Di Ujung Dilema Agus Marto & Perjalanan 5 Tahun Sebagai BI-1

Herdaru Purnomo & Prima Wirayani, CNBC Indonesia
17 May 2018 08:02
Di Ujung Dilema Agus Marto & Perjalanan 5 Tahun Sebagai BI-1
Foto: REUTERS/Yuri Gripas
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun. Saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur Bank Indonesia dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggung jawab. Saya bersumpah, saya akan setia terhadap negara, konstitusi dan haluan negara."

Sumpah di atas tersebut secara lantang keluar dari mulut seorang Agus Dermawan Wintarto Martowardojo pada Jumat 24 Mei 2013 lalu di Gedung Mahkamah Agung (MA).

Agus Marto, begitu sapaan akrabnya, secara resmi menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia menggantikan Darmin Nasution setelah Komisi XI DPR meloloskannya. Agus Marto menjadi calon tunggal yang dikirimkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu. Sebanyak 46 anggota Komisi XI menyetujui pencalonan Agus Marto menjadi Gubernur BI. Sedangkan 7 anggota menolak dan 1 anggota memilih abstain.

Tepat hari ini Kamis (17/5/2018), Agus Marto akan memimpin Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan terakhirnya di kursi BI-1 setelah 5 tahun berlalu. Suksesornya, Perry Warjiyo sudah siap membacakan sumpah pada pekan depannya.
(Next)

Tekanan dari berbagai pihak yang mendesak BI untuk menaikkan suku bunga di tengah anjloknya nilai tukar rupiah mewarnai RDG Bulanan terakhir kali ini yang dipimpin Agus Marto. Pada awal ketika Agus Marto memimpin RDG setelah dilantik, yakni pada 13 Juni 2013, secara mengejutkan Mantan Menteri Keuangan ini langsung ambil langkah untuk menaikkan bunga acuannya dari 5,75% menjadi 6%.

Agus Marto berpandangan kebijakan tersebut merupakan bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive merespons meningkatnya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global.

Untuk menjangkar inflasi, Agus Marto dan tentunya Anggota Dewan Gubernur lainnya terus menaikkan bunga acuan dan menghapuskan era 'suku bunga rendah' yang ditempuh Darmin Nasution. Bahkan di Agustus 2013, Agus Marto menggelar dua kali RDG dalam sebulan, dan memutuskan menaikkan lagi bunga acuan tepatnya pada 29 Agustus 2013 setelah pada Juli BI Rate telah naik 50 bps.

Langkah hawkish Agus Marto bukan tanpa dasar. Suku bunga rendah tak berlaku baginya di tengah cepatnya dinamika perubahan perekonomian global dan nasional.

"Berlanjutnya ketidakpastian pengurangan bertahap (tapering) stimulus moneter oleh the Fed terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, dan pelemahan nilai tukar di hampir seluruh negara emerging market, tidak terkecuali Indonesia," demikian hasil RDG ketika itu.

Jangan lupa, inflasi ketika itu melambung tinggi dan membuat BI menargetkan angka 9,0%-9,8% di akhir 2013.

Tatanan rambut rapi, wajah segar, dengan tubuh berbalut setelan jas dan dasi khas central banker adalah penampilan indentik Pria Kelahiran Amsterdam, Belanda ini. Bahkan pada pukul 2 dini hari setelah menghadiri rapat panjang dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

Setelah rapat yang berlangsung pada pertengahan tahun lalu itu, Agus masih sempat melayani pertanyaan wartawan sebelum memasuki mobilnya.

“Lho? Kalian masih di sini?” tanyanya pada wartawan yang menantikannya di luar ruang rapat di komplek Gedung DPR Senayan, Jakarta.

Ia pun dengan tenang menjawab pertanyaan para wartawan ketika itu.

Jauh sebelumnya, ketenangan yang sama juga ia tampilkan ketika menanggapi berondongan pertanyaan dari anggota dewan mengenai angka yang diajukan bank sentral terkait perkiraan pendapatan negara dari amnesti pajak yang berlangsung Juli 2016 hingga Maret 2017 lalu.

Dalam pembahasan rancangan undang-undang amnesti pajak, BI memperkirakan pemerintah dapat meraup Rp 53,4 triliun uang tebusan untuk periode pengampunan pajak Juli hingga Desember 2016. Nilai tersebut jauh lebih rendah dari target Rp 165 triliun uang tebusan yang ditetapkan pemerintah.

Agus berkukuh perhitungan lembaganya dapat dipertanggungjawabkan sebab perkiraan itu dibuat berdasarkan data Global Financial Integrity’s Illicit Financial Flows Report 2015. Laporan tersebut menggarisbawahi dana gelap warga negara Indonesia yang diduga disimpan di luar negeri dan mencapai nilai Rp 3.000 triliun.

Bank sentral memperkirakan hanya 60% dari dana tersebut yang akan dilaporkan dalam program pengampunan pajak menggunakan tarif tebusan antara 2% hingga 4% untuk periode tersebut.

Tidak sampai di situ, BI kemudian memangkas lagi target tersebut menjadi hanya Rp 21 triliun hingga akhir periode amnesti pajak bulan Maret 2017.

Ketika akhirnya realisasi uang tebusan amnesti pajak melampaui perkiraan bank sentral, Agus dengan ketenangan yang sama menjawab bahwa proyeksi BI adalah “base-line model” dan merupakan perkiraan yang konservatif.

Sikap keras dan tenangnya kembali ia tunjukkan ketika bank sentral menghadapi tekanan bertubi-tubi dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menginginkan suku bunga pinjaman bank turun drastis menjadi di bawah 10% per tahun.

JK bahkan secara terbuka mengritik kebijakan moneter ketat bank sentral dalam acara Pertemuan Tahunan BI atau Bankers Dinner bulan November 2015.

Wakil presiden menyebut suku bunga perbankan yang masih tinggi menjadi salah satu penyebab Indonesia kalah bersaing dengan negara lain. Ia juga meminta bank sentral, yang sangat membanggakan independensinya, untuk lebih banyak berkoordinasi dengan pemerintah dalam pengambilan kebijakan.

“Kita tidak bisa masing-masing pihak menjalankan kebijakan secara independen karena diikat dalam undang-undang di mana Bank Indonesia harus mendengarkan pemerintah dalam kebijakannya dan pemerintah harus mendengarkan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya,” kata JK.

BI, tambah wakil presiden, memang memiliki independensinya sendiri namun hal itu adalah “independen dalam musyawarah”, yang berarti pemerintah dan bank sentral perlu berkoordinasi dalam setiap keputusan yang diambil.

Tak gentar, sang Gubernur tetap dengan label independen dan dengan integritasnya mengatakan Tidak! untuk menurunkan bunga acuannya saat tersebut karena kondisi global yang belum bisa diajak 'kompromi'. Lantas langkah tersebut disebut-sebut membuat BI yang notabene memang seharusnya independen menjadi seperti 'susah diatur'. Hal ini lumrah terjadi, bahkan di dunia, mengingat kepemimpinan Gubernur Bank Sentral AS The Fed Janet Yellen (sebelum Jerome Powell) yang tak begitu disukai Presidennya Donald Trump.

Seperti Yellen, Agus Marto pun tetap bergeming dan berupaya menggambarkan kondisi stabilitas dalam negeri sambil berujar akan ada waktunya bunga acuan turun atau naik sekalian. Toh ketika itu seakan-akan percuma menurunkan bunga acuan karena BI Rate sebelum di-reformulasi menjadi 7 day RR tak menunjukkan kondisi ril dari pergerakan suku bunga bank.

Agus dalam acara yang sama menyatakan BI akan konsisten dan berhati-hati dalam menerapkan kebijakan moneternya agar inflasi berada di level yang sesuai target, defisit transaksi berjalan berada di level yang sehat, dan ekonomi tumbuh dengan stabil.

Bulan Desember 2015, BI mempertahankan suku bunga acuannya sebelum kemudian menurunkannya di bulan Januari, Februari, dan Maret 2016 masing-masing 25 basis poin.

BI mempertahankan suku bunga acuannya, BI Rate, tetap di 7,5% di masa ketika rupiah terpukul oleh penurunan nilai yuan oleh pemerintah China di pertengahan 2015. Dalam pekerjaannya, sang pemimpin BI memiliki tugas berat. BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Melihat tugas tersebut, satu-satunya tolak ukur terpenting bagaimana kinerja seorang Gubernur adalah melihat nilai tukar rupiah itu sendiri. Sejak periode 2013-2014 yang cukup bergejolak, tahun 2015-2018 BI selalu menjaga volatilitas nilai tukar rupiah di bawah 10%.

Sepanjang 2017, volatilitas mata uang dunia memang agak tinggi. Pasalnya tahun lalu dolar AS seakan menjadi mata uang yang melemah sendirian sehingga banyak mata uang yang menguat terhadap greenback.

Pengendalian rupiah yang dianut BI dalam masa Kepemimpinan Agus Martowardojo menganut strategi 'dual intervention' juga seperti Darmin Nasution. Selain dari operasi moneter dengan menggelontorkan cadangan devisa, BI juga rajin untuk melalukan buyback di surat utang negara demi satu-satunya upaya menjaga nilai tukar tetap stabil.

Instrumen suku bunga acuan pastinya, juga menunjukkan bagaimana kebijakan moneter BI dalam menghadapi gejolak. Kebijakan tight atau ketat, loose atau longgar, sampai neutral stance menjadi kata yang sering disebut dalam lima tahun terakhir. Dengan kekuatan dan keterbatasan instrumen, BI di bawah Agus Marto mampu dengan solid menahan laju inflasi dengan tepat sasaran.

Di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo, Bank Indonesia memiliki program transformasi Bank Indonesia dan Ia menjadi pemimpin dalam mereformulasi kebijakan suku bunga acuan. Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016.

Tujuannya, yang semata-mata mencerminkan posisi BI dalam menentukan langkah dengan lebih realistis karena menentukan posisi bunga acuan pada 7 hari, lebih dekat dibanding BI Rate sebelumnya yang menggunakan acuan 12 bulan. Reformulasi kebijakan ini dipandang beberapa analis sebagai langkah jitu BI yang ingin menjadikan bunga acuan lebih efektif dalam menyeimbangkan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Kinerja sang Gubernur yang dibantu Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara dan Jajaran Deputi Gubernur lain termasuk Perry Warjiyo juga, bisa ditilik lebih jauh dalam Laporan Tahunan Bank Indonesia yang disampaikan kepada DPR. Salah satunya dengan mendirikan Departemen baru, Pengembangan Pasar Keuangan.

Hari ini, RDG Bulanan BI akan memutuskan apakah suku bunga acuan naik atau masih tetap. Suara pelaku pasar terpecah dalam menyikapi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate. Sebagian besar memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan, tetapi ada pula suara yang memprediksi suku bunga acuan akan dinaikkan.

BI memulai Rapat Dewan Gubernur edisi Mei 2018 Rabu dan Kamis. Dari 11 ekonom yang terlibat dalam penyusunan konsensus pasar, tujuh di antaranya memperkirakan BI masih akan bertahan dengan suku bunga acuan 4,25%.

Sementara empat lainnya meramalkan ada kenaikan 25 basis poin (bps) menjadi 4,5%. Namun median dari data yang terkumpul adalah suku bunga acuan tetap di 4,25%.

"Kami memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan. Kondisi makroekonomi masih relatif stabil, terlihat dari inflasi yang masih terkendali," kata Euginia Fabon Victorino, analis ANZ.

Selain itu, lanjut Victorino, pertumbuhan ekonomi masih membutuhkan sokongan suku bunga. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 yang masih lesu, yaitu di 5,06%. Jauh di bawah konsensus pasar yang mencapai 5,18%.

Meskipun kenaikan suku bunga bisa membuat aliran modal portofolio menjadi doping bagi rupiah, namun keputusan tersebut bukan berarti tanppa konsekuensi. Pasalnya, kenaikan suku bunga secara tidak langsung dapat mengorbankan pertumbuhan ekonomi,

“Dampak kenaikan suku bunga acuan BI berdampak pada perekonomian,” kata Ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada CNBC Indonesia, Kamis (17/5/2018).

Menurut Josua, kenaikan suku bunga acuan bisa segera direspons dengan kenaikan suku bunga kredit, dan menekan konsumsi rumah tangga maupun investasi. Sebab, kenaikan suku bunga akan mendorong cost of borrowing.

“Ini akan menahan upaya untuk memperkuat momentum pertumbuhan,” katanya.

Hal senada turut dikemukakan Direktur Riset CORE Indonesia PIter Abdullah. Meski kenaikan suku bunga bisa membawa aliran modal masuk, hal tersebut sama sekali bukanlah jawaban dalam menghadapi tantangan yang dihadapi perekonomian saat ini.

“Artinya, tidak bisa dijawab dengan kenaikan suku bunga,” jelas Piter.

"Melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini. Terkait hal tersebut, dan melihat masih besarnya potensi tantangan dari kondisi global yang dapat berpotensi menganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah panjang, Bank Indonesia akan secara tegas dan konsisten mengarahkan dan memprioritaskan kebijakan moneter pada terciptanya stabilitas," demikian penegasan Agus Marto beberapa hari sebelum RDG hari ini.

BI menyatakan siap untuk menaikan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.

"Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memiliki ruang yang cukup besar untuk menyesuaikan suku bunga kebijakan (7 Days Reverse Repo). Respon kebijakan tersebut akan dijalankan secara konsisten dan pre-emptive untuk memastikan keberlangsungan stabilitas," tegas Agus Marto.

Naik atau tidaknya BI 7-Day RR menjadi pilihan sulit bagi sang Gubernur di masa akhir baktinya. Bagaimanpun keputusan sang BI-1 pasti sudah diukur dan pastinya demi menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. Mari disimak apa stance moneter Agus Marto di penghujung jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia.
(dru/dru) Next Article Rupiah Terus Melemah, Ketidakpastian Global Jadi Alasan BI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular