
Cermati 4 Faktor Penggerak IHSG Pekan Depan
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
20 May 2018 18:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami cobaan berat. Di kawasan Asia, IHSG menjadi bursa saham dengan penurunan paling tajam mencapai 2,91%.
Tentu yang menjadi pertanyaan, apakah pada pekan depan IHSG akan terus melanjutkan penurunan atau sebaliknya. CNBC Indonesia merangkum beberapa peristiwa penting yang perlu dicermati investor dalam sepekan ke depan.
1. Stabilitas perdagangan global
Beberapa waktu lalu, pelaku perdagangan global dihebohkan oleh perang tarif barang impor antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China.
Ketegangan dua negara tersebut menjadi sentimen negatif bagi pasar saham global, tak terkecuali Indonesia. Investor memandang ketegangan tersebut sebagai situasi kurang kondusif sehingga mereka cenderung mengalihkan dana dari pasar saham ke instrumen yang lebih minim resiko (safe haven), seperti emas, yen jepang, atau swiss franc. Akibatnya, pasar saham mengalami koreksi.
Situasi tersebut kemungkinan dapat berlanjut seiring dengan negosiasi antara kedua negara yang disebut telah mencapai kata sepakat namun tanpa detil menyeluruh. Mengutip South China Morning Post, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengungkapkan saat ini belum kesepakatan yang terjadi antarkedua negara meskipun China disebut-sebut sudah menyetujui permintaan dari pihak AS untuk menurunkan surplus dagangnya. Kebuntuan ini tentu menimbulkan ekspektasi bahwa perang dagang jilid II mungkin saja terjadi.
Tidak cukup antara AS dan China, Jepang kemungkinan akan ikut menerapkan tarif impor kepada barang-barang dari AS.
Mengutip media lokal NHK, Jepang disebut-sebut sudah mempertimbangkan pengenaan tarif bagi barang impor dari AS senilai US$409 juta. Kebijakan tersebut sebagai bentuk balasan atas perlakuan Negeri Paman Sam yang sebelumnya telah memperlakukan tarif impor baja dan alumunium.
Patut dicermati, apakah perang dagang antara AS dan Jepang benar-benar terealisasi. Jika iya, tentu hal itu bukanlah berita baik bagi pasar saham global termasuk IHSG.
2. Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS
Pada Jumat kemarin, yield obligasi pemerintah AS menyentuh level psikologisnya. Posisi yield tercatat di angka 3,124% atau tertinggi dalam tujuh tahun terakhir untuk obligasi negara AS bertenor 10 tahun. Kenaikan yield bukan menjadi kabar baik bagi pasar saham. Investor kemungkinan mengalihkan dananya ke instrumen tersebut karena imbal hasil yang cukup menggiurkan.
Dengan imbal hasil obligasi yang berupaya merayu investor, maka kemungkinan dana yang keluar dari pasar saham bisa jadi lebih besar. Akibatnya pasar saham global termasuk di Indonesia juga berpotensi tertekan. Patut dicermati bagaimana pergerakan yield tersebut. Jika benar terus bergerak naik, mungkin ini bisa menjadi kabar buruk bagi IHSG.
3. Pergerakan harga minyak
Minyak menjadi salah satu komoditas yang mendapat sorotan utama dari investor. Pasalnya, komoditas tersebut merupakan salah satu barang seksi yang menjadi buruan investasi ketika tidak ada alternatif investasi yang menguntungkan. Pergerakan dari komoditas tersebut sungguh sayang untuk dilewatkan. Misalnya pada Jumat kemarin, harga minyak hampir mendekati US$80/barel.
Harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 menguat tipis 0,02% ke level US$79,3/barel. Sementara untuk jenis lightsweet stagnan di level US$71,49/barel.
Kenaikan harga minyak didorong oleh beberapa faktor, di antaranya penurunan pasokan dari Venezuela, kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi AS jadi diterapkan ke negara tersebut, ekspektasi permintaan yang kuat seiring dengan pemulihan ekonomi global, serta Kebijakan Organisasi Pengekspor Minyak (OPEC) yang memangkas produksi minyak.
Patut dicermati apakah harga minyak akan terus bergerak naik pasalnya pada Rabu pekan depan, AS akan mengumumkan data cadangan minyak terbarunya. Konsensus yang dihimpun Trading Economics memperkirakan cadangan minyak AS akan turun. Jika benar, maka harga minyak bisa kembali terkerek naik melewati posisi US$80/barel.
Harga minyak yang naik dapat menjadi berkah bagi pasar saham Indonesia karena akan ikut membantu mendorong penguatan harga saham perusahaan-perusahaan energi. Kenaikan ini tentu dapat mendorong IHSG kembali memanjat mendekati posisi 6.000.
4. Dampak Kenaikan BI-7 Day Reverse Repo
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke posisi 4,5%. Kenaikan ini ditanggapi positif oleh pasar keuangan karena dapat membantu penguatan rupiah. Namun faktanya, justru rupiah terjatuh lebih dalam dan menembus nilai tukar Rp 14.150/US$. Lalu bagaimana dengan pasar saham?
Kenaikan suku bunga acuan bisa menjadi indikator bagi bank-bank untuk menyesuaikan suku bunganya baik suku bunga pinjaman maupun deposito. Memang saat ini bank-bank belum melakukan perubahan suku bunga tersebut, namun bukan tidak mungkin pada pekan ini penyesuaian tersebut dapat terjadi.
Ketika penyesuaian ini terjadi, maka bisa berpengaruh terhadap pergerakan IHSG, khususnya saham bank. Ketika suku bunga naik, masyarakat tergoda untuk menabung lebih banyak, sehingga rasio Dana Pihak Ketika (DPK) akan naik. Kenaikan ini membantu bank memiliki amunisi lebih banyak untuk menyalurkan kredit guna menggenjot bisnis perusahaan.
Di sisi lain, ada juga dampak negatif yang dihasilkan. Kenaikan suku bunga tentu akan membuat tingkat konsumsi masyarakat Indonesia cenderung turun. Dalam hal ini karena suku bunga kredit yang naik sehingga masyarakat cenderung menghindari kredit dalam jumlah tinggi di perbankan.
Dengan kondisi ini tentu profit yang didapatkan dapat berkurang dan mempengaruhi kinerja bank. Ketika investor mencermati hal ini, tentu besar kemungkinan investor akan menarik dana yang dimilikinya sehingga mendorong harga saham bank terkoreksi. Akibatnya, bisa jadi kenaikan BI-7 Days Reverse Repo bisa jadi pengerem laju IHSG pada pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Tentu yang menjadi pertanyaan, apakah pada pekan depan IHSG akan terus melanjutkan penurunan atau sebaliknya. CNBC Indonesia merangkum beberapa peristiwa penting yang perlu dicermati investor dalam sepekan ke depan.
Beberapa waktu lalu, pelaku perdagangan global dihebohkan oleh perang tarif barang impor antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China.
Ketegangan dua negara tersebut menjadi sentimen negatif bagi pasar saham global, tak terkecuali Indonesia. Investor memandang ketegangan tersebut sebagai situasi kurang kondusif sehingga mereka cenderung mengalihkan dana dari pasar saham ke instrumen yang lebih minim resiko (safe haven), seperti emas, yen jepang, atau swiss franc. Akibatnya, pasar saham mengalami koreksi.
Situasi tersebut kemungkinan dapat berlanjut seiring dengan negosiasi antara kedua negara yang disebut telah mencapai kata sepakat namun tanpa detil menyeluruh. Mengutip South China Morning Post, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengungkapkan saat ini belum kesepakatan yang terjadi antarkedua negara meskipun China disebut-sebut sudah menyetujui permintaan dari pihak AS untuk menurunkan surplus dagangnya. Kebuntuan ini tentu menimbulkan ekspektasi bahwa perang dagang jilid II mungkin saja terjadi.
Tidak cukup antara AS dan China, Jepang kemungkinan akan ikut menerapkan tarif impor kepada barang-barang dari AS.
Mengutip media lokal NHK, Jepang disebut-sebut sudah mempertimbangkan pengenaan tarif bagi barang impor dari AS senilai US$409 juta. Kebijakan tersebut sebagai bentuk balasan atas perlakuan Negeri Paman Sam yang sebelumnya telah memperlakukan tarif impor baja dan alumunium.
Patut dicermati, apakah perang dagang antara AS dan Jepang benar-benar terealisasi. Jika iya, tentu hal itu bukanlah berita baik bagi pasar saham global termasuk IHSG.
2. Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS
Pada Jumat kemarin, yield obligasi pemerintah AS menyentuh level psikologisnya. Posisi yield tercatat di angka 3,124% atau tertinggi dalam tujuh tahun terakhir untuk obligasi negara AS bertenor 10 tahun. Kenaikan yield bukan menjadi kabar baik bagi pasar saham. Investor kemungkinan mengalihkan dananya ke instrumen tersebut karena imbal hasil yang cukup menggiurkan.
Dengan imbal hasil obligasi yang berupaya merayu investor, maka kemungkinan dana yang keluar dari pasar saham bisa jadi lebih besar. Akibatnya pasar saham global termasuk di Indonesia juga berpotensi tertekan. Patut dicermati bagaimana pergerakan yield tersebut. Jika benar terus bergerak naik, mungkin ini bisa menjadi kabar buruk bagi IHSG.
3. Pergerakan harga minyak
Minyak menjadi salah satu komoditas yang mendapat sorotan utama dari investor. Pasalnya, komoditas tersebut merupakan salah satu barang seksi yang menjadi buruan investasi ketika tidak ada alternatif investasi yang menguntungkan. Pergerakan dari komoditas tersebut sungguh sayang untuk dilewatkan. Misalnya pada Jumat kemarin, harga minyak hampir mendekati US$80/barel.
Harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 menguat tipis 0,02% ke level US$79,3/barel. Sementara untuk jenis lightsweet stagnan di level US$71,49/barel.
Kenaikan harga minyak didorong oleh beberapa faktor, di antaranya penurunan pasokan dari Venezuela, kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi AS jadi diterapkan ke negara tersebut, ekspektasi permintaan yang kuat seiring dengan pemulihan ekonomi global, serta Kebijakan Organisasi Pengekspor Minyak (OPEC) yang memangkas produksi minyak.
Patut dicermati apakah harga minyak akan terus bergerak naik pasalnya pada Rabu pekan depan, AS akan mengumumkan data cadangan minyak terbarunya. Konsensus yang dihimpun Trading Economics memperkirakan cadangan minyak AS akan turun. Jika benar, maka harga minyak bisa kembali terkerek naik melewati posisi US$80/barel.
Harga minyak yang naik dapat menjadi berkah bagi pasar saham Indonesia karena akan ikut membantu mendorong penguatan harga saham perusahaan-perusahaan energi. Kenaikan ini tentu dapat mendorong IHSG kembali memanjat mendekati posisi 6.000.
4. Dampak Kenaikan BI-7 Day Reverse Repo
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke posisi 4,5%. Kenaikan ini ditanggapi positif oleh pasar keuangan karena dapat membantu penguatan rupiah. Namun faktanya, justru rupiah terjatuh lebih dalam dan menembus nilai tukar Rp 14.150/US$. Lalu bagaimana dengan pasar saham?
Kenaikan suku bunga acuan bisa menjadi indikator bagi bank-bank untuk menyesuaikan suku bunganya baik suku bunga pinjaman maupun deposito. Memang saat ini bank-bank belum melakukan perubahan suku bunga tersebut, namun bukan tidak mungkin pada pekan ini penyesuaian tersebut dapat terjadi.
Ketika penyesuaian ini terjadi, maka bisa berpengaruh terhadap pergerakan IHSG, khususnya saham bank. Ketika suku bunga naik, masyarakat tergoda untuk menabung lebih banyak, sehingga rasio Dana Pihak Ketika (DPK) akan naik. Kenaikan ini membantu bank memiliki amunisi lebih banyak untuk menyalurkan kredit guna menggenjot bisnis perusahaan.
Di sisi lain, ada juga dampak negatif yang dihasilkan. Kenaikan suku bunga tentu akan membuat tingkat konsumsi masyarakat Indonesia cenderung turun. Dalam hal ini karena suku bunga kredit yang naik sehingga masyarakat cenderung menghindari kredit dalam jumlah tinggi di perbankan.
Dengan kondisi ini tentu profit yang didapatkan dapat berkurang dan mempengaruhi kinerja bank. Ketika investor mencermati hal ini, tentu besar kemungkinan investor akan menarik dana yang dimilikinya sehingga mendorong harga saham bank terkoreksi. Akibatnya, bisa jadi kenaikan BI-7 Days Reverse Repo bisa jadi pengerem laju IHSG pada pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular