Newsletter

Hari Ini, Kesaktian Suku Bunga Acuan Masih Diuji

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 May 2018 04:43
Hari Ini, Kesaktian Suku Bunga Acuan Masih Diuji
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok cukup dalam pada perdagangan pekan lalu. Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) membuat pasar saham global mengalami periode berat, tidak terkecuali di Indonesia. 

Sepanjang pekan kemarin, IHSG amblas 2,91%. Akibatnya, nilai kapitalisasi pasar pun terkoreksi lumayan sebesar 2,68% menjadi Rp 6.466,18 triliun. Rata-rata nilai transaksi perdagangan harian selama sepekan terakhir mengalami naik 29,55%. Sementara rata-rata volume transaksi harian selama sepekan terakhir juga meningkat 18,32% dan rata-rata frekuensi transaksi harian juga tumbuh 21,35%. 

Namun sayangnya, aktivitas pasar yang cukup semarak tersebut sepertinya lebih banyak melibatkan aksi jual. Misalnya investor asing, yang selama pekan lalu membukukan jual bersih mencapai Rp 3,41 triliun. Sepanjang tahun ini, nilai jual bersih investor asing sudah mencapai Rp 41,02 triliun. 

Tidak hanya IHSG yang bernasib malang, bursa saham regional pun mengalami tekanan yang cukup berat. Selama pekan lalu, indeks Hang Seng turun 1,59%, Kospi terkoreksi 0,63%, dan Straits Times melemah 0,94%. 

Penyebabnya berasal dari AS yakni imbali hasil (yield) obligasi pemerintah yang melonjak, bahkan untuk tenor 10 tahun lagi-lagi menembus level 3%. Yield instrumen ini sempat mencapai titik tertingginya sejak pertengahan 2011, hampir 7 tahun terakhir. 

Kenaikan yield menandakan ekspektasi inflasi sedang meningkat. Ini karena data-data perekonomian Negeri Paman Sam terus membaik, sinyal bahwa pemulihan terus terjadi di semua sendi. 

Akselerasi ekonomi ini kemudian melahirkan kekhawatiran percepatan laju inflasi, dari sinilah ekspektasi itu muncul. Ketika ekspektasi inflasi meningkat, obat yang paling manjur adalah kenaikan suku bunga acuan. Oleh karena itu, persepsi terhadap kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif lagi-lagi datang. 

Mengutip Federal Funds Futures, probabilitas The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% adalah 100%. Hampir mustahil The Fed masih mempertahankan suku bunga dalam rapat bulan depan. 

Berita kenaikan suku bunga menjadi bahan bakar bagi penguatan dolar AS. Apresiasi greenback pun tidak terbendung. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan 6 mata uang utama, naik 1,16% dalam sepekan terakhir. 

Konsentrasi dana ke pasar valas untuk memburu dolar AS membuat pasar saham terabaikan. Ini membuat berbagai indeks bursa saham terkoreksi, dan Indonesia tidak terkecuali. 

Selain itu, penguatan dolar AS juga menyebabkan berbagai mata uang terdepresiasi. Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 1,31% terhadap dolar AS. Kemudian yen Jepang terdepresiasi 0,98%, won Korea Selatan berkurang 0,96%, dolar Singapura turun 0,49%, dan ringgit Malaysia minus 0,55%. 

Depresiasi membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang negara-negara tersebut menjadi kurang menaik karena nilainya berkurang. Faktor ini juga menjadi kontributor terhadap melemahnya bursa saham regional. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif cenderung melemah akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) stagnan, S&P 500 melemah 0,26%, dan Nasdaq berkurang 0,38%. Sedangkan secara mingguan, DJIA turun 0,7%, S&P 500 terkoreksi 0,63%, dan Nasdaq anjlok 1,43%. 

Selain lonjakan yield obligasi, sepekan lalu Wall Street juga tertekan akibat perkembangan negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya masih jauh dari harapan. Situasi menjadi keruh kala Presiden AS Donald Trump menyebut China sudah terlalu keenakan karena menikmati surplus perdagangan dengan Negeri Adidaya. 

"Apakah ini (pembicaraan dagang dengan China) akan sukses? Saya cenderung ragu. Alasannya adalah China sudah terlalu manja karena mereka selalu mendapatkan 100% keinginannya dari AS. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," tegas Trump, seperti dikutip dari Reuters, akhir pekan lalu. 

Dalam pembicaraan kali ini, AS meminta China mengurangi surplus perdagangan mereka sebesar US$ 200 miliar, penghapusan kewajiban kerjasama dengan mitra lokal untuk investasi teknologi AS di China, dan penghapusan subsidi bagi industri di China. Sementara China meminta AS mencabut sanksi bagi ZTE, yang dilarang menjual produknya di tanah Negeri Adidaya selama 7 tahun. 

Alotnya negosiasi ini membuat investor khawatir. Jika perang dagang AS-China memanas lagi, maka dikhawatirkan akan mempengaruhi arus perdagangan global mengingat kedua negara ini adalah perekonomian terbesar di dunia. Ini tentu bukan kabar baik untuk sektor keuangan. 

Pekan lalu, Wakil Perdana Menteri China Liu He berkunjung ke Washington untuk berdiskusi mengenai perdagangan dengan para pejabat pemerintahan Trump. Namun pertemuan ini belum memberikan hasil yang substansial. 

"China siap mengabulkan beberapa permintaan kami. Namun memang belum ada kesepakatan, dan mungkin akan memakan lebih banyak waktu," ungkap Lawrence 'Larry Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih. 

Senada dengan Gedung Putih, perwakilan Beijing juga belum memberi jawaban tegas seputar hasil pertemuan tersebut. Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, hanya menyebut bahwa pertemuan ini 'sangat konstruktif'. 

"Investor menunggu adanya pernyataan yang bisa menjadi katalis, bisa menggerakkan sentimen di pasar. Namun yang terjadi justru seakan langkah mundur, yang membuat investor bingung," tutur Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Aset Management yang berbasis di New York.

Selain perang dagang, investor juga mengkhawatirkan kenaikan harga minyak yang mencapai titik tertinggi sejak 2014. Penyebab kenaikan harga minyak adalah penurunan pasokan di Venezuela akibat krisis sosial-politik-ekonomi serta kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi terhadap Negeri Persia diterapkan.  

Kenaikan harga minyak akan menimbulkan inflasi karena biaya energi bertambah. Tekanan inflasi ini kemudian perlu dikontrol melalui kenaikan suku bunga acuan. Inilah yang menjadi kecemasan pelaku pasar, bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018. 


Untuk perdagangan hari ini, investor bisa mencermati beberapa sentimen yang bisa menjadi penggerak pasar. Dari dalam negeri, layak untuk dinanti bagaimana dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate.

Pada Kamis (17/5/2018), BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 35 basis poin menjadi 4,5%. Namun akhir pekan lalu sentimen ini gagal mengangkat pasar, apalagi rupiah justru melemah 0,73%.

Kenaikan suku bunga acuan kalah pamor dibandingkan sentimen negatif eksternal, yaitu kenaikan yield obligasi AS. Tidak hanya rupiah, IHSG pun terseret ke zona merah. 

Akan tetapi saat ini yield obligasi AS mulai bergerak turun dari 3,109% ke 3,067%. Perkembangan ini bisa menjadi ujian apakah kenaikan BI 7 days reverse repo rate benar-benar ampuh untuk menarik arus modal ke Indonesia atau tidak. Setelah akhir pekan lalu gagal, BI 7 days reverse repo rate bisa mencoba lagi hari ini untuk membuktikan kesaktiannya.

Namun sepertinya kenaikan suku bunga acuan Kamis pekan lalu, mohon maaf, sudah agak terlambat. Dalam hal ini, BI bisa dibilang sudah agak jauh behind the curve. 

Pasalnya, berbagai sentimen negatif eksternal sudah semakin bertambah dan semakin menumpuk. Pengetatan moneter di AS, kenaikan yield obligasi Negeri Paman Sam, tren apresiasi greenback, perang dagang AS-China (dan kini Jepang dikabarkan akan ikut terlibat), perjanjian nuklir Iran yang terancam kolaps, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena antreannya terlalu panjang. 

Sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak ada pertanda untuk menaikkan, sebelum pernyataan Gubernur Agus DW Martowardojo pada akhir April lalu, membuat modal asing terus keluar karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Oleh karena itu saat kenaikan suku bunga akhirnya dieksekusi, semua sudah terlambat.  

Selain itu, knaikan suku bunga acuan sejatinya memiliki dua sisi. Positifnya tentu membuat Indonesia kembali atraktif karena bisa memberikan keuntungan yang lebih. Namun ada dampak negatifnya yaitu bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi karena membuat biaya dana (cost of fund) ikut naik.  

Padahal dalam situasi saat ini belum ada yang perlu direm di perekonomian domestik. Laju inflasi 3,41% per April 2018, masih dalam rentang target BI di 2,5-4,5% untuk 2018. Pertumbuhan ekonomi masih 5,06% pada kuartal I-2018, jauh di bawah target pemerintah yang 5,4%. Pertumbuhan kredit masih satu digit, tepatnya 8,8% per April 2018, jauh dari Rencana Bisnis Bank (RBB) 2018 yang mencapai 12,23%.  

Oleh karena itu, sebagian pelaku pasar menjadi bertanya-tanya. Apa yang mau direm dari perekonomian Indonesia, karena saat ini pun lajunya belum cepat-cepat amat?


Dari luar negeri, pelaku pasar layak mencermati perkembangan negosiasi dagang AS-China. Ada sedikit titik cerah dalam pembahasan ini, meski belum ada kesepakatan soal angka. 

"Ada konsensus untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan China. Untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka China akan meningkatkan pembelian barang dan jasa dari AS," sebut pernyataan bersama AS-China, seperti dikutip dari Reuters. 

Meski belum menyebutkan bahwa China bersedia memenuhi permintaan AS untuk menurunkan surplus perdagangannya sebesar US$ 200 miliar, tetapi setidaknya sudah ada komitmen yang lebih maju. Pernyataan yang menyejukkan ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Asia, dan semoga bisa menular sampai ke Indonesia.  

Namun, investor sepertinya masih patut waspada dengan perkembangan nilai tukar dolar AS. Greenback masih dalam laju penguatan, di mana Dollar Index saat ini naik 0,21%. 

Penguatan dolar AS kali ini utamanya disebabkan oleh depresiasi euro, akibat kekhawatiran atas kondisi di Italia. Koalisi pemerintahan Negeri Pizza sepakat untuk menggenjot belanja negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sesuatu yang membawa ingatan pelaku pasar kepada trauma krisis fiskal 2010. Kala itu, Italia (dan beberapa negara lain seperti Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol) didera krisis anggaran karena terlalu banyak utang jatuh tempo akibat belanja negara terlampau jor-joran. 

Saat dolar AS perkasa, maka dampaknya bisa berujung pada depresiasi rupiah. Pelemahan rupiah akan membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya turun. IHSG pun bisa terancam kembali ke teritori negatif. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis data neraca perdagangan Jepang periode April 2018 (06:50 WIB).
  • Pertemuan OPEC - Joint Ministerial Monitoring Committee (tentatif).
  • Pidato Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic (22:30 WIB). 
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Mitrabara Adiperdana Tbk (MBAP)RUPS Tahunan09:00
PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID)RUPS Tahunan10:00
PT Sillo Maritime Perdana Tbk (SHIP)RUPS Tahunan10:00
PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN)RUPS Tahunan11:00
PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA)RUPS Tahunan13:00
PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA)RUPS Tahunan14:00
PT Eratex Djaja Tbk (ERTX)RUPS Tahunan14:00
PT Asuransi Kresna Mitra Tbk (ASMI)RUPS Tahunan14:00
PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA)RUPSLB14:00
 
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama: 

IndeksClose% Change% YTD
IHSG5,783.31(0.56)(9.01)
LQ45918.89(0.86)(14.87)
Dow Jones24,715.090.00(0.02)
CSI3003,902.881.00(3.17)
Hang Seng31,047.910.343.77
NIKKEI22,930.360.400.73
Strait Times3,529.27(0.21)3.71
 
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang: 

Mata Uang Close% Change % YoY
USD/IDR14,150.000.736.39
EUR/USD1.17(0.15)5.12
GBP/USD1.35(0.33)3.55
USD/CHF0.99(0.38)2.52
USD/CAD1.290.59(4.71)
USD/JPY110.74(0.02)(0.48)
AUD/USD0.750.030.83

Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:   

Komoditas Close % Change % YoY
Minyak WTI (USD/barel)71.350.1040.65
Minyak Brent (USD/barel)78.51(1.00)45.74
Emas (USD/troy ons)1,291.500.122.74
CPO (MYR/ton)2,433.000.54(16.10)
Batu bara (USD/ton)104.10(0.93)39.17
Tembaga (USD/pound)3.05(0.05)17.79
Nikel (USD/ton)14,688.501.1057.07
Timah (USD/ton)20,780.000.631.46
Karet (JPY/kg)179.501.01(42.00)
Kakao (USD/ton)2,678.001.48(31.60)

Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara: 
 
Tenor Yield (%)
 5Y6.95
10Y7.31
15Y7.74
20Y7.81
30Y7.92
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 
 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (April 2018 YoY)3.41%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (April 2018)US$ 124.9 miliar
    
TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular