Newsletter

Habis Perang Dagang, Terbitlah Perang Mata Uang

Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 July 2018 05:37
Habis Perang Dagang, Terbitlah Perang Mata Uang
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat pada perdagangan kemarin. Padahal bursa saham utama Asia sedang berjatuhan. 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,73%. Nilai transaksi tercatat Rp 6,54 triliun dengan volume 7,4 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 322.388 kali.  

Sektor jasa keuangan menjadi salah satu motor utama penguatan IHSG, seiring dengan kenaikan harga saham emiten-emiten perbankan seperti BBTN (+2,67%), BBRI (+2,01%), BMRI (+0,79%), dan BBNI (+0,69%). Aksi beli dilakukan investor lantaran saham-saham tersebut sudah tertekan sepanjang pekan lalu, seiring dengan kinerja keuangan dari BMRI dan BBTN yang mengecewakan. 

Sepanjang kuartal-II 2018, BMRI membukukan laba bersih sebesar Rp 6,32 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 6,11 triliun. Namun, ada kekhawatiran mengenai pos pendapatan bunga bersih (net interest income) yang tak bisa memenuhi ekspektasi analis. Sepanjang kuartal II, pendapatan bunga bersih tercatat hanya sebesar Rp 13,3 triliun, cukup jauh di bawah konsensus yang sebesar Rp 13,75 triliun.   

Turunnya pendapatan bunga bersih merupakan hasil dari menipisnya marjin bunga bersih (net interest margin) perusahaan. Pada kuartal II, marjin bunga bersih turun menjadi 5,7%, dari yang sebelumnya 5,88%. 

Sebagai catatan, pendapatan bunga bersih merupakan 'nyawa' utama dari operasional sebuah bank. Ketika pendapatan bunga bersih tak mampu memenuhi harapan, ada ekspektasi bahwa kinclongnya bottom line perusahaan tak akan berlangsung lama. 

Di sisi lain, segudang risiko sejatinya mengintai jalannya perdagangan. Pertama, isu perang dagang antara AS dengan China. Dalam wawancaranya dengan CNBC International, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa dirinya siap mengenakan bea masuk untuk setiap sen barang impor asal China yang masuk ke negaranya. 

"Saya siap untuk naik menjadi 500," kata Trump. Pernyataan tersebut merujuk kepada nilai impor barang-barang asal China pada tahun 2017 yang mencapai US$ 505,5 miliar. Di sisi lain, AS hanya mengekspor barang senilai US$ 129,9 miliar ke Negeri Panda pada periode yang sama.

Pernyataan Trump ini lantas mengonfirmasi bahwa perundingan dagang dengan China tak berlangsung dengan baik. Situasinya kini bahkan menjadi semakin buruk. 

Kedua, muncul kabar bahwa bank sentral Jepang yakni Bank of Japan (BoJ) akan mempermanenkan stimulus moneter yang selama ini diberikan. Mengutip Reuters, seorang sumber mengatakan bahwa BoJ menggelar diskusi awal terkait kemungkinan untuk mengubah kebijakan moneternya, termasuk penyesuaian target suku bunga, mekanisme pembelian saham, serta cara-cara untuk membuat quantitative easing menjadi lebih berkelanjutan. 

Ketiga, sentimen negatif datang dari pertemuan menteri keuangan dan pejabat bank sentral negara-negara G20 pada akhir pekan lalu. Pertemuan itu ditutup dengan peringatan bahwa "ketegangan perdagangan dan politik yang meningkat" mengancam pertumbuhan ekonomi. Hal ini terkait dengan kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh AS kepada negara-negara mitra dagangnya seperti China, Kanada, Meksiko, dan negara-negara Uni Eropa. 

Keempat, makin panasnya tensi AS-Iran. Seperti diketahui, AS sudah keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran dan kemungkinan akan menjatuhkan sanksi bagi Teheran. Setelah dipulihkannya sanksi Iran, hubungan Negeri Persia dan Negeri Paman Sam semakin memburuk. 

Apabila situasi Timur Tengah makin memanas, bahkan sampai kembali ke skala perang, tentunya akan membawa risiko bagi pasar keuangan dan bursa saham global. Terlebih, Iran telah membangun sebuah pabrik yang dapat memproduksi rotor hingga 60 sentrifugal per hari. Pengumuman itu dibuat sebulan setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan dia telah memerintahkan agen untuk bersiap meningkatkan kapasitas pengayaan uranium jika kesepakatan nuklir dengan berbagai kekuatan dunia kolaps. 

Berbagai sentimen tersebut membuat bursa saham utama Asia terpeleset. Indeks Nikkei 225 turun 1,33%, Kospi minus 0,87%, dan Straits Times berkurang 0,12%. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif cenderung menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,06%, S&P 500 naik 0,18%, dan Nasdaq menguat 0,29%. 

Kinerja Wall Street yang cenderung positif ini didorong oleh optimisme semakin membaiknya performa emiten dan perekonomian AS secara keseluruhan. Kini, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan laba emiten di Wall Street pada kuartal II-2018 rata-rata tumbuh 22%. Naik dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 20,7%. 

Saham Alphabet Inc (induk Google) naik 1,09% setelah rilis laporan keuangan kuartal II-2018. Laba per saham (Earnings per Share/EPS) tercatat US$ 10,58, lebih baik ketimbang konsensus pasar yang memproyeksikan US$ 9,52. 

Pendapatan Alphabet pada kuartal lalu mencapai US$ 32,66 miliar, juga di atas perkiraan pasar yaitu di US$ 32,17 miliar. Sekitar 86% pendapatan itu disumbang oleh iklan di Google. 

Sementara saham perusahaan pemegang lisensi mainan Transformers dan G.I. Joe, Hasbro, melonjak 12,89%. Kerja sama dengan rumah produksi besar seperti Disney mendorong penjualan Hasbro, yang mampu menjadi solusi atas masalah bangkrutnya Toys R Us. Selama ini, penjualan di Toys R Us mencapai sekitar 10% dari total penjualan Hasbro. 

Terbukti kinerja mereka terdongkrak oleh penjualan action figure dari film-film Marvel yang merajai box office seperti Avengers: Infinity War atau Black Panther. Pendapatan Hasbro pada kuartal II-2018 adalah US$ 904,5 juta, di atas estimasi pasar yaitu US$ 833,1 juta. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang cenderung positif. Membaiknya performa Wall Street diharapkan menular ke Asia dan mampu mengantar IHSG finis di jalur hijau.

Kedua, isu perang dagang memang sedikit mereda tetapi investor tetap perlu pasang kuda-kuda. Kini perang dagang melebar ke isu baru tapi lama yaitu perang mata uang (currency war). Isu ini juga ramai diperbincangkan pada 2016, atau mundur lagi seperti saat krisis keuangan global menghangat sekira 2008-2009.

Adalah Presiden Trump yang lagi-lagi menjadi aktornya. Melalui cuitan di Twitter, Trump menuduh beberapa negara memanipulasi kurs untuk menguntungkan perdagangan. Sementara dolar AS seakan menguat sendirian sehingga ekspor AS menjadi kurang bisa bersaing.

“China, Uni Eropa, dan lainnya telah memanipulasi mata uang mereka dan suku bunga ditekan serendah mungkin. Sementara AS menaikkan suku bunga dan dolar AS semakin kuat, menyebabkan kita tidak kompetitif. Seperti biasa, bukan sebuah kesetaraan (level playing field),” cuit Trump.

China sudah bereaksi dengan menolak tuduhan tersebut. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan bahwa nilai tukar yuan murni dibentuk oleh panawaran dan permintaan (supply and demand).

"China tidak punya niat untuk menggunakan pelemahan mata uang untuk mendorong ekspor. Kami berharap AS tetap tenang dan rasional," ujar Geng, mengutip Reuters.

Kementerian Keuangan AS dijadwalkan mengeluarkan daftar tahunan mengenai manipulator kurs pada 15 Oktober mendatang. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, menyebutkan pelemahan yuan China akan menjadi salah satu yang mendapat kajian mendalam.

Bila bola salju perang mata uang ini semakin bergulir dan membesar, maka bisa menjadi salah satu risiko yang menyebabkan kecemasan di pasar. Oleh karena itu, investor perlu tetap waspada.


Ketiga, pelaku pasar patut waspada dengan perkembangan dolar AS. Setelah kemarin sempat tertekan, greenback mulai rebound dan menebar ancaman. Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,21% pada pukul 04:17 WIB. 

Penguatan dolar AS disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Negeri Adidaya. Pada pukul 04:18 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9597%, naik 6,7 basis poin dibandingkan penutupan kemarin. 

Yield obligasi berbanding lurus dengan nilai tukar dolar AS. Kala yield naik, maka dolar AS cenderung menguat karena kenaikan yield pada akhirnya akan memancing investor untuk masuk ke pasar obligasi karena tertarik dengan imbalan yang lebih tinggi. 

Kenaikan yield obligasi AS didorong oleh pernyataan The Federal Reserve/The Fed yang seolah tidak mengindahkan kritik Presiden Trump. The Fed kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun, walau Trump mencak-mencak karena kenaikan suku bunga dinilai menghambat pemulihan ekonomi. 

Penguatan dolar AS akan menekan mata uang lainnya, bukan tidak mungkin rupiah jadi korban. Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,07% setelah nyaris seharian menguat. Apresiasi greenback jelang penutupan perdagangan berhasil membuat rupiah terpeleset. 

Pelemahan rupiah (bila berlanjut) bukanlah kabar baik buat IHSG. Saat rupiah melemah, aset-aset berbasis mata uang ini akan kurang menarik bagi investor asing karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Bisa jadi investor asing berbalik mencatatkan jual bersih jika rupiah menguat sejak pagi. 

Namun ada juga risiko yang membebani langkah dolar AS yaitu rilis data yang kurang solid. Penjualan rumah bukan baru di AS periode Juni 2018 turun 0,6% secara month-to-month (MtM) dan anjlok 2,2% secara year-on-year. Meski demikian, rata-rata harga rumah mencapai US$ 276.900 (Rp 4,03 miliar), tertinggi sepanjang sejarah. 

Data penjualan properti yang kurang moncer ini bisa menjadi salah satu pertimbangan The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga. Meski kemungkinannya sangat kecil, siapa tahu menjadi faktor penentu yang membuat The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Ini bukan berita baik bagi dolar AS yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembalike teritori positif. 


Keempat, investor juga perlu memonitor perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:31 WIB, harga minyak jenis light sweet dan brent masing-masing melemah 0,67% dan 0,15%. 

Kemarin, harga minyak terkerek ke atas karena meningkatnya tensi AS dan Iran. Seperti diketahui, AS sudah keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran dan kemungkinan akan menjatuhkan sanksi bagi Teheran. Iran pun semakin lama semakin keras menghadapi ancaman AS. 

"Tuan Trump, tolong jangan bermain-main dengan ekor singa karena hanya akan membawa penyesalan. AS harus tahu bahwa perdamaian dengan Iran adalah biangnya damai, sementara peperangan dengan Iran adalah biangnya perang," tegas Hassan Rouhani, Presiden Iran, dalam acara pembekalan kepada para diplomat, dikutip dari Reuters. 

Trump membalas pernyataan itu melalui cuitan di Twitter. Bukan cuitan sembarang cuitan, karena ditulis dalam huruf kapital yang menandakan kemarahan. 

"JANGAN PERNAH LAGI MENGANCAM AS ATAU ANDA AKAN MENGALAMI KONSEKUENSI YANG BELUM PERNAH TERJADI SEBELUMNYA. KAMI BUKAN LAGI NEGARA YANG BISA BERDIAM ATAS PERKATAAN ANDA YANG MENYEBARKAN KEKERASAN DAN KEMATIAN. WASPADALAH!" tegas Trump. 

Namun sentimen memanasnya hubungan Washington-Teheran tidak bertahan lama. Kini investor lebih fokus ke isu kelebihan pasokan, yang akhirnya membuat harga minyak turun. 

Arab Saudi dan sejumlah negara produsen minyak lainnya sedang menggiatkan produksi sebagai kompensasi jika pasokan dari Iran berkurang seiring sanksi yang kemungkinan dijatuhkan pada November. Kemudian cadangan minyak As juga diperkirakan naik, meski data resmi baru keluar pada Rabu waktu setempat. Menurut Genscape, salah satu trader minyak di AS, pasokan minyak ke penampungan Cushing (Oklahoma) terus meningkat sepanjang pekan lalu.  

Persepsi kenaikan pasokan membuat harga si emas hitam merosot. Penurunan harga minyak juga bukan hal positif bagi IHSG. Sebab, emiten migas dan pertambangan akan kurang diapresiasi kala harga minyak turun. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data inflasi inti Jepang periode Juli 2018 versi Bank of Japan (BoJ) (12:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI manufaktur dan jasa Prancis periode Juli 2018 (14:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI manufaktur dan jasa Jerman periode Juli 2018 (14:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI manufaktur dan jasa Uni Eropa periode Juli 2018 (15:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal indeks PMI manufaktur dan jasa AS periode Juli 2018 (20:45 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:


PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN)RUPS Tahunan14:00


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 


IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juni 2018 YoY)3.12%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar


Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular