Newsletter

BI Beri Dua Pelumas, Bisakah IHSG Memanfaatkan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 June 2018 05:33
BI Beri Dua Pelumas, Bisakah IHSG Memanfaatkan?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi pada perdagangan kemarin. Investor melakukan aksi ambil untung setelah IHSG menguat signifikan selama dua hari berturut-turut. 

Kemarin, IHSG melemah 0,31%. Nilai transaksi tercatat Rp 11,4 triliun dengan volume 16,1 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 507.117 kali. 

IHSG sudah menguat masing-masing 0,52% pada Senin dan 1,23% pada Selasa. Penguatan signifikan ini sepertinya cukup menggoda investor untuk melakukan ambil untung alias profit taking.


Selain itu, sentimen domestik yang bisa menggerakkan bursa terbilang minim. Oleh karena itu, mungkin investor berpikir kemarin adalah saatnya konsolidasi sambil menunggu pemicu yang tepat untuk kembali aktif bertransaksi. 

Kemudian, ada pula kemungkinan investor yang bermain aman karena menantikan rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Mei. Data ini akan memberikan indikasi mengenai prospek konsumsi masyarakat Indonesia ke depannya. 

Investor asing pun memilih bermain aman dengan cara melakukan aksi jual, bahkan cukup besar. Pada perdagangan kemarin, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 502,37 miliar. 

Sementara bursa saham utama Asia justru berada di jalur hijau. Indeks Nikkei 225 naik 0,38%, Shanghai Composite menguat 0,05%, Hang Seng surplus 0,53%, dan Kospi bertambah. 

Bursa Asia berhasil memanfaatkan aura positif dari sektor perdagangan. Meski masih banyak tantangan, tetapi friksi dagang Amerika Serikat (AS) dan China perlahan mulai mereda. 

China dikabarkan telah menawarkan tambahan pembelian barang-barang asal AS senilai hampir US$ 70 miliar pada tahun depan, jika AS membatalkan bea masuk bagi produk-produk asal Negeri Panda. Barang-barang yang akan dibeli oleh China berupa kedelai, jagung, gas alam, minyak mentah, batu bara, dan beberapa produk lainnya. 

AS pun bergerak cepat dalam membebaskan ZTE dari sanksi. Reuters melaporkan bahwa ZTE telah menandatangani kesepakatan awal yang bisa mencabut larangan untuk membeli komponen-komponen asal pabrikan AS. 

Perjanjian tersebut meliputi komitmen membayar denda senilai US$ 1 miliar plus US$ 400 juta. Selain itu, ZTE juga sepakat untuk memperbolehkan pengawas dari pihak AS mendatangi pabrik mereka untuk memastikan komponen buatan Negeri Adidaya benar-benar digunakan. ZTE juga wajib mencantumkan besaran kandungan lokal AS dalam produk mereka di situs resmi, serta merombak jajaran direksi dalam 30 hari ke depan. 

Sebelumnya, sanksi yang berdurasi selama tujuh tahun bagi ZTE diterapkan karena perusahaan teknologi asal China tersebut menjual produknya secara ilegal ke Iran dan Korea Utara. Pengampunan terhadap ZTE bisa menjadi gerbang masuk bagi negosiasi dagang AS-China.

Beijing memang dikabarkan ngotot agar sanksi terhadap ZTE dicabut terlebih dulu sebelum masuk ke negosiasi perdagangan yang lebih luas. Jadi, mungkin inilah saatnya AS dan China bisa memulai negosiasi dagang yang substansial.
 

Selain itu, investor juga antusias menyambut pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura pada 12 Juni mendatang. Prospek perdamaian di Semenanjung Korea pun semakin nyata, dan satu risiko besar akan segera sirna. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama mengalami penguatan yang signifikan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,4%, S&P 500 naik 0,85%, dan Nasdaq bertambah 0,67%. 

