
Produksi AS Sentuh 11 Juta Bph, Harga Minyak ke Zona Merah
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
28 June 2018 10:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) melemah 0,26% ke US$72,57/barel, sementara Brent yang menjadi acuan di Benua Eropa juga terkoreksi tipis 0,12% ke US$77,53/barel, pada perdagangan hari Rabu (27/06/2108) hingga pukul 10.05 WIB pagi ini.
Harga sang emas hitam mulai melandai pasca meroket signifikan secara dua hari berturut-turut sebelumnya. Light sweet malah sempat mencapai titik tertingginya sejak November 2014 di angka US$73,06/barel.
Beberapa sentimen positif memang menjadi bahan bakar penguatan harga minyak dua hari terakhir. Pertama, perkembangan situasi di Iran. Mengutip Reuters, seorang pejabat senior di pemerintahan Presiden AS Donald Trump menyebutkan Washington ingin agar negara-negara sekutunya, termasuk China dan India, untuk menghentikan impor minyak dari Negeri Persia mulai November. Tujuannya adalah agar akses pendanaan bagi Teheran semakin terbatas.
Kabar tersebut tetap membuat pasar menyangsikan pasokan minyak dunia jika produksi dari Iran benar-benar tidak bisa masuk ke pasar. Kekhawatiran kekurangan produksi membuat harga minyak terkerek ke atas.
Kedua, munculnya kekhawatiran penurunan pasokan dari Kanada dan Libya. Di Kanada, ada gangguan di fasilitas produksi di Alberta yang bisa mengancam sekitar 10% dari total pasokan minyak Negeri Daun Maple. Gangguan produksi ini diperkirakan berlangsung hingga Juli dan bisa mempengaruhi produksi sebanyak 350.000 barel/hari.
Penurunan pasokan dari Kanada membuat cadangan minyak AS di Cushing, Oklahoma, turun 2,71 juta barel pekan lalu. Penurunan ini yang membuat harga minyak terkerek ke atas.
Sementara dari Libya, ada ketidakjelasan pihak mana yang tengah mengendalikan ekspor minyak. Apakah pemerintah atau pemberontak? Seiring dengan pemerintahan Libya yang pecah kongsi, perusahaan minyak negara pun terpecah dua tetapi sama-sama memakai nama National Oil Company (NOC). Bedanya, satu NOC resmi milik pemerintah berbasis di Tripoli dan yang lain adalah NOC milik pemberontak di Benghazi.
Pasukan pemberontak mengklaim mereka telah menguasai pelabuhan Hariga dan Zueitina dan menyerahkannya kepada NOC Benghazi. Dua pelabuhan ini merupakan objek vital dan menentukan ekspor minyak Libya. Kisruh Libya menyebabkan pasokan minyak dari negara tersebut turun sekitar 450.000 barel/hari. Ini hampir separuh dari total produksi minyak di sana yaitu 1 juta barel/hari.
Ketiga, cadangan minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 22 Juni 2018 diumumkan turun sebanyak 9,9 juta barel ke 416,64 juta barel, jauh melebihi konsensus yang memproyeksikan penurunan sebesar 2,4 juta barel saja, berdasarkan data dari Energy Information Administration (EIA).
Jumlah itu berada di bawah rata-rata dalam 5 tahun sebesar 425 juta barel. Bahkan, sejumlah trader di AS berekspektasi cadangan minyak Negeri Paman Sam akan turun semakin parah pada pekan depan akibat disrupsi pasokan dari Kanada.
Amblasnya cadangan minyak mentah AS juga disokong oleh tingginya tingkat ekspor minyak mentah AS yang hampir mencapai 3 juta barel/hari, ditambah aktivitas pengilangan domestik menyentuh tingkat utilisasi sebesar 97,5%, tertinggi hampir lebih dari satu dekade. Hal ini lantas mengindikasikan bahwa permintaan minyak AS, baik domestik maupun global, masih tetap solid di tengah eskalasi perang dagang AS-China, setidaknya untuk saat ini.
Meski demikian, harga minyak mulai berbalik arah, dan tergelincir ke zona merah. Penyebabnya tidak lain adalah produksi minyak mentah AS yang stabil di angka 10,9 juta barel/hari. Meski tingkat pertumbuhannya melambat, saat ini produksi minyak sang negeri adidaya sudah mendekati tingkat produksi 11 juta barel/hari. Kapasitas sebesar itu sebelumnya hanya dapat dicapai oleh Rusia, sang produsen no. 1 dunia.
Dengan Organisasi Negara-negara Pengeskspor Minyak (OPEC) dan Rusia yang sepakat untuk melonggarkan kesepakatannya, maka dalam waktu singkat pasar minyak global akan diguyur oleh pasokan minyak dari OPEC, Rusia, dan AS, masing-masing sekitar 11 juta barel/hari. Perkembangan ini lantas memberikan indikasi pasokan minyak global yang sehat, bahkan mungkin berlebih, sehingga sedikit menekan harga minyak pagi ini.
(RHG/RHG) Next Article Perang Dagang AS-China Mereda, Harga Minyak Naik Nyaris 1%
Harga sang emas hitam mulai melandai pasca meroket signifikan secara dua hari berturut-turut sebelumnya. Light sweet malah sempat mencapai titik tertingginya sejak November 2014 di angka US$73,06/barel.
![]() |
Kabar tersebut tetap membuat pasar menyangsikan pasokan minyak dunia jika produksi dari Iran benar-benar tidak bisa masuk ke pasar. Kekhawatiran kekurangan produksi membuat harga minyak terkerek ke atas.
Kedua, munculnya kekhawatiran penurunan pasokan dari Kanada dan Libya. Di Kanada, ada gangguan di fasilitas produksi di Alberta yang bisa mengancam sekitar 10% dari total pasokan minyak Negeri Daun Maple. Gangguan produksi ini diperkirakan berlangsung hingga Juli dan bisa mempengaruhi produksi sebanyak 350.000 barel/hari.
Penurunan pasokan dari Kanada membuat cadangan minyak AS di Cushing, Oklahoma, turun 2,71 juta barel pekan lalu. Penurunan ini yang membuat harga minyak terkerek ke atas.
Sementara dari Libya, ada ketidakjelasan pihak mana yang tengah mengendalikan ekspor minyak. Apakah pemerintah atau pemberontak? Seiring dengan pemerintahan Libya yang pecah kongsi, perusahaan minyak negara pun terpecah dua tetapi sama-sama memakai nama National Oil Company (NOC). Bedanya, satu NOC resmi milik pemerintah berbasis di Tripoli dan yang lain adalah NOC milik pemberontak di Benghazi.
Pasukan pemberontak mengklaim mereka telah menguasai pelabuhan Hariga dan Zueitina dan menyerahkannya kepada NOC Benghazi. Dua pelabuhan ini merupakan objek vital dan menentukan ekspor minyak Libya. Kisruh Libya menyebabkan pasokan minyak dari negara tersebut turun sekitar 450.000 barel/hari. Ini hampir separuh dari total produksi minyak di sana yaitu 1 juta barel/hari.
Ketiga, cadangan minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 22 Juni 2018 diumumkan turun sebanyak 9,9 juta barel ke 416,64 juta barel, jauh melebihi konsensus yang memproyeksikan penurunan sebesar 2,4 juta barel saja, berdasarkan data dari Energy Information Administration (EIA).
Jumlah itu berada di bawah rata-rata dalam 5 tahun sebesar 425 juta barel. Bahkan, sejumlah trader di AS berekspektasi cadangan minyak Negeri Paman Sam akan turun semakin parah pada pekan depan akibat disrupsi pasokan dari Kanada.
Amblasnya cadangan minyak mentah AS juga disokong oleh tingginya tingkat ekspor minyak mentah AS yang hampir mencapai 3 juta barel/hari, ditambah aktivitas pengilangan domestik menyentuh tingkat utilisasi sebesar 97,5%, tertinggi hampir lebih dari satu dekade. Hal ini lantas mengindikasikan bahwa permintaan minyak AS, baik domestik maupun global, masih tetap solid di tengah eskalasi perang dagang AS-China, setidaknya untuk saat ini.
Meski demikian, harga minyak mulai berbalik arah, dan tergelincir ke zona merah. Penyebabnya tidak lain adalah produksi minyak mentah AS yang stabil di angka 10,9 juta barel/hari. Meski tingkat pertumbuhannya melambat, saat ini produksi minyak sang negeri adidaya sudah mendekati tingkat produksi 11 juta barel/hari. Kapasitas sebesar itu sebelumnya hanya dapat dicapai oleh Rusia, sang produsen no. 1 dunia.
![]() |
Dengan Organisasi Negara-negara Pengeskspor Minyak (OPEC) dan Rusia yang sepakat untuk melonggarkan kesepakatannya, maka dalam waktu singkat pasar minyak global akan diguyur oleh pasokan minyak dari OPEC, Rusia, dan AS, masing-masing sekitar 11 juta barel/hari. Perkembangan ini lantas memberikan indikasi pasokan minyak global yang sehat, bahkan mungkin berlebih, sehingga sedikit menekan harga minyak pagi ini.
(RHG/RHG) Next Article Perang Dagang AS-China Mereda, Harga Minyak Naik Nyaris 1%
Most Popular