Yield Obligasi Negara Turun, Waspadai Kaburnya Dana Asing

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 May 2018 14:55
Yield Obligasi Negara Turun, Waspadai Kaburnya Dana Asing
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) bergerak turun. Namun penurunan ini perlu diwaspadai, karena justru bisa memicu aliran modal keluar. 

Pada Selasa (15/5/2018), yield SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,068%. Turun dibandingkan hari sebelumnya yaitu 7,096%. 

Yield Obligasi Negara Turun, Waspadai Kaburnya Dana AsingReuters
 
Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik. Sementara kenaikan harga menunjukkan aliran dana menuju SBN sedang cukup deras. 

Padahal, investor asing masih cenderung menghindari SBN. Sejak awal April, kepemilikan investor asing di SBN turun Rp 27,56 triliun. 

Yield Obligasi Negara Turun, Waspadai Kaburnya Dana AsingDJPPR Kemenkeu
 
Kemungkinan penurunan yield obligasi disebabkan oleh tingginya aktivitas BI di pasar SBN. Sepertinya BI masih aktif menyerap SBN dalam rangka stabilisasi rupiah. 

Nilai tukar rupiah masih terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), yang hari ini kembali menembus Rp 14.000/US$. Namun pelemahan ini sebenarnya masih agak 'jinak', karena di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) dolar AS sudah diperdagangkan di kisaran Rp 14.105-14.125. Artinya, pelemahan rupiah tertahan oleh intervensi bank sentral.

Aktivitas BI menyerap SBN untuk mengendalikan likuiditas rupiah membuat permintaan SBN meningkat. Hal ini membuat yield bergerak turun. 

Penurunan yield sejatinya bagus, karena menandakan SBN semakin likuid dan peminat instrumen ini bertambah. Namun kali ini, penurunan yield mesti diwaspadai. 

Pasalnya, di saat yang sama yield obligasi pemerintah AS naik. Saat ini, yield obligasi negara AS tenor 10 tahun berada di 3,0208%. Naik dibandingkan kemarin yaitu 2,995%. 

Yield Obligasi Negara Turun, Waspadai Kaburnya Dana AsingReuters

Kenaikan yield obligasi AS dipicu oleh peningkatan ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam. Penyebab kenaikan ekspektasi inflasi adalah hubungan dagang AS-China yang semakin membaik. 

Wakil Perdana Menteri China Liu He akan bertolak ke AS pada 15-19 Mei mendatang guna melakukan negosiasi perdagangan. Begitu cepatnya negosiasi lanjutan nampaknya didorong oleh langkah Presiden AS Donald Trump yang ingin membantu melepaskan raksasa teknologi asal China ZTE dari sanksi yang belum lama ini dikenakan.  

"Presiden Xi dan saya sedang berusaha bersama untuk membuka kembali akses bisnis bagi perusahaan pembuat ponsel pintar raksasa asal China, ZTE, dengan cepat. Terlalu banyak pekerjaan yang hilang di China. Kementerian Perdagangan sudah diinstruksikan untuk menyelesaikannya!" tegas Trump melalui akun Twitter pribadinya. 

Jika kesepakatan antar kedua negara bisa tercapai, maka pemulihan ekonomi dunia dimungkinkan untuk berlanjut. Kekhawatiran perang dagang pun akan sirna. Ketika arus perdagangan lancar, maka pertumbuhan ekonomi AS pun akan membaik.

Pertumbuhan ekonomi AS yang terakselerasi tentu melahirkan tekanan inflasi. Dari sinilah ekspektasi itu berasal. 

Saat yield obligasi AS naik dan Indonesia turun, maka selisih (spread) antara dua instrumen ini akan mengecil. AS tentu akan menjadi lebih seksi di mata investor, karena menjanjikan keuntungan lebih.

Persepsi ini bisa memunculkan risiko arus modal keluar alias capital outflows. Ketika capital outflows terjadi, maka nilai tukar rupiah akan semakin tertekan. Apalagi sebelumnya ada sentimen negatif dari rilis data neraca perdagangan periode April 2018, yang membukukan defisit US$ 1,63 miliar. 


Saat aliran devisa dari perdagangan maupun sektor keuangan seret, maka rupiah pun semakin melemah. BI kemudian terpaksa harus melakukan intervensi lagi di pasar SBN, yang membuat yield turun. Yield Indonesia semakin turun, sementara AS cenderung naik, dan lingkaran setan pun berulang kembali...

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular