
Bunga Acuan AS Naik, Negara Tetangga RI Ini Tetap 'Santai'
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
18 June 2018 06:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada Kamis (14/6/2018) pekan lalu, The Fed (Bank Sentral AS) telah menaikkan suku bunga acuannya 25 bps ke tingkat 1,75-2%.
Suku bunga AS yang lebih tinggi pasti mengguncang pasar keuangan negara berkembang akibat pembalikan modal (capital reversal). Oleh karena itu, bank sentral negara berkembang ramai-ramai menempuh siklus kebijakan moneter ketat.
Kenaikan suku bunga Fed mengangkat imbal hasil US Treasury yang mendorong investor untuk beralih dari 'berutang' di pasar negara berkembang untuk kembali ke AS. Hal ini berisiko dan memicu penurunan tajam mata uang di negara berkembang.
Pasar di Argentina, Brasil dan Turki terkena pukulan terbesar yang mata uangnya jatuh. Di Asia, bank sentral India, Indonesia dan Filipina telah menaikkan suku bunga dan melakukan intervensi untuk mempertahankan mata uang mereka.
Namun tidak seperti negara-negara tersebut yang memang memiliki defisit transaksi berjalan pada neracanya, bank-bank sentral negara yang surplus seperti Thailand, Korea Selatan, Taiwan serta Malaysia tak perlu mengikuti langkah The Fed untuk menaikkan bunganya.
"Saya tidak melihat negara-negara tersebut dipaksa oleh The Fed karena beberapa dari mereka memiliki surplus yang besar sehingga mereka mungkin akan senang melihat mata uang yang melemah dan arus modal keluar," ungkap co-head of Asian Economic Research di HSBC, Frederic Neumann seperti dilansir Reuters, Senin (18/6/2018).
Mata uang yang sedikit melemah dan arus modal keluar dari portfolio menurutnya dapat membantu mengangkat inflasi yang berada di bawah target dan memberikan dorongan kepada eksportir di tengah belum meredanya tensi perang dagang AS dan China.
Pekan ini, bank sentral Thailand dan Taiwan diproyeksikan akan mengubah outlook dan stance moneternya. Beberapa analis menyebut satu kenaikan bunga acuan di Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan dalam 18 bulan ke depan. Jauh lebih 'santai' ketimbang The Fed yang menaikkannya lima atau enam kali.
Sebagai catatan, Peso Filipina turun hingga 7% dan diperdagangkan pada titik terendah dalam 12 tahun belakangan. Adapun Rupee India mendekati rekor terendahnya. Indonesia sendiri lewat nilai tukar rupiah juga telah turun 5% sejak awal 2018.
Namun, sebaliknya di Korea Selatan melalui Won, Baht Thailand dan Dollar Taiwan hanya turun 3%. Ada perbedaan investor di negara-negara berkembang tersebut.
Di negara yang memiliki defisit pada transaksi berjalannya, investor cenderung memegang obligasi jangka pendek yang lebih likuid dan kurang berisiko daripada jangka panjang. Sedangkan di negara yang surplus, investor lebih nyaman memegang surat berharga jangka panjang.
Pekan lalu menjadi pekan yang kelam bagi bursa saham utama kawasan Asia. Sepanjang perdagangan minggu ini, indeks Strait Times anjlok 2,32%, indeks Hang Seng anjlok 2,1%, indeks Kospi anjlok 1,94%, dan indeks Shanghai anjlok 1,48%. Hanya indeks Nikkei yang bisa menghijau yakni sebesar 0,69%.
Pada pertemuan The Fed bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini.
Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan). Jika the Fed kelewat agresif menaikkan suku bunga acuan, bukan tak mungkin hal tersebut mungkin akan 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam.
Apalagi, risiko perang dagang masih mengintai perekonomian Negeri Paman Sam. Sepanjang minggu ini, investor cemas menantikan pengumuman daftar barang-barang yang akan dikenakan bea masuk baru oleh AS. Benar saja, pada hari Jumat Presiden Donald Trump resmi mengumumkan pengenaan bea masuk sebesar 25% bagi barang-barang impor asal China senilai US$ 50 miliar. Secara total, sebanyak 1.102 produk asal China terdampak dari kebijakan ini.
(dru) Next Article Hasil Notulen FOMC: Rupiah Bisa Menguat, Asing akan Masuk
Suku bunga AS yang lebih tinggi pasti mengguncang pasar keuangan negara berkembang akibat pembalikan modal (capital reversal). Oleh karena itu, bank sentral negara berkembang ramai-ramai menempuh siklus kebijakan moneter ketat.
Kenaikan suku bunga Fed mengangkat imbal hasil US Treasury yang mendorong investor untuk beralih dari 'berutang' di pasar negara berkembang untuk kembali ke AS. Hal ini berisiko dan memicu penurunan tajam mata uang di negara berkembang.
Namun tidak seperti negara-negara tersebut yang memang memiliki defisit transaksi berjalan pada neracanya, bank-bank sentral negara yang surplus seperti Thailand, Korea Selatan, Taiwan serta Malaysia tak perlu mengikuti langkah The Fed untuk menaikkan bunganya.
"Saya tidak melihat negara-negara tersebut dipaksa oleh The Fed karena beberapa dari mereka memiliki surplus yang besar sehingga mereka mungkin akan senang melihat mata uang yang melemah dan arus modal keluar," ungkap co-head of Asian Economic Research di HSBC, Frederic Neumann seperti dilansir Reuters, Senin (18/6/2018).
Mata uang yang sedikit melemah dan arus modal keluar dari portfolio menurutnya dapat membantu mengangkat inflasi yang berada di bawah target dan memberikan dorongan kepada eksportir di tengah belum meredanya tensi perang dagang AS dan China.
Pekan ini, bank sentral Thailand dan Taiwan diproyeksikan akan mengubah outlook dan stance moneternya. Beberapa analis menyebut satu kenaikan bunga acuan di Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan dalam 18 bulan ke depan. Jauh lebih 'santai' ketimbang The Fed yang menaikkannya lima atau enam kali.
Sebagai catatan, Peso Filipina turun hingga 7% dan diperdagangkan pada titik terendah dalam 12 tahun belakangan. Adapun Rupee India mendekati rekor terendahnya. Indonesia sendiri lewat nilai tukar rupiah juga telah turun 5% sejak awal 2018.
Namun, sebaliknya di Korea Selatan melalui Won, Baht Thailand dan Dollar Taiwan hanya turun 3%. Ada perbedaan investor di negara-negara berkembang tersebut.
Pekan lalu menjadi pekan yang kelam bagi bursa saham utama kawasan Asia. Sepanjang perdagangan minggu ini, indeks Strait Times anjlok 2,32%, indeks Hang Seng anjlok 2,1%, indeks Kospi anjlok 1,94%, dan indeks Shanghai anjlok 1,48%. Hanya indeks Nikkei yang bisa menghijau yakni sebesar 0,69%.
Pada pertemuan The Fed bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini.
Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan). Jika the Fed kelewat agresif menaikkan suku bunga acuan, bukan tak mungkin hal tersebut mungkin akan 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam.
Apalagi, risiko perang dagang masih mengintai perekonomian Negeri Paman Sam. Sepanjang minggu ini, investor cemas menantikan pengumuman daftar barang-barang yang akan dikenakan bea masuk baru oleh AS. Benar saja, pada hari Jumat Presiden Donald Trump resmi mengumumkan pengenaan bea masuk sebesar 25% bagi barang-barang impor asal China senilai US$ 50 miliar. Secara total, sebanyak 1.102 produk asal China terdampak dari kebijakan ini.
(dru) Next Article Hasil Notulen FOMC: Rupiah Bisa Menguat, Asing akan Masuk
Most Popular