
Harga Batu Bara Tembus US$100/Ton Lagi
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
02 May 2018 12:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sejak awal Maret 2018 terus bergerak di bawah level US$100/ton, kemarin harga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka tercatat mampu menguat 2,67% ke US$102,05/ton. Kenaikan harga minyak mentah global dan sentimen penguatan permintaan, menjadi energi positif bagi harga batu bara pekan ini.
Penguatan harga minyak dipicu oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang berencana menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang dibuat oleh pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, bersama-sama dengan China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris.
Trump akan memutuskan langkahnya pada 12 Mei mendatang. Bila rencana Trump benar-benar terjadi dan AS memutuskan memberikan sanksi ekonomi baru terhadap Iran, maka pasokan minyak dari Negeri Persia akan terganggu.
Padahal Iran merupakan salah satu eksportir minyak mentah utama dunia, dengan mengekspor minyak mentah hingga 2,6 juta barel per hari (bph) pada bulan lalu. Spekulasi akan terjadinya disrupsi pasokan minyak global lantas mampu mengerek harga minyak beberapa waktu terakhir.
Faktor lainnya yang mampu menyokong harga batu bara datang dari sentimen meningkatnya permintaan si batu hitam, khususnya dari wilayah Asia. Melemahnya permintaan dari China akibat kebijakan pembatasan impor batu bara, nampaknya mampu diimbangi oleh peningkatan impor batu bara oleh India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dari Korea Selatan, lebih dari 40% pembangkit listrik tenaga nuklir dinon-aktifkan saat ini, yang akhirnya menyebabkan mendorong permintaan batu bara.
Meskipun menyandang status sebagai "sumber energi kotor", batu bara tetap menjadi bahan bakar yang paling banyak digunakan di dunia, khususnya di Benua Asia yang mengutilisasi 73,78% batu bara termal dunia saat ini.
Bahkan, dengan rencana China untuk mengalihkan sumber energi ke energi bersih, permintaan batu bara saat ini masih tergolong kuat, seiring masih banyaknya pembangkit listrik dan fasilitas industri yang bergantung pada si batu hitam.
(RHG/RHG) Next Article Harga Batu Bara Turun 1% Tapi Masih di Atas US$100/ton
Penguatan harga minyak dipicu oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang berencana menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang dibuat oleh pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, bersama-sama dengan China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris.
Trump akan memutuskan langkahnya pada 12 Mei mendatang. Bila rencana Trump benar-benar terjadi dan AS memutuskan memberikan sanksi ekonomi baru terhadap Iran, maka pasokan minyak dari Negeri Persia akan terganggu.
![]() |
Faktor lainnya yang mampu menyokong harga batu bara datang dari sentimen meningkatnya permintaan si batu hitam, khususnya dari wilayah Asia. Melemahnya permintaan dari China akibat kebijakan pembatasan impor batu bara, nampaknya mampu diimbangi oleh peningkatan impor batu bara oleh India, Jepang, dan Korea Selatan.
Dari Korea Selatan, lebih dari 40% pembangkit listrik tenaga nuklir dinon-aktifkan saat ini, yang akhirnya menyebabkan mendorong permintaan batu bara.
Meskipun menyandang status sebagai "sumber energi kotor", batu bara tetap menjadi bahan bakar yang paling banyak digunakan di dunia, khususnya di Benua Asia yang mengutilisasi 73,78% batu bara termal dunia saat ini.
Bahkan, dengan rencana China untuk mengalihkan sumber energi ke energi bersih, permintaan batu bara saat ini masih tergolong kuat, seiring masih banyaknya pembangkit listrik dan fasilitas industri yang bergantung pada si batu hitam.
(RHG/RHG) Next Article Harga Batu Bara Turun 1% Tapi Masih di Atas US$100/ton
Most Popular