu faktornya adalah melebarnya defisit neraca perdagangan akibat derasnya impor.
BBM murah yang disubsidi pemerintah menyebabkan konsumsi dan impor minyak melonjak sehingga menimbulkan defisit perdagangan migas dan defisit neraca pembayaran. Defisit menyebabkan nilai tukar rupiah pun terpukul.
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) memang telah meninggalkan rezim subsidi BBM. Memang, rezim subsidi BBM telah ditinggalkan oleh banyak negara, Vietnam salah satunya. Bahkan tak sedikit negara mengenakan pajak terhadap BBM.
Namun, saat ini sang Presiden meminta Pertamina untuk tidak menaikkan harga Premium, padahal jika mengikuti tingginya minyak dunia, tak seharusnya Premium di angka Rp 6.500/liter.
BBM satu harga, itulah faktor yang membuat Pertamina selaku pengimpor dan penyalur subsidi BBM harus menanggung beban yang tidak sedikit. Pasalnya harga minyak dunia telah melambung cukup tinggi di mana ICP berada di US$ 66,5 per barel.
"Tak mudah memang, tapi jawaban dari ini adalah dengan benar-benar menerapkan keputusan yang sudah ditetapkan di awal. Melepas subsidi secara seluruhnya dan menaikkan harga BBM. Pemerintah telah memutuskan untuk melepas skema subsidi yang membuat BBM mengikuti harga pasar, tapi justru menahan harga, ini membuat keuangan Pertamina bisa terus berdaarah," kata mantan Menteri Keuangan Chatib Basri saat berbincang dengan CNBC Indonesia di bilangan Jakarta Pusat, Kamis (2/8/2018).
Menurut Chatib, bagi Pertamina mungkin saat ini tidak ada masalah. Karena BUMN tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang menangani perminyakan tanah air. "Jadi tidak mungkin neraca dibiarkan berdarah tanpa bantuan negara. Tapi nantinya akan mengorbankan APBN juga karena menanggung biaya subsidi kembali. Percuma subsidi dicabut dan dihapus namun penerapannya tidak dijalankan. Solusinya memang harus naik. Banyak yang akan terbantu dari kenaikan BBM tersebut," katanya.
Bagaimana dengan daya beli masyarakat?
Chatib menjelaskan, jika bicara soal kemiskinan justru penurunan menjadi single digit dikarenakan bantuan-bantuan pemerintah. Memang, menurut Chatib jika BBM dilepas mengikuti harga pasar, maka sebagai gantinya haruslah program bantuan langsung diperbanyak.
"Dan tepat sasaran. Maka nantinya daya beli akan terjaga," tuturnya.
Lalu, apakah situasi politik mendukung?
"Tidak mendukung. Namun haruslah dipilih. Saya melihat Presiden Jokowi berpeluang besar meneruskan pemerintahan satu periode kembali. Sebenarnya tidak akan terdampak proses politiknya jika tetap melepas harga BBM sesuai pasar, toh ada kompensasi yang masyarakat dapatkan," katanya.
(dru/gus) Next Article Ketika Rupiah Anjlok, Harga BBM Sempat Dinaikkan!
BBM murah yang disubsidi pemerintah menyebabkan konsumsi dan impor minyak melonjak sehingga menimbulkan defisit perdagangan migas dan defisit neraca pembayaran. Defisit menyebabkan nilai tukar rupiah pun terpukul.
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) memang telah meninggalkan rezim subsidi BBM. Memang, rezim subsidi BBM telah ditinggalkan oleh banyak negara, Vietnam salah satunya. Bahkan tak sedikit negara mengenakan pajak terhadap BBM.
Namun, saat ini sang Presiden meminta Pertamina untuk tidak menaikkan harga Premium, padahal jika mengikuti tingginya minyak dunia, tak seharusnya Premium di angka Rp 6.500/liter.
BBM satu harga, itulah faktor yang membuat Pertamina selaku pengimpor dan penyalur subsidi BBM harus menanggung beban yang tidak sedikit. Pasalnya harga minyak dunia telah melambung cukup tinggi di mana ICP berada di US$ 66,5 per barel.
"Tak mudah memang, tapi jawaban dari ini adalah dengan benar-benar menerapkan keputusan yang sudah ditetapkan di awal. Melepas subsidi secara seluruhnya dan menaikkan harga BBM. Pemerintah telah memutuskan untuk melepas skema subsidi yang membuat BBM mengikuti harga pasar, tapi justru menahan harga, ini membuat keuangan Pertamina bisa terus berdaarah," kata mantan Menteri Keuangan Chatib Basri saat berbincang dengan CNBC Indonesia di bilangan Jakarta Pusat, Kamis (2/8/2018).
Menurut Chatib, bagi Pertamina mungkin saat ini tidak ada masalah. Karena BUMN tersebut merupakan satu-satunya perusahaan yang menangani perminyakan tanah air. "Jadi tidak mungkin neraca dibiarkan berdarah tanpa bantuan negara. Tapi nantinya akan mengorbankan APBN juga karena menanggung biaya subsidi kembali. Percuma subsidi dicabut dan dihapus namun penerapannya tidak dijalankan. Solusinya memang harus naik. Banyak yang akan terbantu dari kenaikan BBM tersebut," katanya.
Bagaimana dengan daya beli masyarakat?
Chatib menjelaskan, jika bicara soal kemiskinan justru penurunan menjadi single digit dikarenakan bantuan-bantuan pemerintah. Memang, menurut Chatib jika BBM dilepas mengikuti harga pasar, maka sebagai gantinya haruslah program bantuan langsung diperbanyak.
"Dan tepat sasaran. Maka nantinya daya beli akan terjaga," tuturnya.
Lalu, apakah situasi politik mendukung?
"Tidak mendukung. Namun haruslah dipilih. Saya melihat Presiden Jokowi berpeluang besar meneruskan pemerintahan satu periode kembali. Sebenarnya tidak akan terdampak proses politiknya jika tetap melepas harga BBM sesuai pasar, toh ada kompensasi yang masyarakat dapatkan," katanya.
![]() |
(dru/gus) Next Article Ketika Rupiah Anjlok, Harga BBM Sempat Dinaikkan!
Most Popular