Lompatan Wall Street disebabkan oleh meredanya kekhawatiran terhadap perang dagang AS vs China. Presiden Trump dikabarkan telah bertemu dengan penasihat perdagangan Gedung Putih untuk membahas penawaran China yang ingin lebih banyak mengimpor produk Negeri Paman Sam. 

Trump sudah diinformasikan mengenai tawaran dan China dan akan segera memberikan respons dalam waktu dekat. Untuk saat ini masih belum jelas apakah Washington akan menerima proposal dari China atau tidak. 

Meski belum ada jawaban dari Gedung Putih, tetapi kabar bahwa Trump mulai mempertimbangkan tawaran dari China sudah cukup untuk memantik optimisme. Investor berharap hubungan AS-China membaik sehingga mendukung pemulihan arus perdagangan dan pemulihan ekonomi global. 

Masih dari bidang perdagangan, pelaku pasar juga menyambut baik pernyataan dari Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih. Kudlow mengatakan Trump akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Presiden Prancis Emmanuel Macron di sela-sela pertemuan G7 di Quebec pada 8-9 Juni mendatang. 

Pelaku pasar berekspektasi pertemuan tersebut bisa memperbaiki hubungan dagang AS dengan Kanada dan Prancis. Belum lama ini, AS menerapkan bea masuk untuk impor baja dan aluminium dari sejumlah negara sekutunya, termasuk Kanada dan Uni Eropa. 

Kanada sudah membalas dengan mengenakan balik bea masuk untuk sejumlah produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Uni Eropa memang belum melakukan aksi balas dendam, tetapi komentar keras sudah bertebaran. 

"AS bisa dibilang sendirian melawan dunia, bahkan melawan sekutu mereka sendiri," tegas Bruno La Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti dikutip dari Reuters, beberapa waktu lalu. 

Pertemuan Trump dengan Trudeau dan Macron diharapkan bisa mencari jalan keluar atas gesekan dagang yang terjadi. Dengan begitu, risiko perang dagang dalam skala global bisa dihindari. 


Untuk perdagangan hari ini, kinerja Wall Street yang kinclong bisa menjadi penyemangat IHSG. Biasanya performa Wall Street memang akan memberi warna kepada bursa Benua Kuning, termasuk Indonesia. 

Meredanya kekhawatiran terhadap perang dagang juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Ketika perang dagang sirna, maka tidak ada lagi aksi saling proteksi sehingga arus perdagangan dunia akan lancar. Ini tentu membawa kabar baik bagi upaya perbaikan ekspor Indonesia. 

Seperti diketahui, kinerja ekspor Tanah Air pada 2018 kurang menggembirakan. Sepanjang Januari-April 2018, neraca perdagangan Indonesia membukukan defisit US$ 1,31 miliar. Jauh memburuk dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu surplus US$ 5,43 miliar. 

Perang dagang, apalagi dalam skala global, tentu akan menyulitkan ekspor Indonesia. Ketika ekspor terhambat, maka neraca perdagangan akan semakin tertekan. Ini tentu bukan berita baik, karena bisa mempengaruhi nilai tukar rupiah. 

Oleh karena itu, Indonesia tentu diuntungkan dengan meredanya tensi perdagangan AS vs dunia. Diharapkan kinerja ekspor nasional akan membaik sehingga menstabilkan rupiah. 

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Mei 2018 yang sebesar 125,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 122,2. 

"Peningkatan optimisme konsumen didorong oleh peningkatan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). Hal ini didorong oleh adanya THR (Tunjangan Hari Raya) dan menyambut Idul Fitri," sebut laporan BI. 

Perkembangan ini berpeluang meredakan tekanan saham sektor barang konsumsi, sejak data inflasi yang meleset dari ekspektasi pasar. Apalagi BI juga mencatat masyarakat kini lebih hobi berbelanja. 

Ini terlihat dari rata-rata porsi pendapatan konsumen untuk belanja sebesar 66,1% pada Mei, meningkat tipis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 66%. Rasio cicilan terhadap pendapatan juga meningkat yaitu dari 13,9% menjadi 14,2%. Sementara porsi pendapatan yang disimpan turun dari 20% menjadi 19,6%. 

Masih dari dalam negeri dan masih dari BI, Gubernur Perry Warjiyo kembali mengutarakan komentar bernada hawkish. Menurut Perry, ke depan masih ada ruang untuk kembali menaikkan suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate. Sebagai informasi, BI sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan bulan lalu dengan total 50 basis poin. 

"BI akan terus mempertimbangkan perkembangan domesik dan internasional untuk memanfaatkan kenaikan bunga secara terukur. Itu forward guidance. Kita lihat probabilitas kenaikan bunga memang ada, tapi tidak gila-gilaan. Terukur," tegas Perry. 

Merespons pernyataan Perry, kemarin rupiah menguat 0,17% terhadap dolar AS. Pernyataan Perry lagi-lagi memunculkan persepsi bahwa BI ahead the curve. BI dinilai cukup baik mengantisipasi kebijakan moneter AS yang terus mengetat. 

Jika penguatan rupiah berlanjut hari ini, maka diharapkan bisa membantu IHSG untuk rebound. Walau terkadang laju IHSG dan rupiah tidak sinkron, tetapi ada harapan IHSG menguat saat rupiah terapresiasi. Memegang aset berdenominasi rupiah akan menguntungkan saat mata uang ini menguat, karena nilainya naik. 

Dua pelumas dari BI tersebut diharapkan bisa menjadi katalis yang membawa IHSG ke teritori positif. Semoga IHSG mampu bangkit dengan kekuatan dari dalam negeri.


Namun, ada risiko yang perlu diwaspadai investor. Di AS, kini muncul kembali persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed kemungkinan akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bisa saja The Fed menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018, bukan tiga kali seperti yang sudah diperkirakan. 

Hal ini terlihat dari kenaikan ekspektasi inflasi. Salah satu pertanda kemunculan ekspektasi inflasi adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9736%, sementara kemarin adalah 2,919%. 

Kenaikan ekspektasi inflasi disebabkan oleh data-data ekonomi AS yang positif. Terakhir, Institute of Supply Management (ISM) melaporkan indeks Non-Manufacturing Employment periode Mei tercatat di 54,1, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,6. Sementara Non-Manufacturing Paid Index juga naik ke 64,3 dari sebelumnya 61,8. 

Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan permintaan tenaga kerja pada April mencapai 6,7 juta, naik 65.000 dibandingkan bulan sebelumnya. Angka permintaan tenaga kerja ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2000. 

Ada satu lagi, yaitu neraca perdagangan AS yang membaik. Pada April, neraca perdagangan AS mencatat defisit US$ 46,2 miliar. Ini lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar yaitu minus US$ 49 miliar. Juga lebih baik dibandingkan neraca perdagangan Maret, yang membukukan defisit US$ 47,2 miliar. 

Pemulihan ekonomi AS kian nyata, sehingga ISM memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 bisa mencapai 4,8%. Melonjak dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,2%. 

Laju pertumbuhan ekonomi yang kencang akan menciptakan efek inflatoir. Untuk meredam inflasi, obat paling mujarab adalah menaikkan suku bunga. Persepsi ini timbul-tenggelam di Negeri Adidaya, dan kebetulan sekarang sedang timbul lagi. 

The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan pada 13 Juni alias pekan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan tersebut mencapai 93,8%. 

Ditambah lagi kini Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) mulai berpikir untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus alias tapering off. 

"Sinyal inflasi menuju sasaran kami sudah semakin terlihat. Dengan ekonomi Eropa yang semakin kuat dan upah yang meningkat, maka kami semakin yakin bahwa inflasi memang masih di bawah 2% tetapi sudah sangat mendekati itu dalam jangka menengah," jelas Praet, dikutip dari Reuters. 

Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.  

Dengan perkembangan ini, pengetatan moneter di Eropa sepertinya sudah di depan mata. Pelaku pasar akan mempersiapkan diri jelang pertemuan ECB pada 14 Juni untuk melihat arah kebijakan moneter Benua Biru. 

Kombinasi The Fed dan ECB yang sama-sama menginjak pedal gas bisa membuat aliran dana ke negara-negara berkembang menyusut karena arus modal terkonsentrasi ke AS dan Eropa. Ini tentu bukan sentimen yang bisa mendukung kenaikan IHSG. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data Indeks Penjualan Riil Indonesia periode April 2018 (tentatif).
  • Rilis data neraca perdagangan Australia periode April 2018 (08:30).
  • Rilis data revisi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 Uni Eropa (16:00).
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS dalam sepekan hingga 1 Juni (19:30).
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

Perusahaan

Jenis Kegiatan

Waktu

PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI)

RUPS Tahunan

09:00

PT Akasha Wira International Tbk (ADES)

RUPS Tahunan

10:00

PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA)

RUPS Tahunan

10:00

PT Metrodata Electronics Tbk (MTLD)

RUPS Tahunan

10:00

PT Summarecon Agung Tbk (SMRA)

RUPS Tahunan

10:00

PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA)

RUPS Tahunan

10:00

PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk (JKON)

RUPS Tahunan

10:00

PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN)

RUPSLB

10:00

PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA)

RUPS Tahunan

10:00

PT Cakra Mineral Tbk (CKRA)

RUPS Tahunan

11:00

PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR)

RUPSLB

12:00

PT Bumi Resources Tbk (BUMI)

RUPS Tahunan

14:00

PT Citatah Tbk (CTTH)

RUPS Tahunan

14:00

PT Ancora Indonesia Resources Tbk (OKAS)

RUPSLB

14:00

PT Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA)

RUPS Tahunan

14:00

PT Tifa Finance Tbk (TIFA)

RUPS Tahunan

14:00

PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA)

RUPS Tahunan

15:00


Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:

Indeks

Close

% Change

% YTD

IHSG

6,069.71

(0.31)

(4.50)

LQ45

969.45

(0.45)

(10.18)

DJIA

24,146.39

1.40

1.73

CSI300

3,837.98

(0.19)

(4.78)

Hang Seng

31,259.10

0.53

4.48

Nikkei 225

22,625.73

0.38

(0.61)

Straits Times

3,467.81

(0.44)

1.91


Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:

 

Mata Uang

 Close

% Change

 % YoY

USD/IDR

13,850

(0.17)

4.11

EUR/USD

1.17

0.51

4.63

GBP/USD

1.34

0.16

3.48

USD/CHF

0.98

0.18

2.18

USD/CAD

1.29

(0.15)

(4.19)

USD/JPY

110.17

0.36

0.23

AUD/USD

0.77

0.71

1.74


Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:  

 

Komoditas

 Close

 % Change

 % YoY

Minyak Light Sweet (US$/barel)

64.99

(0.69)

42.02

Minyak Brent (US$/barel)

75.77

0,53

57.31

Emas (US$/troy ons)

1,296.71

0,08

0.94

CPO (MYR/ton)

2,396.00

(0.37)

(11.49)

Batu bara (US$/ton)

108.12

0.60

37.07

Tembaga (US$/pound)

3.29

2.05

28.14

Nikel (US$/ton)

15,423.50

0.00

76.18

Timah (US$/ton)

20,650.00

0.36

6.94

Karet (JPY/kg)

171.30

0.71

(12.33)

Kakao (US$/ton)

2,294.00

0.22

16.96


Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara: 

 

Tenor

 Yield (%)

 5Y

6.86

10Y

7.16

15Y

7.57

20Y

7.64

30Y

7.89

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)

5.06%

Inflasi (Mei 2018 YoY)

3.23

Defisit anggaran (APBN 2018)

-2.19% PDB

Transaksi berjalan (Q I-2018)

-2.15% PDB

Neraca pembayaran (Q I-2018)

-US$ 3.85 miliar

Cadangan devisa (April 2018)

US$ 124.9 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular