Pemerintah Akan Jual Surat Utang Valas, Apakah Waktunya Pas?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 April 2018 13:17
Pemerintah Akan Jual Surat Utang Valas, Apakah Waktunya Pas?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dikabarkan segera menerbitan surat utang atau obligasi dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) sneilai US$ 1 miliar dalam waktu dekat. Apakah momentumnya tepat? 

Mengutip Reuters, Selasa (17/4/2018), tenor obligasi itu adalah 10 tahun dengan imbal hasil (yield) di kisaran 4,4%. Credit Agricole, Deutsche Bank, Goldman Sachs, HSBC, dan Bank Mandiri disebut menjadi bookrunners. Sementara Bahana, Danareksa, dan Trimegah menjadi co-managers 

Sejatinya, menerbitkan obligasi dalam waktu dekat momentumnya sudah tepat. Lembaga pemeringkat (rating agency) akhir pekan lalu baru saja menaikkan peringkat obligasi pemerintah dari Baa3 ke Baa2. Sebelumnya, akhir tahun lalu Fitch Ratings juga menaikkan peringkat Indonesia ke BBB. 

Kenaikan rating obligasi pada dasarnya berarti potensi gagal bayar (default) menjadi semakin kecil. Ini membuat posisi tawar pemerintah di hadapan investor menjadi lebih baik, sehingga bisa menolak permintaan harga yang rendah dan imbal hasil (yield) yang terlalu tinggi. 

Oleh karena itu, kenaikan rating akan membuat biaya penerbitan obligasi bisa lebih murah. Harga bisa lebih tinggi dan yield bisa ditekan sehingga tidak terlalu membebani anggaran negara. 

Namun, pemerintah juga harus mencari momen yang benar-benar tepat untuk menerbitkan obligasi global ini. Sentimen positif dari kenaikan rating bisa tertutup bila ada gangguan besar di pasar keuangan global. 

Dalam waktu dekat, ada beberapa risiko yang perlu dicermati. Pertama adalah perkembangan di Suriah. Setelah serangan senjata kimia di kota Douma beberapa waktu lalu, situasi di Suriah memanas dan melibatkan negara-negara besar. 

Akhir pekan lalu, koalisi AS, Inggris, dan Prancis membombardir ibukota Damaskus dengan 115 misil dengan tujuan melumpuhkan fasiltas pembuatan senjata kimia. Serangan ini diprotes oleh sekutu Presiden Suriah Bashar al-Assad seperti Rusia. 

Untuk saat ini, sentimen negatif dari Suriah agak mereda karena pelaku pasar menilai serangan udara AS dkk sepertinya hanya sekali dilakukan. Rusia cs pun sejauh ini hanya sebatas memprotes, belum ada rencana untuk serangan balasan. 

Namun bukan berarti bara di Suriah sepenuhnya padam. Dinamika di sana tetap perlu mendapat perhatian, karena bisa memanas kapan saja.  Kedua adalah sentimen pengetatan kebijakan moneter global, isu yang naik-turun bin timbul-tenggelam. Data terbaru menunjukkan perekonomian Negeri Paman Sam semakin membaik, sehingga bisa memunculkan persepsi bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga dengan lebih agresif. 

US Cencus Bureau mencatat penjualan ritel di AS pada Maret 2018 tumbuh 4,5% secara year-on-year (YoY). Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya dengan pertumbuhan 4,1% YoY. 

Kenaikan penjualan ritel menunjukkan konsumsi masyarakat Negeri Paman Sam semakin membaik. Artinya, potensi percepatan laju inflasi ke depan sangat mungkin. Saat ini inflasi AS sudah cukup stabil di kisaran 2%, sesuai target The Fed.

Jika konsumen AS semakin hobi belanja, bukan tidak mungkin inflasi akan melampaui target tersebut. Kala inflasi semakin melaju, maka ada potensi perekonomian tumbuh semakin cepat. Di sinilah menjadi justifikasi The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih agresif, untuk mengerem pertumbuhan ekonomi agar tidak overheating

The Fed dan pelaku pasar memperkirakan sepanjang tahun ini ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali, yang pertama sudah dilakukan bulan lalu. Namun sepertinya kartu kenaikan suku bunga sampai empat kali masih di atas meja, bila perekonomian AS terus tumbuh dan dinilai terlalu cepat. 

Setiap kali ada persepsi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sampai empat kali tahun ini, investor cenderung risk off. Aset-aset berisiko dari negara berkembang enggan disentuh, dan investor cenderung kembali ke pelukan dolar AS. Ketika ini terjadi, pemerintah bisa dipojokkan (cornered) oleh pasar sehingga biaya penerbitan obligasi menjadi mahal. Ketiga adalah perkembangan isu perang dagang AS-China. Setelah beberapa waktu menghilang, sentimen ini datang lagi mewarnai pasar. 

Kementerian Perdagangan AS telah melarang perusahaan Negeri Paman Sam untuk mendatangkan perangkat maupun komponen telekomunikasi dari korporasi asal China, ZTE. Sanksi ini akan berlaku selama tujuh tahun ke depan. 

Kemudian, Presiden AS Donald Trump juga menyerang AS dan China yang dituding memanipulasi kurs untuk menjaga ekspor tetap kompetitif. "Rusia dan China bermain dengan pelemahan kurs sementara AS menaikkan suku bunga. Tidak bisa diterima!" tegas Trump. 

Ketika suku bunga di AS naik, maka greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat. Namun di sisi lain Trump menilai Rusia dan China sengaja melemahkan mata uangnya secara sistematis agar ekspor mereka tetap kompetifif.  

Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, menyatakan bahwa Kementerian Keuangan AS sudah memasukkan China di daftar negara yang berpotensi dianggap memanipulasi kurs. Namun Sanders tidak menyebut soal Rusia. 

Beberapa waktu lalu, sentimen perang dagang sempat membuat bursa global (termasuk Indonesia) terjerembab ke zona merah. Oleh karena itu, setiap potensi yang mengarah ke perang dagang patut diwaspadai karena ketika tensi perang dagang meninggi, pasar lagi-lagi akan bersikap risk off.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/hps) Next Article Pemerintah Terbitkan Surat Utang Valas Rp 30,77 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular