
Newsletter
Usai Maaf Lahir-Batin, Mau ke Mana IHSG?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2018 07:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah libur panjang, pasar keuangan Indonesia kembali dibuka pada hari ini. Indonesia cukup banyak melewatkan momentum penting, yang bisa jadi hal positif atau negatif.
Pasar keuangan mulai tutup pada 11 Juni lalu, seiring cuti bersama menyambut Hati Raya Idul Fitri. Kini setelah investor bermaaf-maafan, saatnya kembali bertransaksi.
Selama pasar keuangan libur kira-kira 10 hari, dunia bergerak sangat dinamis. Banyak momen yang terlewatkan, dan bisa membuat investor agak jetlag.
Pada 12 Juni, terjadi peristiwa bersejarah di Singapura. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengadakan pertemuan di Singapura.
Aura perdamaian di Semenanjung Kora pun merebak. Pyongyang sudah sepakat untuk melakukan denuklirisasi, sehingga perdamaian yang sudah dinanti selama puluhan tahun kini sudah begitu dekat. Satu risiko besar, yaitu ketegangan di Semenanjung Korea, mungkin sudah bisa dihapus dari kalkulasi pelaku pasar.
Kemudian pada 14 Juni, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Tidak hanya itu, potensi pengetatan moneter ekstra juga kian terbuka.
Ini terlihat dari dot plot (proyeksi suku bunga dari The Fed negara bagian) yang semakin bergerak ke atas. Pada pertemuan Maret, median dot plot masih menunjukkan suku bunga acuan pada akhir 2018 ada di 2-2,5%. Artinya tinggal butuh sekali kenaikan 25 basis poin lagi, atau menjadi tiga kali kenaikan selama 2018.
Namun pada rapat edisi Juni, median sudah bergerak ke 2,25-2,5%. Ini berarti butuh dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin, sehingga sepanjang 2018 kemungkinan terjadi empat kali kenaikan suku bunga.
Kemudian pada 15 Mei, giliran European Central Bank (ECB) yang mengadakan pertemuan. Hasilnya adalah bank sentral Benua Biru sepakat untuk mulai mengurangi dosis stimulus moneter melalui pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) dan akan mengakhiri kebijakan tersebut pada Desember 2018.
Hingga sekarang, ECB masih memborong surat berharga senilai 30 miliar euro (Rp 490,62 triliun) setiap bulannya. Namun mulai September, nilainya akan dikurangi setengahnya sebelum selesai pada akhir tahun.
Perkembangan lain yang terlewat oleh pasar keuangan domestik adalah perang dagang. Isu ini sangat ramai dan menentukan dinamika pasar global.
Diawali jelang pertemuan G-7, Trump resmi mengenakan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa. Para korban itu kemudian membalas dengan memberlakukan bea masuk untuk berbagai produk Negeri Paman Sam, mulai dari minuman wiski, daging babi, buah-buahan, sepeda motor, dan sebagainya.
Akhir pekan lalu, AS kembali berulah dengan mengenakan tarif bea masuk 25% kepada 818 produk China. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 6 Juli. China pun membalas dengan menerapkan bea masuk 25% untuk 659 produk AS, juga berlaku mulai 6 Juli.
Tidak jera, lagi-lagi Trump mengancam akan mengenakan bea masuk 10% bagi berbagai produk asal Negeri Tirai Bambu. Menghadapi ancaman Trump, Beijing tidak gentar. Kementerian Perdagangan China menegaskan pemerintah akan melawan balik.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar tidak nyaman. Sebab, perang dagang tentu akan mengancam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Investor di Indonesia pun perlu waspada.
Ada sisi positif saat pasar Indonesia tutup kala dunia sedang sangat dinamis. Setidaknya Indonesia bisa imun terhadap berbagai dampak negatif perkembangan-perkembangan tersebut.
Namun negatifnya, investor mungkin perlu waktu untuk menyesuaikan diri sebab pasar global sudah bergerak entah ke mana. Pasar Indonesia harus memperpendek jarak (catching up) dengan pasar dunia yang sudah jauh di depan, dan mungkin prosesnya bisa sedikit bergelombang alias bumpy.
Pasar keuangan mulai tutup pada 11 Juni lalu, seiring cuti bersama menyambut Hati Raya Idul Fitri. Kini setelah investor bermaaf-maafan, saatnya kembali bertransaksi.
Selama pasar keuangan libur kira-kira 10 hari, dunia bergerak sangat dinamis. Banyak momen yang terlewatkan, dan bisa membuat investor agak jetlag.
Pada 12 Juni, terjadi peristiwa bersejarah di Singapura. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengadakan pertemuan di Singapura.
Aura perdamaian di Semenanjung Kora pun merebak. Pyongyang sudah sepakat untuk melakukan denuklirisasi, sehingga perdamaian yang sudah dinanti selama puluhan tahun kini sudah begitu dekat. Satu risiko besar, yaitu ketegangan di Semenanjung Korea, mungkin sudah bisa dihapus dari kalkulasi pelaku pasar.
Kemudian pada 14 Juni, The Federal Reserve/The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Tidak hanya itu, potensi pengetatan moneter ekstra juga kian terbuka.
Ini terlihat dari dot plot (proyeksi suku bunga dari The Fed negara bagian) yang semakin bergerak ke atas. Pada pertemuan Maret, median dot plot masih menunjukkan suku bunga acuan pada akhir 2018 ada di 2-2,5%. Artinya tinggal butuh sekali kenaikan 25 basis poin lagi, atau menjadi tiga kali kenaikan selama 2018.
Namun pada rapat edisi Juni, median sudah bergerak ke 2,25-2,5%. Ini berarti butuh dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin, sehingga sepanjang 2018 kemungkinan terjadi empat kali kenaikan suku bunga.
Kemudian pada 15 Mei, giliran European Central Bank (ECB) yang mengadakan pertemuan. Hasilnya adalah bank sentral Benua Biru sepakat untuk mulai mengurangi dosis stimulus moneter melalui pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) dan akan mengakhiri kebijakan tersebut pada Desember 2018.
Hingga sekarang, ECB masih memborong surat berharga senilai 30 miliar euro (Rp 490,62 triliun) setiap bulannya. Namun mulai September, nilainya akan dikurangi setengahnya sebelum selesai pada akhir tahun.
Perkembangan lain yang terlewat oleh pasar keuangan domestik adalah perang dagang. Isu ini sangat ramai dan menentukan dinamika pasar global.
Diawali jelang pertemuan G-7, Trump resmi mengenakan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa. Para korban itu kemudian membalas dengan memberlakukan bea masuk untuk berbagai produk Negeri Paman Sam, mulai dari minuman wiski, daging babi, buah-buahan, sepeda motor, dan sebagainya.
Akhir pekan lalu, AS kembali berulah dengan mengenakan tarif bea masuk 25% kepada 818 produk China. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 6 Juli. China pun membalas dengan menerapkan bea masuk 25% untuk 659 produk AS, juga berlaku mulai 6 Juli.
Tidak jera, lagi-lagi Trump mengancam akan mengenakan bea masuk 10% bagi berbagai produk asal Negeri Tirai Bambu. Menghadapi ancaman Trump, Beijing tidak gentar. Kementerian Perdagangan China menegaskan pemerintah akan melawan balik.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar tidak nyaman. Sebab, perang dagang tentu akan mengancam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Investor di Indonesia pun perlu waspada.
Ada sisi positif saat pasar Indonesia tutup kala dunia sedang sangat dinamis. Setidaknya Indonesia bisa imun terhadap berbagai dampak negatif perkembangan-perkembangan tersebut.
Namun negatifnya, investor mungkin perlu waktu untuk menyesuaikan diri sebab pasar global sudah bergerak entah ke mana. Pasar Indonesia harus memperpendek jarak (catching up) dengan pasar dunia yang sudah jauh di depan, dan mungkin prosesnya bisa sedikit bergelombang alias bumpy.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular