Aksi Jual dan Kewaspadaan Investor Naikkan Yield Obligasi

Hidayat Setiaji & Roy Franedya, CNBC Indonesia
08 June 2018 09:59
Aksi Jual dan Kewaspadaan Investor Naikkan Yield Obligasi
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia masih berada di jalur pendakian. Aksi jual sepertinya masih membayangi pasar Surat Berharga Negara (SBN). 

Pada Jumat (8/6/2018) pukul 09:11 WIB, yield SBN seri FR0064 tenor 10 tahun berada di 7,256%. Naik dibandingkan hari sebelumnya yaitu 7,237%. 

Yield SBN terus menanjak sejak 4 Juni. Sebab, sebelumnya pasar SBN mengalami reli yang cukup panjang. Bahkan yield sempat turun drastis dari 7,6% ke 6,9%.  

Namun selepas 4 Juni yield bergerak naik dan belum berhenti hingga hari ini. Dalam empat hari, yield sudah naik cukup signifikan. 

Aksi Jual dan Kewaspadaan Investor Naikkan Yield ObligasiReuters

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sejatinya investor asing masih menambah kepemilikannya di SBN. Per 6 Juni, kepemilikan asing tercatat Rp 838,53 triliun. Pada awal bulan ini, nilainya adalah Rp 836,05 triliun. 

Bank Indonesia (BI) juga masih 'bergerilya' di pasar SBN dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. BI membeli SBN untuk menyerap likuiditas rupiah agar nilai mata uang ini bisa naik. 

Per 6 Juni,  SBN yang dimiliki BI bernilai Rp 262,57 triliun. Naik dibandingkan posisi awal bulan yaitu Rp 240,68 triliun. 

Investor yang ternyata cukup banyak melepas SBN adalah perbankan. Pada 6 Juni, kepemilikan SBN oleh perbankan adalah Rp 403 triliun. Turun dibandingkan awal bulan yang masih Rp 423,72 triliun. 

Ada kemungkinan perbankan melepas SBN untuk memperoleh likuiditas segar. Saat ini, Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun kredit masih belum tumbuh kencang. 

Menurut catatan BI, pertumbuhan DPK pada Maret adalah 7,7% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu  8,4%.  

Kredit pun masih tumbuh di level satu digit, yaitu 8,5%. Permintaan kredit baru juga turun, yang terlihat dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yaitu 75,9% pada kuartal I-2018. Turun dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 94,3%. 

Hal ini menyebabkan bisa jadi perbankan membutuhkan likuiditas untuk operasional maupun ekspansi. Likuiditas itu didapat dengan cara melepas SBN di pasar sekunder. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Namun selain faktor tersebut, kondisi global juga tengah kurang kondusif sehingga investor pun cenderung bermain aman dan menghindari risiko. Perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia tengah dipertaruhkan gara-gara kebijakan proteksionis Amerika Serikat (AS). 

Presiden AS Donald Trump keukeuh menerapkan bea masuk terhadap baja dan aluminium, bahkan ke negara-negara sekutunya seperti Kanada, Meksiko, atau Uni Eropa. Kebijakan ini memicu protes dari negara-negara tersebut. 

Pertemuan G-7 di Quebec (Kanada) pada 8-9 Juni ini pun menjadi tanda tanya besar. Sepertinya situasi panas tidak dapat terhindarkan. 

"Saya tentu akan berbicara dengan Presiden AS seputar perkembangan terkini, terutama di bidang perdagangan. Namun sepertinya diskusi akan sedikit sulit," ungkap Angela Merkel, Kanselir Jerman, dikutip dari Reuters. 

Komentar bernada keras datang dari Presiden Prancis Emmanuel Macron. Sang presiden Negeri Anggur ini menegaskan bahwa anggota G-7 yang lain siap kehilangan AS jika Trump terus ngotot menebar ancaman perang dagang. 

"Mungkin presiden AS tidak peduli kalau diasingkan, tetapi kami pun tidak ada masalah jika harus menjadi enam. Sebab enam ini merepresentasikan nilai, pasar ekonomi, dan kekuatan besar di percaturan internasional," tegas Macron. 

Sikap hati-hati investor bertambah karena mengantisipasi pertemuan dua bank sentral besar pada pekan depan yaitu The Federal Reserve/The Fed dan European Central Bank/ECB. Aroma pengetatan moneter tercium dari keduanya, sehingga pasar pun bergerak dengan penuh kewaspadaan. 

The Fed kemungkinan besar akan mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% pada rapat 13 Juni. Sementara ECB sudah mengindikasikan pengurangan stimulus moneter, yang bisa saja mulai diumumkan dalam rapat 14 Juni. 

Berbagai dinamika ini membuat pelaku pasar cenderung menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang. SBN pun menjadi salah satu instrumen yang ditinggalkan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular