
Newsletter
Habis Perang Dagang, Terbitlah Perang Mata Uang
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 July 2018 05:37

Ketiga, pelaku pasar patut waspada dengan perkembangan dolar AS. Setelah kemarin sempat tertekan, greenback mulai rebound dan menebar ancaman. Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,21% pada pukul 04:17 WIB.
Penguatan dolar AS disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Negeri Adidaya. Pada pukul 04:18 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9597%, naik 6,7 basis poin dibandingkan penutupan kemarin.
Yield obligasi berbanding lurus dengan nilai tukar dolar AS. Kala yield naik, maka dolar AS cenderung menguat karena kenaikan yield pada akhirnya akan memancing investor untuk masuk ke pasar obligasi karena tertarik dengan imbalan yang lebih tinggi.
Kenaikan yield obligasi AS didorong oleh pernyataan The Federal Reserve/The Fed yang seolah tidak mengindahkan kritik Presiden Trump. The Fed kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun, walau Trump mencak-mencak karena kenaikan suku bunga dinilai menghambat pemulihan ekonomi.
Penguatan dolar AS akan menekan mata uang lainnya, bukan tidak mungkin rupiah jadi korban. Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,07% setelah nyaris seharian menguat. Apresiasi greenback jelang penutupan perdagangan berhasil membuat rupiah terpeleset.
Pelemahan rupiah (bila berlanjut) bukanlah kabar baik buat IHSG. Saat rupiah melemah, aset-aset berbasis mata uang ini akan kurang menarik bagi investor asing karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Bisa jadi investor asing berbalik mencatatkan jual bersih jika rupiah menguat sejak pagi.
Namun ada juga risiko yang membebani langkah dolar AS yaitu rilis data yang kurang solid. Penjualan rumah bukan baru di AS periode Juni 2018 turun 0,6% secara month-to-month (MtM) dan anjlok 2,2% secara year-on-year. Meski demikian, rata-rata harga rumah mencapai US$ 276.900 (Rp 4,03 miliar), tertinggi sepanjang sejarah.
Data penjualan properti yang kurang moncer ini bisa menjadi salah satu pertimbangan The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga. Meski kemungkinannya sangat kecil, siapa tahu menjadi faktor penentu yang membuat The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Ini bukan berita baik bagi dolar AS yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembalike teritori positif.
(aji/aji)
Penguatan dolar AS disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Negeri Adidaya. Pada pukul 04:18 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9597%, naik 6,7 basis poin dibandingkan penutupan kemarin.
Yield obligasi berbanding lurus dengan nilai tukar dolar AS. Kala yield naik, maka dolar AS cenderung menguat karena kenaikan yield pada akhirnya akan memancing investor untuk masuk ke pasar obligasi karena tertarik dengan imbalan yang lebih tinggi.
Kenaikan yield obligasi AS didorong oleh pernyataan The Federal Reserve/The Fed yang seolah tidak mengindahkan kritik Presiden Trump. The Fed kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun, walau Trump mencak-mencak karena kenaikan suku bunga dinilai menghambat pemulihan ekonomi.
Penguatan dolar AS akan menekan mata uang lainnya, bukan tidak mungkin rupiah jadi korban. Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,07% setelah nyaris seharian menguat. Apresiasi greenback jelang penutupan perdagangan berhasil membuat rupiah terpeleset.
Pelemahan rupiah (bila berlanjut) bukanlah kabar baik buat IHSG. Saat rupiah melemah, aset-aset berbasis mata uang ini akan kurang menarik bagi investor asing karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Bisa jadi investor asing berbalik mencatatkan jual bersih jika rupiah menguat sejak pagi.
Namun ada juga risiko yang membebani langkah dolar AS yaitu rilis data yang kurang solid. Penjualan rumah bukan baru di AS periode Juni 2018 turun 0,6% secara month-to-month (MtM) dan anjlok 2,2% secara year-on-year. Meski demikian, rata-rata harga rumah mencapai US$ 276.900 (Rp 4,03 miliar), tertinggi sepanjang sejarah.
Data penjualan properti yang kurang moncer ini bisa menjadi salah satu pertimbangan The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga. Meski kemungkinannya sangat kecil, siapa tahu menjadi faktor penentu yang membuat The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Ini bukan berita baik bagi dolar AS yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembalike teritori positif.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular