
Turki Hadapi Ancaman Overheating, Lira Ikut Digoyang
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
16 May 2018 20:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Turki yang cepat mulai menimbulkan gejala overheating, jika pemerintah tidak bertindak maka negara itu akan terkena masalah, kata sejumlah analis.
"Pemerintah tidak berniat mengatasi ketidakseimbangan atau overheating," kata Marcus Chenevix, analis riset politik global di TS Lombard, dalam sebuah catatan pekan ini.
"Keengganan inilah yang membuat kami yakin berkata bahwa Turki memasuki krisis terbakar perlahan."
Nilai tukar lira, mata uang Turki, menyentuh rekor terendah terhadap dolar dan menjadi salah satu mata uang dengan performa terburuk tahun ini.
Pasca Presiden Turki Recep Erdogan menjanjikan penurunan suku bunga setelah pemilu di bulan Juni, nilai tukar lira anjlok ke level terendah terhadap greenback yaitu 4,4527 pada Selasa (15/5/2018) sore. Sejauh ini, dolar terapresiasi sekitar 18% terhadap lira.
Melansir CNBC Internasional, Erdogan mengatur suku bunga dan lebih memilih kebijakan moneter yang memprioritaskan pertumbuhan ketimbang pengendalian inflasi double-digit.
Laju pertumbuhan Turki mencapai angka 7,4% yang mengesankan di tahun 2017 dan membuat negara itu masuk ke G-20. Namun, inflasi negara itu juga naik hingga 10,9%.
Sentimen pasar sudah mendorong penjualan lira karena investor mengkhawatirkan intervensi pemerintah ke kebijakan moneter dan independensi bank sentral. Investor berharap bank sentral menaikkan suku bunga yang nampaknya tidak mungkin terjadi.
Erdogan memainkan peranan penting yang tidak lazim dalam memutuskan kebijakan moneter negaranya. Banyak pengamat yang menilia pemerintah sudah menahan Central Bank of the Republic of Turkey (TCMB) untuk bertindak independen.
Pada akhirnya menaikkan suku bunga untuk pertama kali dalam beberapa sesi di akhir April, menggerakkan laju likuiditas, yang digunakan untuk menetapkan kebijakan, naik 75 basis poin menjadi 13,5%. Kabar tersebut menaikkan nilai tukar lira untuk sementara waktu.
Namun, Erdogan justru ingin menurunkan suku bunga. Dia berkata hal itu harus dilakukan untung menurunkan tekanan ke anggaran Turki dan mendorong pertumbuhan yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja bagi pemuda Turki.
Indikator Bermasalah
"Saya sungguh prihatin terhadap lira Turki," kata Piotr Matys, strategis FX pasar berkembang di Rabobank, kepada CNBC Internasional.
"Apakah domino pasar Turki akan jatuh selanjutnya? [Negara] itu memiliki semua masalah ini; defisit transaksi berjalan yang tinggi, pemerintah meminjam dengan mata uang lain."
Mata uang pasar berkembang merasakan dampak negatif akibat penguatan dolar dan imbal hasil yang tinggi di Amerika Serikat (AS). Namun Matys berkata, rencana kebijakan moneter Erdogan menyebabkan kinerja lira yang terus memburuk terhadap pasar berkembang lainnya.
Pelemahan ini pun meningkat karena ketidakpastian geopolitik atas tindakan militer AS dan Rusia di negara tetangganya, Suriah.
Defisit transaksi berjalan Turki di bulan Maret, ukuran perdagangan negara itu, meluas menjadi $4,812 miliar (Rp 67.716 triliun) dibandingkan dengan $4,5 miliar di bulan sebelumnya.
Jumlah itu juga jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi.
Defisit transaksi berjalan di bulan Februari naik lebih dari 60% dalam periode yang sama di tahun 2017. "Pertumbuhan Turki tidak seimbang, inflasi naik tinggi, ongkos utang asing menggelembung dan ekspektasi FX domestik tidak bisa ditahan," kata Chenevix. "Tekanan terhadap aset Turki akan segera kembali."
Pengendalian Sebelum Pemilu
Di bulan April Erdogan mengumumkan pemilu awal yang dipandang sebagai perebutan kekuasaan. Pemilu kepresidenan dan parlemen akan yang rencananya diselenggarakan November 2019 akan dimajukan ke bulan Juni tahun ini. Gejolak ekonomi dianggap sebagai alasan utama dari percepatan ini.
Jika menang, Erdogan bisa meredakan perekonomian yang memburuk dengan popularitasnya. Kemenangan juga memungkinkannya menghapus posisi perdana menteri dan melemahkan parlemen berkat referendum konstitusi tahun lalu yang sangat terpusat pada kekuasaan presiden.
(hps) Next Article BI Sebut Ekonomi RI Lebih Baik Dibanding Turki
"Pemerintah tidak berniat mengatasi ketidakseimbangan atau overheating," kata Marcus Chenevix, analis riset politik global di TS Lombard, dalam sebuah catatan pekan ini.
"Keengganan inilah yang membuat kami yakin berkata bahwa Turki memasuki krisis terbakar perlahan."
Pasca Presiden Turki Recep Erdogan menjanjikan penurunan suku bunga setelah pemilu di bulan Juni, nilai tukar lira anjlok ke level terendah terhadap greenback yaitu 4,4527 pada Selasa (15/5/2018) sore. Sejauh ini, dolar terapresiasi sekitar 18% terhadap lira.
Melansir CNBC Internasional, Erdogan mengatur suku bunga dan lebih memilih kebijakan moneter yang memprioritaskan pertumbuhan ketimbang pengendalian inflasi double-digit.
Laju pertumbuhan Turki mencapai angka 7,4% yang mengesankan di tahun 2017 dan membuat negara itu masuk ke G-20. Namun, inflasi negara itu juga naik hingga 10,9%.
Sentimen pasar sudah mendorong penjualan lira karena investor mengkhawatirkan intervensi pemerintah ke kebijakan moneter dan independensi bank sentral. Investor berharap bank sentral menaikkan suku bunga yang nampaknya tidak mungkin terjadi.
Erdogan memainkan peranan penting yang tidak lazim dalam memutuskan kebijakan moneter negaranya. Banyak pengamat yang menilia pemerintah sudah menahan Central Bank of the Republic of Turkey (TCMB) untuk bertindak independen.
Pada akhirnya menaikkan suku bunga untuk pertama kali dalam beberapa sesi di akhir April, menggerakkan laju likuiditas, yang digunakan untuk menetapkan kebijakan, naik 75 basis poin menjadi 13,5%. Kabar tersebut menaikkan nilai tukar lira untuk sementara waktu.
Namun, Erdogan justru ingin menurunkan suku bunga. Dia berkata hal itu harus dilakukan untung menurunkan tekanan ke anggaran Turki dan mendorong pertumbuhan yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja bagi pemuda Turki.
Indikator Bermasalah
"Saya sungguh prihatin terhadap lira Turki," kata Piotr Matys, strategis FX pasar berkembang di Rabobank, kepada CNBC Internasional.
"Apakah domino pasar Turki akan jatuh selanjutnya? [Negara] itu memiliki semua masalah ini; defisit transaksi berjalan yang tinggi, pemerintah meminjam dengan mata uang lain."
Mata uang pasar berkembang merasakan dampak negatif akibat penguatan dolar dan imbal hasil yang tinggi di Amerika Serikat (AS). Namun Matys berkata, rencana kebijakan moneter Erdogan menyebabkan kinerja lira yang terus memburuk terhadap pasar berkembang lainnya.
Pelemahan ini pun meningkat karena ketidakpastian geopolitik atas tindakan militer AS dan Rusia di negara tetangganya, Suriah.
Defisit transaksi berjalan Turki di bulan Maret, ukuran perdagangan negara itu, meluas menjadi $4,812 miliar (Rp 67.716 triliun) dibandingkan dengan $4,5 miliar di bulan sebelumnya.
Jumlah itu juga jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi.
Defisit transaksi berjalan di bulan Februari naik lebih dari 60% dalam periode yang sama di tahun 2017. "Pertumbuhan Turki tidak seimbang, inflasi naik tinggi, ongkos utang asing menggelembung dan ekspektasi FX domestik tidak bisa ditahan," kata Chenevix. "Tekanan terhadap aset Turki akan segera kembali."
Pengendalian Sebelum Pemilu
Di bulan April Erdogan mengumumkan pemilu awal yang dipandang sebagai perebutan kekuasaan. Pemilu kepresidenan dan parlemen akan yang rencananya diselenggarakan November 2019 akan dimajukan ke bulan Juni tahun ini. Gejolak ekonomi dianggap sebagai alasan utama dari percepatan ini.
Jika menang, Erdogan bisa meredakan perekonomian yang memburuk dengan popularitasnya. Kemenangan juga memungkinkannya menghapus posisi perdana menteri dan melemahkan parlemen berkat referendum konstitusi tahun lalu yang sangat terpusat pada kekuasaan presiden.
(hps) Next Article BI Sebut Ekonomi RI Lebih Baik Dibanding Turki
Most Popular