
Yield Obligasi Negara Tembus 7,2%, Tertinggi Sejak Maret 2017
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 May 2018 13:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi negara terus bergerak naik. Investor asing sedang mengalihkan pandangan ke pasar valas dengan memburu dolar Amerika Serikat (AS) sehingga aliran dana ke pasar obligasi sangat minim.
Pada Rabu (9/5/2018), yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di level 7,25%. Yield hari ini adalah yang tertinggi sejak Maret 2017.
Perhatian investor kini tertuju ke perkembangan di Timur Tengah. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran. Trump juga menegaskan Washington akan menjatuhkan sanksi ekonomi terberat bagi Teheran.
"Perjanjian dengan Iran ini sangat buruk dan hanya menguntungkan satu pihak. Seharusnya tidak pernah dibuat. AS akan mengenakan sanksi ekonomi dalam tingkatan tertinggi," tegas Trump, seperti dilansir Reuters.
Hassan Rouhani, Presiden Iran, mengatakan negaranya akan terus menjalankan kesepakatan meski tanpa AS. Rouhani juga menegaskan bahwa langkah AS adalah sesuatu yang illegal dan merusak tatanan internasional.
Ketika sanksi dijatuhkan, maka Iran akan sulit menjual minyaknya. Padahal, produksi minyak Iran cukup besar yaitu mencapai 3,8 juta barel/hari yang 2,5 juta barel/hari dialokasikan untuk pasar ekspor. China, India, Jepang, dan Korea Selatan adalah beberapa negara yang banyak membeli minyak dari Iran.
Terputusnya pasokan minyak dari Iran akan menyebabkan harga naik. Ke depan, harga si emas hitam akan semakin terkerek ke atas kala sanksi terhadap Iran sudah diterapkan.
Kenaikan harga minyak dunia artinya akan ada tekanan inflasi. Ini kembali memunculkan persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan untuk menjangkar ekspektasi inflasi.
Seperti biasa, pembacaan seperti ini membuat investor lari ke pelukan dolar AS. Kala suku bunga naik, mata uang akan diuntungkan karena inflasi terjangkar dan nilainya terapresiasi. Dolar AS tengah jadi primadona, sehingga instrumen lain ditinggalkan termasuk obligasi.
Perkembangan ini juga menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Pada pukul 13:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.075. Rupiah melemah 0,21 % dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Pelemahan rupiah membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik. Akibatnya, investor cenderung menghindari pasar saham maupun obligasi Indonesia. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing sudah mencapai Rp 263,32 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Pada Rabu (9/5/2018), yield Surat Berharga Negara (SBN) seri acuan tenor 10 tahun berada di level 7,25%. Yield hari ini adalah yang tertinggi sejak Maret 2017.
![]() |
Perhatian investor kini tertuju ke perkembangan di Timur Tengah. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran. Trump juga menegaskan Washington akan menjatuhkan sanksi ekonomi terberat bagi Teheran.
Hassan Rouhani, Presiden Iran, mengatakan negaranya akan terus menjalankan kesepakatan meski tanpa AS. Rouhani juga menegaskan bahwa langkah AS adalah sesuatu yang illegal dan merusak tatanan internasional.
Ketika sanksi dijatuhkan, maka Iran akan sulit menjual minyaknya. Padahal, produksi minyak Iran cukup besar yaitu mencapai 3,8 juta barel/hari yang 2,5 juta barel/hari dialokasikan untuk pasar ekspor. China, India, Jepang, dan Korea Selatan adalah beberapa negara yang banyak membeli minyak dari Iran.
Terputusnya pasokan minyak dari Iran akan menyebabkan harga naik. Ke depan, harga si emas hitam akan semakin terkerek ke atas kala sanksi terhadap Iran sudah diterapkan.
Kenaikan harga minyak dunia artinya akan ada tekanan inflasi. Ini kembali memunculkan persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan untuk menjangkar ekspektasi inflasi.
Seperti biasa, pembacaan seperti ini membuat investor lari ke pelukan dolar AS. Kala suku bunga naik, mata uang akan diuntungkan karena inflasi terjangkar dan nilainya terapresiasi. Dolar AS tengah jadi primadona, sehingga instrumen lain ditinggalkan termasuk obligasi.
Perkembangan ini juga menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Pada pukul 13:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.075. Rupiah melemah 0,21 % dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Pelemahan rupiah membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik. Akibatnya, investor cenderung menghindari pasar saham maupun obligasi Indonesia. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing sudah mencapai Rp 263,32 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Takut Jakarta 'Digembok' Kayak Manila, Investor Lepas SBN
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular