
Newsletter
IHSG di Antara Perang Dagang, Semenanjung Korea, dan Kode BI
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 May 2018 06:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami periode yang cukup indah pekan lalu. IHSG menguat signifikan akibat aksi borong yang dilakukan investor, bahkan asing pun ikut berpartisipasi.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 3,33%. Namun rata-rata nilai transaksi harian turun 6,01% dan rata-rata volume transaksi harian juga turun 0,25%.
Meski demikian investor asing mulai melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 867 miliar sepanjang pekan lalu. Walau secara tahunan investor asing masih tercatat mengakumulasi jual bersih senilai Rp 40,16 triliun.
Pencapaian IHSG jauh mengungguli bursa-bursa utama Asia. Sepekan kemarin, indeks Nikkei 225 anjlok hingga 2,09%, Hang Seng turun 1,48%, Shanghai Composite amblas 1,62%, dan Straits Times melemah 0,45%.
Penguatan rupiah menjadi motor penggerak IHSG. Dalam rentang seminggu terakhir, rupiah berhasil menguat 0,45% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dengan nilai rata-rata berada Rp 14.152/US$.
Penguatan rupiah didukung oleh hasil rilis ikhtisar rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Mei 2018, yang mengungkapkan bahwa para pejabat bank sentral AS menilai belum ada potensi overheating dalam perekonomian. Masih belum ada cukup bukti bahwa pasar tenaga kerja sudah pulih sepenuhnya sehingga bisa menimbulkan tekanan inflasi.
Namun, The Fed tetap menegaskan bahwa apabila pemulihan ekonomi AS terus berlangsung maka sudah saatnya untuk menghapus kata 'akomodatif' dalam kebijakan moneter. Artinya, kenaikan suku bunga secara gradual tetap akan ditempuh.
Pelaku pasar lantas menyimpulkan bahwa The Fed kemungkinan besar akan menaikkan lagi suku bunga acuan pada pertemuan bulan depan. Akan tetapi untuk jumlah kenaikan apakah tiga atau empat kali sepanjang 2018, sepertinya baru terlihat jelas dalam minutes of meeting berikutnya.
Perkembangan ini untuk sementara membuat investor lega, karena tanda-tanda kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif di tahun ini belum terlihat. Alhasil, volatilitas pasar keuangan Indonesia pun sedikit mereda. Aliran modal asing yang keluar mulai berbalik arah, sehingga membantu rupiah tidak mengalami pelemahan lebih dalam.
Terlebih, angin positif mulai datang setelah dilantiknya Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). Besarnya ekspektasi pasar terhadap Perry muncul seiring dengan kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada pro-growth dan pro-stability, guna menciptakan perekonomian Indonesia yang tumbuh secara suistanable dan seimbang.
Sementara situasi regional kurang bersahabat akibat negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya menemui jalan terjal. Presiden AS Donald Trump beberapa kali menyatakan kekecewaannya terhadap proses pembicaraan dengan Beijing.
Menurut Trump, perlu ada struktur baru kesepakatan perdagangan dengan China. Sebab, struktur yang sekarang agak sulit dipenuhi.
Informasi yang beredar menyebut AS ingin defisit perdagangan dengan China dikurangi sebanyak US$ 200 miliar. Sementara China ingin agar sanksi terhadap perusahaan telekomunikasi ZTE dicabut sebelum memulai proses negosiasi yang lebih substansial.
Sepertinya kedua permintaan tersebut sulit dipenuhi 100%. Oleh karena itu, mungkin Trump ingin mengajukan struktur penawaran baru agar proses pembicaraan bisa lebih maju.
Maju-mundurnya pembicaraan dagang AS-China membuat risiko perang dagang masih terbuka. Belum lagi sejumlah negara seperti Jepang, Rusia, dan Turki mulai turun ke gelanggang dengan mewacanakan membalas perlakuan AS yaitu menerapkan bea masuk baru terhadap produk-produk asal Negeri Adidaya.
Perkembangan ini membuat proses pemulihan perdagangan dan perekonomian dunia menjadi dalam tanda tanya besar. Tidak heran bila kemudian investor memilih bermain aman dan menghindari instrumen-instrumen berisiko seperti saham, sehingga bursa regional cenderung tertekan.
Belum lagi ada kabar kurang enak, yaitu AS secara resmi membatalkan rencana pertemuan dengan Korea Utara pada 12 Juni mendatang di Singapura. AS menilai berbagai komentar dari Pyongyang cukup agresif sehingga sulit untuk berdialog dalam waktu dekat. Artinya, konflik di Semenanjung Korea masih bisa terjadi sewaktu-waktu. Ini lagi-lagi membuat investor memasang mode risk-off dan meluluhlantakkan bursa saham Asia.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 3,33%. Namun rata-rata nilai transaksi harian turun 6,01% dan rata-rata volume transaksi harian juga turun 0,25%.
Meski demikian investor asing mulai melakukan aksi beli bersih sebesar Rp 867 miliar sepanjang pekan lalu. Walau secara tahunan investor asing masih tercatat mengakumulasi jual bersih senilai Rp 40,16 triliun.
Pencapaian IHSG jauh mengungguli bursa-bursa utama Asia. Sepekan kemarin, indeks Nikkei 225 anjlok hingga 2,09%, Hang Seng turun 1,48%, Shanghai Composite amblas 1,62%, dan Straits Times melemah 0,45%.
Penguatan rupiah menjadi motor penggerak IHSG. Dalam rentang seminggu terakhir, rupiah berhasil menguat 0,45% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dengan nilai rata-rata berada Rp 14.152/US$.
Penguatan rupiah didukung oleh hasil rilis ikhtisar rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Mei 2018, yang mengungkapkan bahwa para pejabat bank sentral AS menilai belum ada potensi overheating dalam perekonomian. Masih belum ada cukup bukti bahwa pasar tenaga kerja sudah pulih sepenuhnya sehingga bisa menimbulkan tekanan inflasi.
Namun, The Fed tetap menegaskan bahwa apabila pemulihan ekonomi AS terus berlangsung maka sudah saatnya untuk menghapus kata 'akomodatif' dalam kebijakan moneter. Artinya, kenaikan suku bunga secara gradual tetap akan ditempuh.
Pelaku pasar lantas menyimpulkan bahwa The Fed kemungkinan besar akan menaikkan lagi suku bunga acuan pada pertemuan bulan depan. Akan tetapi untuk jumlah kenaikan apakah tiga atau empat kali sepanjang 2018, sepertinya baru terlihat jelas dalam minutes of meeting berikutnya.
Perkembangan ini untuk sementara membuat investor lega, karena tanda-tanda kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif di tahun ini belum terlihat. Alhasil, volatilitas pasar keuangan Indonesia pun sedikit mereda. Aliran modal asing yang keluar mulai berbalik arah, sehingga membantu rupiah tidak mengalami pelemahan lebih dalam.
Terlebih, angin positif mulai datang setelah dilantiknya Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). Besarnya ekspektasi pasar terhadap Perry muncul seiring dengan kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepada pro-growth dan pro-stability, guna menciptakan perekonomian Indonesia yang tumbuh secara suistanable dan seimbang.
Sementara situasi regional kurang bersahabat akibat negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya menemui jalan terjal. Presiden AS Donald Trump beberapa kali menyatakan kekecewaannya terhadap proses pembicaraan dengan Beijing.
Menurut Trump, perlu ada struktur baru kesepakatan perdagangan dengan China. Sebab, struktur yang sekarang agak sulit dipenuhi.
Informasi yang beredar menyebut AS ingin defisit perdagangan dengan China dikurangi sebanyak US$ 200 miliar. Sementara China ingin agar sanksi terhadap perusahaan telekomunikasi ZTE dicabut sebelum memulai proses negosiasi yang lebih substansial.
Sepertinya kedua permintaan tersebut sulit dipenuhi 100%. Oleh karena itu, mungkin Trump ingin mengajukan struktur penawaran baru agar proses pembicaraan bisa lebih maju.
Maju-mundurnya pembicaraan dagang AS-China membuat risiko perang dagang masih terbuka. Belum lagi sejumlah negara seperti Jepang, Rusia, dan Turki mulai turun ke gelanggang dengan mewacanakan membalas perlakuan AS yaitu menerapkan bea masuk baru terhadap produk-produk asal Negeri Adidaya.
Perkembangan ini membuat proses pemulihan perdagangan dan perekonomian dunia menjadi dalam tanda tanya besar. Tidak heran bila kemudian investor memilih bermain aman dan menghindari instrumen-instrumen berisiko seperti saham, sehingga bursa regional cenderung tertekan.
Belum lagi ada kabar kurang enak, yaitu AS secara resmi membatalkan rencana pertemuan dengan Korea Utara pada 12 Juni mendatang di Singapura. AS menilai berbagai komentar dari Pyongyang cukup agresif sehingga sulit untuk berdialog dalam waktu dekat. Artinya, konflik di Semenanjung Korea masih bisa terjadi sewaktu-waktu. Ini lagi-lagi membuat investor memasang mode risk-off dan meluluhlantakkan bursa saham Asia.
Next Page
Pekan Penuh Kewaspadaan di Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular