BI 7-Day Reverse Repo Rate

Pilih Mana, Rupiah Anjlok atau Kredit Bermasalah Naik?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
28 June 2018 08:05
Terakhir, Mari Kita Tengok NIM
Foto: Edward Ricardo
Yang terpenting untuk diperhatikan ketika menilai efek NPL terhadap kinerja perbankan (termasuk prospek sahamnya), adalah pendapatan bunga bersih (net interest margin/ NIM) yang sangat erat dipengaruhi kebijakan bunga acuan.

NIM adalah indikator kesuksesan bank memutar dana yang dikelolanya, berupa perbandingan antara pendapatan bunga yang diraup bank (dari debitornya) dengan nilai bunga yang dibayarkannya ke nasabahnya (masyarakat pemilik tabungan dan deposito).

Apakah kenaikan NPL dalam suatu periode akan menekan kinerja mereka pada periode sama? Secara historis terlihat bahwa hubungan positif keduanya bisa dilihat dalam jangka panjang. Ketika NPL meningkat dari 1,89% (Desember 2012) menjadi 2,79% (April 2013), NIM bank-bank umum juga melemah dari 5,49% menjadi 5,07%.

Pilih Mana, Rupiah Anjlok atau Kredit Bermasalah Naik?Sumber: Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Namun dalam jangka pendek, hubungan keduanya tidak selalu sejalan. Misalnya, ketika NPL naik dari 2,16% (Desember 2014) menjadi 2,56% (Juni 2015), NIM bank-bank umum justru naik pada periode yang sama dari 4,23% menjadi 5,02%.

Mengapa demikian? Bukankah suku bunga acuan yang naik akan menggerus margin mereka karena kenaikan pembayaran bunga ke nasabah bank melaju lebih cepat ketimbang pendapatan bunga yang justru tertekan karena debitor tersengal-sengal memikul lending rate tinggi? Memang betul demikian. 

Namun jangan lupa bahwa bank juga memiliki fasilitas untuk menyimpan dana berlebih mereka ke berbagai fasilitas moneter, salah satunya sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga mereka bisa memarkir dana menganggur mereka ke BI dan mendapat bunga tinggi (mengikuti kenaikan bunga acuan) dari situ. 

Lalu jika memang kenaikan suku bunga tidak langsung memukul NPL dan kinerja perbankan jangka pendek, bagaimana kita menjelaskan koreksi harga saham di sektor keuangan ketika BI mengumumkan kenaikan suku bunga acuan terbaru pada Rabu (30/05/2018)? Bukankah indeks sektor keuangan turun 1,12% dan diikuti penurunan lanjutan sehari kemudian pada 0,95% setelah BI menaikkan suku bunga acuan saat itu.

Menurut hemat kami, koreksi tersebut justru merupakan aksi penjualan saham untuk merealisasikan keuntungan, setelah spekulasi sebelumnya (yakni ekspektasi kenaikan BI Rate) terkonfirmasi oleh berita (sell on news).

Pasalnya, polling tim riset CNBC Indonesia jelang pertemuan RDG justru berujung pada kesimpulan bahwa 99% responden sudah mengantisipasi adanya kenaikan bunga acuan dalam rapat darurat tersebut, mengingat rupiah saat itu memang tertekan habis-habisan.

Pelaku pasar terlihat memborong saham perbankan ketika Perry Warjiyo menyatakan siap menaikkan suku bunga acuan. Indeks sektor keuangan tercatat konsisten menguat 4 hari berturut-turut (23 Mei-28 Mei) sebesar 8% atau mencapai 91 poin ke 1.088,89.

Namun ini tentu tidak berarti pelaku pasar abai soal efek kenaikan bunga acuan terhadap NPL dalam jangka panjang. Hanya saja, mereka pasti sudah berhitung: lebih mengerikan mana efek kenaikan bunga acuan terhadap profil debitor mereka, dibandingkan dengan efek jatuhnya rupiah jika bunga acuan ditahan.

Jika pilihannya adalah dua hal itu, seperti yang sedang kita hadapi sekarang, efek kenaikan suku bunga acuan terhadap NPL (yang terjadi dalam jangka panjang) tentu lebih bisa diterima dibandingkan dengan efek anjloknya nilai tukar rupiah terhadap perekonomian (dalam jangka pendek).

Begitu bukan?  

TIM RISET CNBC INDONESIA (prm)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular