
Sepekan, Dana Asing Keluar Pasar Modal RI Rp 3,4 T
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 May 2018 13:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual di pasar saham pada pekan ini ikut dimotori oleh investor asing.
Investor asing tercatat melakukan aksi beli senilai Rp 16,7 triliun, sementara aksi jual tercatat sebesar Rp 20,1 triliun. Sehingga, jika dihitung, sebanyak Rp 3,4 triliun mengalir keluar dari pasar saham Indonesia.
Sebagai akibatnya, IHSG anjlok 2,91%, menjadikannya bursa saham terburuk di kawasan Asia.
Jika dihitung sejak awal tahun, jual bersih investor asing di pasar saham bahkan telah mencapai Rp 41 triliun, lebih besar ketimbang capaian sepanjang 2017 yang sebesar Rp 39,9 triliun.
Hal ini tentu mengkhawatirkan. Pasalnya, 5 bulan pertama tahun ini pun belum terlewati.
Sepanjang minggu ini, pelemahan rupiah yang mencapai 1,47% menjadi alasan utama investor asing melakukan aksi jual. Ketika rupiah melemah, ada potensi kerugian kurs yang harus ditanggung kala menanamkan danannya di instrumen investasi berdenominasi rupiah. Mau tak mau, mereka pun melakukan aksi jual.
Ada beberapa hal yang melandasi pelemahan rupiah pada pekan ini.
Pertama, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh the Federal Reserve selaku bank sentral AS.
Persepsi ini muncul seiring dengan positifnya data-data ekonomi dari Negeri Paman Sam.
Tak hanya data-data ekonomi, kinerja keuangan emiten kuartal-I 2018 pun dapat dikatakan positif.
Ketika ekonomi AS terus 'panas', akan ada tekanan bagi inflasi yang pada akhirnya akan memaksa suku bunga acuan dinaikkan lebih kencang dari rencana awal. Apalagi, harga minyak mintah dunia saat ini terus merangkak naik.
Posisi terakhir, harga minyak mentah WTI kontrak acuan berada di level US$ 71,35/barel, sementara brent berada di level US$ 78,51/barel/. Kenaikan harga minyak tentu akan mengerek naik harga bahan bakar di AS yang pada akhirnya akan semakin memberikan tekanan bagi inflasi.
Persepsi tersebut lantas meningkatkan daya tarik dolar AS. Memang, salah satu hal yang bisa memotori penguatan mata uang suatu negara adalah kenaikan suku bunga acuan.
Di sisi lain, usaha Bank Indonesia (BI) untuk mengerem pelemahan rupiah dapat dikatakan belum berhasil. Pasca menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps, rupiah justru melemah hingga 0,73% di pasar spot ke level Rp 14.150/dolar AS.
Nampaknya, investor memilih memandang kenaikan suku bunga acuan sebagai pengghambat laju perekonomian domestik, ketimbang sebagai magnet untuk menarik kembali aliran modal asing yang bisa mendorong rupiah menguat. Ketika ada ekspektasi perlambatan laju ekonomi, mata uang suatu negara akan dilepas oleh pelaku pasar.
Para pengambil kebijakan kini harus berpikir lebih keras. Bagaimanapun caranya, pelemahan rupiah harus diredam jika tak ingin investor asing terus-menerus melakukan aksi jual di pasar saham yang akan berujung pada melebarnya deifist Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
(ray/ray) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Investor asing tercatat melakukan aksi beli senilai Rp 16,7 triliun, sementara aksi jual tercatat sebesar Rp 20,1 triliun. Sehingga, jika dihitung, sebanyak Rp 3,4 triliun mengalir keluar dari pasar saham Indonesia.
Sebagai akibatnya, IHSG anjlok 2,91%, menjadikannya bursa saham terburuk di kawasan Asia.
Hal ini tentu mengkhawatirkan. Pasalnya, 5 bulan pertama tahun ini pun belum terlewati.
Sepanjang minggu ini, pelemahan rupiah yang mencapai 1,47% menjadi alasan utama investor asing melakukan aksi jual. Ketika rupiah melemah, ada potensi kerugian kurs yang harus ditanggung kala menanamkan danannya di instrumen investasi berdenominasi rupiah. Mau tak mau, mereka pun melakukan aksi jual.
Ada beberapa hal yang melandasi pelemahan rupiah pada pekan ini.
Pertama, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh the Federal Reserve selaku bank sentral AS.
Persepsi ini muncul seiring dengan positifnya data-data ekonomi dari Negeri Paman Sam.
Tak hanya data-data ekonomi, kinerja keuangan emiten kuartal-I 2018 pun dapat dikatakan positif.
Ketika ekonomi AS terus 'panas', akan ada tekanan bagi inflasi yang pada akhirnya akan memaksa suku bunga acuan dinaikkan lebih kencang dari rencana awal. Apalagi, harga minyak mintah dunia saat ini terus merangkak naik.
Posisi terakhir, harga minyak mentah WTI kontrak acuan berada di level US$ 71,35/barel, sementara brent berada di level US$ 78,51/barel/. Kenaikan harga minyak tentu akan mengerek naik harga bahan bakar di AS yang pada akhirnya akan semakin memberikan tekanan bagi inflasi.
Persepsi tersebut lantas meningkatkan daya tarik dolar AS. Memang, salah satu hal yang bisa memotori penguatan mata uang suatu negara adalah kenaikan suku bunga acuan.
Di sisi lain, usaha Bank Indonesia (BI) untuk mengerem pelemahan rupiah dapat dikatakan belum berhasil. Pasca menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps, rupiah justru melemah hingga 0,73% di pasar spot ke level Rp 14.150/dolar AS.
Nampaknya, investor memilih memandang kenaikan suku bunga acuan sebagai pengghambat laju perekonomian domestik, ketimbang sebagai magnet untuk menarik kembali aliran modal asing yang bisa mendorong rupiah menguat. Ketika ada ekspektasi perlambatan laju ekonomi, mata uang suatu negara akan dilepas oleh pelaku pasar.
Para pengambil kebijakan kini harus berpikir lebih keras. Bagaimanapun caranya, pelemahan rupiah harus diredam jika tak ingin investor asing terus-menerus melakukan aksi jual di pasar saham yang akan berujung pada melebarnya deifist Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
(ray/ray) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular