Yield Obligasi AS di Atas 3%, Rupee dan Rupiah Kian Tertekan

Roy Franedya, CNBC Indonesia
16 May 2018 14:33
Pada Selasa (15/5/2018) yield obligasi AS tenor 10 tahun sudah menyentuh 3,09%, level tertinggi sejak 2011.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang negara berkembang cenderung lebih tertekan ditengah kenaikan yield (imbal hasil) surat utang Amerika Serikat (AS). Pada Selasa (15/5/2018) yield obligasi AS tenor 10 tahun sudah menyentuh 3,09%, level tertinggi sejak 2011.

"Dalam lingkungan suku bunga global yang meningkat, negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan yang mengandalkan arus masuk modal obligasi (fixed income) untuk membiayai defisit mereka, dan itulah yang dilakukan Indonesia, akan merasa lebih sulit," Michael Spencer, Head Economist Asia Pasifik Deutsche Bank, seperti dikutip dari CNBC International.

Rupiah Indonesia, peso Filipina dan rupee India telah berada di antara mata uang terlemah di Asia selama lima atau enam bulan terakhir karena alasan itu, katanya.

Mata uang negara berkembang telah mengalami tekanan pada tahun ini, dengan rupiah turun sekitar 4% lawan greenback sejauh ini. Pada hari Rabu, mata uang turun ke level terendah sejak Oktober 2015, perdagangan terakhir di 14.105 terhadap dolar.

"Karena suku bunga AS terus meningkat, itu akan menambah tekanan pada rupiah, peso dan rupee," tambah Spencer.

Sementara itu, Spencer mengatakan inflasi yang lebih tinggi terlihat di pasar negara berkembang, terutama Indonesia dan Filipina, ditambah dengan mata uang yang melemah akan memaksa bank-bank sentral di sana untuk menaikkan suku bunga.

Bank sentral Indonesia diperkirakan akan mengumumkan keputusannya tentang suku bunga pada hari Kamis. Reuters melaporkan bahwa 13 dari 21 ekonom yang disurvei itu telah menunjukkan bahwa Bank Indonesia akan menaikkan 7-Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%.



(wed) Next Article Lira Anjlok Parah, Nilai Rupee India Mencapai Rekor Terendah

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular