
Newsletter
BI Beri Dua Pelumas, Bisakah IHSG Memanfaatkan?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 June 2018 05:33

Namun, ada risiko yang perlu diwaspadai investor. Di AS, kini muncul kembali persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed kemungkinan akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bisa saja The Fed menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018, bukan tiga kali seperti yang sudah diperkirakan.
Hal ini terlihat dari kenaikan ekspektasi inflasi. Salah satu pertanda kemunculan ekspektasi inflasi adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9736%, sementara kemarin adalah 2,919%.
Kenaikan ekspektasi inflasi disebabkan oleh data-data ekonomi AS yang positif. Terakhir, Institute of Supply Management (ISM) melaporkan indeks Non-Manufacturing Employment periode Mei tercatat di 54,1, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,6. Sementara Non-Manufacturing Paid Index juga naik ke 64,3 dari sebelumnya 61,8.
Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan permintaan tenaga kerja pada April mencapai 6,7 juta, naik 65.000 dibandingkan bulan sebelumnya. Angka permintaan tenaga kerja ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2000.
Ada satu lagi, yaitu neraca perdagangan AS yang membaik. Pada April, neraca perdagangan AS mencatat defisit US$ 46,2 miliar. Ini lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar yaitu minus US$ 49 miliar. Juga lebih baik dibandingkan neraca perdagangan Maret, yang membukukan defisit US$ 47,2 miliar.
Pemulihan ekonomi AS kian nyata, sehingga ISM memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 bisa mencapai 4,8%. Melonjak dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,2%.
Laju pertumbuhan ekonomi yang kencang akan menciptakan efek inflatoir. Untuk meredam inflasi, obat paling mujarab adalah menaikkan suku bunga. Persepsi ini timbul-tenggelam di Negeri Adidaya, dan kebetulan sekarang sedang timbul lagi.
The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan pada 13 Juni alias pekan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan tersebut mencapai 93,8%.
Ditambah lagi kini Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) mulai berpikir untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus alias tapering off.
"Sinyal inflasi menuju sasaran kami sudah semakin terlihat. Dengan ekonomi Eropa yang semakin kuat dan upah yang meningkat, maka kami semakin yakin bahwa inflasi memang masih di bawah 2% tetapi sudah sangat mendekati itu dalam jangka menengah," jelas Praet, dikutip dari Reuters.
Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.
Dengan perkembangan ini, pengetatan moneter di Eropa sepertinya sudah di depan mata. Pelaku pasar akan mempersiapkan diri jelang pertemuan ECB pada 14 Juni untuk melihat arah kebijakan moneter Benua Biru.
Kombinasi The Fed dan ECB yang sama-sama menginjak pedal gas bisa membuat aliran dana ke negara-negara berkembang menyusut karena arus modal terkonsentrasi ke AS dan Eropa. Ini tentu bukan sentimen yang bisa mendukung kenaikan IHSG.
(aji/aji)
Hal ini terlihat dari kenaikan ekspektasi inflasi. Salah satu pertanda kemunculan ekspektasi inflasi adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9736%, sementara kemarin adalah 2,919%.
Kenaikan ekspektasi inflasi disebabkan oleh data-data ekonomi AS yang positif. Terakhir, Institute of Supply Management (ISM) melaporkan indeks Non-Manufacturing Employment periode Mei tercatat di 54,1, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,6. Sementara Non-Manufacturing Paid Index juga naik ke 64,3 dari sebelumnya 61,8.
Kemudian, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan permintaan tenaga kerja pada April mencapai 6,7 juta, naik 65.000 dibandingkan bulan sebelumnya. Angka permintaan tenaga kerja ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2000.
Ada satu lagi, yaitu neraca perdagangan AS yang membaik. Pada April, neraca perdagangan AS mencatat defisit US$ 46,2 miliar. Ini lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar yaitu minus US$ 49 miliar. Juga lebih baik dibandingkan neraca perdagangan Maret, yang membukukan defisit US$ 47,2 miliar.
Pemulihan ekonomi AS kian nyata, sehingga ISM memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 bisa mencapai 4,8%. Melonjak dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,2%.
Laju pertumbuhan ekonomi yang kencang akan menciptakan efek inflatoir. Untuk meredam inflasi, obat paling mujarab adalah menaikkan suku bunga. Persepsi ini timbul-tenggelam di Negeri Adidaya, dan kebetulan sekarang sedang timbul lagi.
The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan pada 13 Juni alias pekan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam pertemuan tersebut mencapai 93,8%.
Ditambah lagi kini Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) mulai berpikir untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus alias tapering off.
"Sinyal inflasi menuju sasaran kami sudah semakin terlihat. Dengan ekonomi Eropa yang semakin kuat dan upah yang meningkat, maka kami semakin yakin bahwa inflasi memang masih di bawah 2% tetapi sudah sangat mendekati itu dalam jangka menengah," jelas Praet, dikutip dari Reuters.
Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.
Dengan perkembangan ini, pengetatan moneter di Eropa sepertinya sudah di depan mata. Pelaku pasar akan mempersiapkan diri jelang pertemuan ECB pada 14 Juni untuk melihat arah kebijakan moneter Benua Biru.
Kombinasi The Fed dan ECB yang sama-sama menginjak pedal gas bisa membuat aliran dana ke negara-negara berkembang menyusut karena arus modal terkonsentrasi ke AS dan Eropa. Ini tentu bukan sentimen yang bisa mendukung kenaikan IHSG.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular