
Sepekan Terakhir, Rupiah Jadi yang Terlemah Kedua di ASEAN
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
20 May 2018 12:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini mata uang negara kawasan Asia Tenggara sedang mengalami tekanan. Penyebabnya tidak lain adalah kuatnya sentimen dari sisi global, yaitu perkembangan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terus membaik serta kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah di negara tersebut.
Mayoritas mata uang di ASEAN mengalami depresiasi terhadap dolar AS, bahkan rupiah menjadi mata uang dengan nilai depresiasi terbesar kedua mencapai 1,32%. Nilai tersebut hanya lebih kecil dibandingkan dengan mata uang Myanmar, yaitu kyat, yang mengalami depresiasi mencapai 1,35%.
Keterangan: (-) : Depresiasi (+) : Apresiasi
Perkembangan ekonomi di AS nampaknya menjadi berita kurang menyenangkan bagi negara-negara kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Hal ini karena perkiraan suku bunga acuan, Fed Funds Rate, pada akan kembali naik semakin besar. Data terbaru The Fed Philadelphia menunjukkan indeks manufaktur di AS meningkat drastis dari 23,2 pada April menjadi 34,4 pada Mei, jauh di atas proyeksi yang hanya 21.
Peningkatan indeks ini didorong oleh peningkatan pemesanan, pengiriman, dan tambahan penyerapan tenaga kerja. Kondisi ini mengindikasikan semakin membaiknya perekonomian di Negeri Paman Sam sehingga mendorong bank sentralnya, Federal Reserve/The Fed, untuk turun tangan agar tidak terjadi overheating dalam perekonomiannya melalui instrumen kenaikan suku bunga acuan. Akibatnya, proyeksi kenaikan suku bunga acuan pada bulan mendatang semakin tinggi.
Di sisi lain, kenaikan tingkat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS juga ikut mempengaruhi pelemahan rupiah. Per 18 Mei kemarin, yield obligasi menyentuh level 3,124% atau tertinggi sepanjang tujuh tahun terakhir. Tingginya angka imbal hasil tentu sangat menggoda bagi investor di Indonesia untuk memindahkan dana yang dimilikinya untuk dialihkan ke instrumen tersebut.
Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, pelemahan rupiah diidentifikasi tidak hanya disebabkan faktor global, melainkan juga dari faktor domestik. Sejak awal pekan, rupiah sudah dihadapkan dengan sentimen negatif yang berasal dari peristiwa peledakan bom di beberapa gereja di Surabaya, Jawa Timur. Adanya aksi teror tentu tidak hanya meresahkan masyarakat namun juga investor. Mereka menjadi khawatir dan cenderung mengalihkan dananya keluar Indonesia sampai kondisi dalam negeri betul-betul kondusif.
Belum cukup sampai di sana, sentimen negatif kembali bertambah seiring dengan rilis data Badan Pusat statistik (BPS) terkait kondisi Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) per April 2018. BPS mengungkapkan Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga mencapai US$1,63 miliar. Angka ini cukup mengejutkan, pasalnya dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, NPI diperkirakan mengalami surplus mencapai US$632 juta.
Tekanan yang bertubi-tubi menimpa pasar keuangan Indonesia membuat aliran valas yang keluar dari pasar saham begitu deras. Benar saja, dana asing yang keluar dari pasar modal dalam negeri mencapai Rp 3,4 triliun. Valas yang keluar membuat mendorong rupiah kehabisan tenaga mengalami depresiasi hingga melebihi 1% dan menyebabkan rupiah menjadi mata uang dengan nilai depresiasi terbesar kedua di kawasan ASEAN pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Langkah BI Minimalisasi Ketergantungan pada Greenback
Mayoritas mata uang di ASEAN mengalami depresiasi terhadap dolar AS, bahkan rupiah menjadi mata uang dengan nilai depresiasi terbesar kedua mencapai 1,32%. Nilai tersebut hanya lebih kecil dibandingkan dengan mata uang Myanmar, yaitu kyat, yang mengalami depresiasi mencapai 1,35%.
Mata Uang | Bid terakhir | Change (%) |
Rupiah | 14.150 | -1,32 |
Ringgit Malaysisa | 3.97 | -0,55 |
Dolar Singapura | 1.34 | -0,50 |
Baht Thailand | 32.19 | -0,94 |
Riel Kamboja | 4.037,86 | -0,39 |
Dolar Brunei | 1.32 | -0,54 |
Kyat Myanmar | 1.350 | -1,35 |
Dong Vietnam | 22.785 | -0,08 |
Kip Lao Laos | 8.314 | +0,11 |
Peso Filipina | 52,27 | +0,32 |
Peningkatan indeks ini didorong oleh peningkatan pemesanan, pengiriman, dan tambahan penyerapan tenaga kerja. Kondisi ini mengindikasikan semakin membaiknya perekonomian di Negeri Paman Sam sehingga mendorong bank sentralnya, Federal Reserve/The Fed, untuk turun tangan agar tidak terjadi overheating dalam perekonomiannya melalui instrumen kenaikan suku bunga acuan. Akibatnya, proyeksi kenaikan suku bunga acuan pada bulan mendatang semakin tinggi.
Di sisi lain, kenaikan tingkat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS juga ikut mempengaruhi pelemahan rupiah. Per 18 Mei kemarin, yield obligasi menyentuh level 3,124% atau tertinggi sepanjang tujuh tahun terakhir. Tingginya angka imbal hasil tentu sangat menggoda bagi investor di Indonesia untuk memindahkan dana yang dimilikinya untuk dialihkan ke instrumen tersebut.
Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, pelemahan rupiah diidentifikasi tidak hanya disebabkan faktor global, melainkan juga dari faktor domestik. Sejak awal pekan, rupiah sudah dihadapkan dengan sentimen negatif yang berasal dari peristiwa peledakan bom di beberapa gereja di Surabaya, Jawa Timur. Adanya aksi teror tentu tidak hanya meresahkan masyarakat namun juga investor. Mereka menjadi khawatir dan cenderung mengalihkan dananya keluar Indonesia sampai kondisi dalam negeri betul-betul kondusif.
Belum cukup sampai di sana, sentimen negatif kembali bertambah seiring dengan rilis data Badan Pusat statistik (BPS) terkait kondisi Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) per April 2018. BPS mengungkapkan Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga mencapai US$1,63 miliar. Angka ini cukup mengejutkan, pasalnya dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, NPI diperkirakan mengalami surplus mencapai US$632 juta.
Tekanan yang bertubi-tubi menimpa pasar keuangan Indonesia membuat aliran valas yang keluar dari pasar saham begitu deras. Benar saja, dana asing yang keluar dari pasar modal dalam negeri mencapai Rp 3,4 triliun. Valas yang keluar membuat mendorong rupiah kehabisan tenaga mengalami depresiasi hingga melebihi 1% dan menyebabkan rupiah menjadi mata uang dengan nilai depresiasi terbesar kedua di kawasan ASEAN pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Langkah BI Minimalisasi Ketergantungan pada Greenback
Most Popular