
Gara-gara SNP Finance, OJK Larang MTN Jadi Aset Dasar
Irvin Avriano A, CNBC Indonesia
10 July 2018 11:45

Hingga 22 Juni 2018, OJK mencatat posisi MTN rupiah yang terdaftar mencapai Rp 57,22 triliun dan Rp 33,38 triliun di antaranya merupakan portofolio yang dikelola reksa dana. MTN denominasi dolar AS yang tercatat mencapai Rp 10,78 triliun dan yang sudah dimiliki reksa dana Rp 2,21 triliun.
Untuk MTN rupiah saja, jumlah beredar pada Juni 2018 itu sudah naik hampir dua kali lipat, tepatnya Rp 27,31 triliun (+91,3%) dari periode yang sama tahun lalu Rp 29,91 triliun. Jumlah MTN rupiah yang ada di dalam reksa dana juga naik, bahkan meroket menjadi tiga kali lipat, tepatnya Rp 22,46 triliun (+205,67%) dari Rp 10,92 triliun pada 22 Juni 2017.
Dana kelolaan reksa dana pasar uang per 22 Juni 2018 tercatat Rp 57,95 triliun dan reksa dana terproteksi Rp 127,33 triliun.
Dengan mengacu pada aturan batas maksimal kepemilikan MTN oleh reksa dana yaitu 15% dari total Nilai Aktiva Bersih/NAB (kepemilikan MTN dari satu penerbit 5% dari NAB) maka nilai maksimal MTN di dalam reksa dana pasar uang dapat mencapai Rp 8,69 triliun dan reksa dana terproteksi Rp 19,09 triliun.
Lalu jumlah MTN maksimal yang ada di dalam jenis reksa dana campuran Rp 3,64 triliun (15% dari total Rp 24,28 triliun) dan reksa dana pendapatan tetap Rp 15,54 triliun (15% dari total Rp 103,62 triliun). Dengan jumlah demikian, maka ada potensi penjualan MTN korporasi dengan rating di bawah AA di pasar yang menyasar investor selain reksa dana, termasuk di dalamnya investor asing, asuransi, dana pensiun, dan ritel.
MTN dan obligasi memiliki persamaan dari sisi sifat efek utangnya, tetapi memiliki perbedaan dari sisi penawaran. MTN ditawarkan secara terbatas, hanya ditawarkan kepada kurang dari 100 pihak dan dimiliki kurang dari 50 pihak, atau maksimal 49 pihak. Sebaliknya, obligasi boleh ditawarkan kepada lebih dari 100 pihak dan harus melalui proses penawaran umum.
Dari sisi emiten, MTN, terutama dalam jumlah di bawah Rp 100 miliar, lebih ekonomis karena tidak perlu menggelar paparan publik dan melibatkan banyak pihak serta memakan waktu proses yang lebih singkat dibanding penawaran obligasi yang bersifat publik.
Selain perusahaan swasta non-listed, emiten pasar modal yang lumrah menerbitkan MTN termasuk perusahaan pembiayaan dan perusahaan konstruksi, baik swasta maupun BUMN.
Di situs PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), perusahaan BUMN konstruksi dan anak usahanya yaitu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Wijaya Karya Beton (WTON), dan PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) pada pemeringkatan terakhir hanya menggenggam rating utang A+, di bawah batas baru MTN dalam reksa dana AA.
Pefindo merupakan satu dari dua lembaga pemeringkat yang ada di Indonesia. Pemeringkat lain adalah PT Fitch Ratings Indonesia.
Lalu, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) memiliki peringkat Pefindo yang lebih rendah lagi yaitu A- dan PT Wika Realty BBB+.
Tercatat juga ada beberapa perusahaan yang sedang dalam proses rencana menerbitkan MTN atau pernah berencana menerbitkan efek jenis tersebut.
Beberapa di antaranya adalah WTON, PT Bank Mandiri Taspen Pos (sekarang PT Bank Mandiri Taspen) A+, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) AA-, BUMN maritim PT Perikanan Nusantara BBB-, produsen semen asal Sumatra Selatan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) A, dan pabrik gula anak usaha BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia yaitu PT PG Rajawali I dengan peringkat A-.
Perusahaan lain adalah penyedia layanan pengembangan jaringan dan infrastruktur telekomunikasi dan informasi PT Graha Informatika Nusantara BBB, perusahaan migas milik Arifin Panigoro PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) A+, emiten saham baru PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) A-, perusahaan logistik PT Siba Surya BBB, perusahaan transportasi PT Panorama Sentrawisata Tbk (PANR) A-, emiten tambang emas PT J Resources Tbk (PSAB) A, dan anak usaha bank Jepang PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia pada AAA.
Jika calon penerbit MTN tersebut tetap menerbitkan efek baru, maka potensi kemampuan penyerapan dari industri reksa dana akan berkurang untuk rating di bawah AA karena batas baru OJK tadi, termasuk potensi penerbitan dari proyek infrastruktur yang sedang digenjot pemerintah.
TIM RISET CNBC INDONESIA (hps/hps)
Untuk MTN rupiah saja, jumlah beredar pada Juni 2018 itu sudah naik hampir dua kali lipat, tepatnya Rp 27,31 triliun (+91,3%) dari periode yang sama tahun lalu Rp 29,91 triliun. Jumlah MTN rupiah yang ada di dalam reksa dana juga naik, bahkan meroket menjadi tiga kali lipat, tepatnya Rp 22,46 triliun (+205,67%) dari Rp 10,92 triliun pada 22 Juni 2017.
Dana kelolaan reksa dana pasar uang per 22 Juni 2018 tercatat Rp 57,95 triliun dan reksa dana terproteksi Rp 127,33 triliun.
Lalu jumlah MTN maksimal yang ada di dalam jenis reksa dana campuran Rp 3,64 triliun (15% dari total Rp 24,28 triliun) dan reksa dana pendapatan tetap Rp 15,54 triliun (15% dari total Rp 103,62 triliun). Dengan jumlah demikian, maka ada potensi penjualan MTN korporasi dengan rating di bawah AA di pasar yang menyasar investor selain reksa dana, termasuk di dalamnya investor asing, asuransi, dana pensiun, dan ritel.
MTN dan obligasi memiliki persamaan dari sisi sifat efek utangnya, tetapi memiliki perbedaan dari sisi penawaran. MTN ditawarkan secara terbatas, hanya ditawarkan kepada kurang dari 100 pihak dan dimiliki kurang dari 50 pihak, atau maksimal 49 pihak. Sebaliknya, obligasi boleh ditawarkan kepada lebih dari 100 pihak dan harus melalui proses penawaran umum.
Dari sisi emiten, MTN, terutama dalam jumlah di bawah Rp 100 miliar, lebih ekonomis karena tidak perlu menggelar paparan publik dan melibatkan banyak pihak serta memakan waktu proses yang lebih singkat dibanding penawaran obligasi yang bersifat publik.
Selain perusahaan swasta non-listed, emiten pasar modal yang lumrah menerbitkan MTN termasuk perusahaan pembiayaan dan perusahaan konstruksi, baik swasta maupun BUMN.
Di situs PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), perusahaan BUMN konstruksi dan anak usahanya yaitu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Wijaya Karya Beton (WTON), dan PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) pada pemeringkatan terakhir hanya menggenggam rating utang A+, di bawah batas baru MTN dalam reksa dana AA.
Pefindo merupakan satu dari dua lembaga pemeringkat yang ada di Indonesia. Pemeringkat lain adalah PT Fitch Ratings Indonesia.
Lalu, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) memiliki peringkat Pefindo yang lebih rendah lagi yaitu A- dan PT Wika Realty BBB+.
Tercatat juga ada beberapa perusahaan yang sedang dalam proses rencana menerbitkan MTN atau pernah berencana menerbitkan efek jenis tersebut.
Beberapa di antaranya adalah WTON, PT Bank Mandiri Taspen Pos (sekarang PT Bank Mandiri Taspen) A+, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) AA-, BUMN maritim PT Perikanan Nusantara BBB-, produsen semen asal Sumatra Selatan PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) A, dan pabrik gula anak usaha BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia yaitu PT PG Rajawali I dengan peringkat A-.
Perusahaan lain adalah penyedia layanan pengembangan jaringan dan infrastruktur telekomunikasi dan informasi PT Graha Informatika Nusantara BBB, perusahaan migas milik Arifin Panigoro PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) A+, emiten saham baru PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) A-, perusahaan logistik PT Siba Surya BBB, perusahaan transportasi PT Panorama Sentrawisata Tbk (PANR) A-, emiten tambang emas PT J Resources Tbk (PSAB) A, dan anak usaha bank Jepang PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia pada AAA.
Jika calon penerbit MTN tersebut tetap menerbitkan efek baru, maka potensi kemampuan penyerapan dari industri reksa dana akan berkurang untuk rating di bawah AA karena batas baru OJK tadi, termasuk potensi penerbitan dari proyek infrastruktur yang sedang digenjot pemerintah.
TIM RISET CNBC INDONESIA (hps/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular