Risiko yang Timbul dari Lonjakan Utang Pemerintah Rp 4.000 T

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 March 2018 12:05
Risiko yang Timbul dari Lonjakan Utang Pemerintah Rp 4.000 T
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Utang pemerintah Indonesia per Februari 2018 mencapai Rp 4.034,8 triliun atau 29,24% dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah tersebut naik 13,46% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp 3.257,26 triliun atau 80,73%. Utang dalam bentuk SBN tumbuh 15,46% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Kemenkeu

Secara legal-formal, besaran utang pemerintah itu memang belum menyalahi aturan. UU Keuangan Negara pasal 12 ayat (3) menyebutkan, jumlah utang dibatasi maksimal 60% dari PDB sehingga jumlah yang sekarang belum ada separuh dari ambang tersebut.
 

Meski demikian, bukan berarti utang pemerintah bebas dari risiko. Terutama di SBN, kepemilikan asing yang cukup banyak menyimpan risiko tersendiri. 

Per 13 Maret 2018, investor asing memiliki Rp 826,3 triliun dari Rp 2.123,1 triliun SBN yang dapat diperdagangkan. Artinya, porsi kepemilikan asing di pasar SBN mencapai 38,92%. 

Dari Rp 826,3 triliun kepemilikan asing di SBN, hanya Rp 139,35 triliun (6,56%) yang dipegang oleh pemerintah dan bank sentral negara lain. Mereka adalah investor yang "setia", tidak mudah terlena untuk keluar-masuk pasar.

Namun sayangnya, mereka minoritas.
 Artinya, mayoritas investor di pasar modal adalah para pemburu margin. Mereka cenderung keluar-masuk pasar dengan mudah untuk mencari keuntungan lebih.  

Ini yang menyebabkan kepemilikan asing di SBN cenderung turun. Dibandingkan posisi akhir 2017, kepemilikan asing turun Rp 9,85 triliun. 

DJPPR Kemenkeu

Dalam situasi ketidakpastian global, pengelolaan SBN bukan hal yang mudah. Investor, terutama asing, akan mudah terlena begitu negara lain memberikan keuntungan lebih banyak.

Di sinilah tantangannya. Negara-negara berkembang sudah mulai menaikkan suku bunga acuan, seperti Malaysia, Korea Selatan, sampai China. Negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris pun sudah ancang-ancang menaikkan suku bunga acuan.

Kenaikan suku bunga acuan akan diiringi oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi, sehingga lebih menarik bagi investor. Ini akan menggoda investor untuk meninggalkan pasar Indonesia dan pindah ke negara lain.

Apalagi Bank Indonesia sepertinya masih mempertahankan sikap (stance) netral, meskipun AS menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini. Agus DW Martowardojo, Gubernur BI, menyatakan bahwa belum tentu BI akan merespons dengan kebijakan yang sama kala The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga.


Kala suku bunga Indonesia tetap sementara AS naik, maka selisih (spread) akan menipis dan instrumen berbasis dolar AS menjadi semakin menarik. Meski Agus meyakini Indonesia masih menarik, tetapi sepertinya arus modal keluar untuk mencari margin tidak bisa dihindari kala The Fed menaikkan suku bunga.

Di tengah tren kenaikan suku bunga global, yield juga cenderung naik. Ini juga tidak terhindarkan bagi Indonesia, di mana yield untuk SBN tenor acuan 10 tahun sedang dalam tren ke atas.

Reuters

Ketika yield tinggi, maka akan menjadi beban bagi pemerintah karena anggaran untuk pembayaran bunga utang bisa membengkak. Selain itu, pemerintah akan cenderung dipojokkan (cornered) dalam lelang SBN ketika tren yield sedang tinggi.

Investor akan meminta yield tinggi dan pemerintah pun dalam posisi serba salah. Jika dimenangkan maka menjadi tambahan beban, sementara kalau tidak dimenangkan bisa mengancam rencana pembiayaan anggaran.

Oleh karena itu, meski utang pemerintah masih aman tetapi kewaspadaan tidak boleh mengendur. Pengelolaan utang harus tetap hati-hati (bahkan mungkin cenderung konservatif) di tengah iklim pasar keuangan global yang masih tidak menentu.

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko adalah memperbanyak peranan investor domestik di pasar SBN. Dengan begitu, pasar SBN akan lebih berdaya tahan dari guncangan eksternal.

Indonesia bisa belajar dari negara-negara tetangga. D
i Malaysia, posisi tertinggi kepemilikan asing di obligasi negara adalah 35,75% yang terjadi pada September 2016. Sejak 2008, rata-rata porsi investor asing di obligasi negara Malaysia adalah 25,19%.

Kebanyakan investor asing di obligasi negara Malaysia memegang instrumen berjangka panjang, dengan tenor lebih dari 5 tahun. Porsi kepemilikan di instrumen jangka panjang dalam tren meningkat. Sementara untuk yang berjangka pendek (kurang dari setahun) justru menurun.

Ini menandakan investor asing yang masuk ke obligasi negara Malaysia punya perspektif jangka panjang, bukan sekedar hot money.

ADB

 

Bank Negara Malaysia

Sementara di Thailand, kepemilikan asing di instrumen obligasi negara jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia, apalagi Indonesia. Di Negeri Gajah Putih, asing hanya memegang belasan persen dari obligasi yang diterbitkan pemerintah.

Bahkan sampai pertengahan 2011, porsi asing tidak sampai 10%. Posisi terakhir kepemilikan asing di Thailand hanya 16,23%.

ADB

Di Jepang situasinya berbeda lagi. Investor asing di pasar obligasi pemerintah Negeri Matahari Terbit adalah minoritas.

Berdasarkan data Desember 2017, total obligasi pemerintah Jepang yang diterbitkan adalah 1.084,9 triliun yen. Dari jumlah tersebut, investor asing hanya memegang 10,8%.

Japan Ministry of Finance

Hal ini menjadikan pasar keuangan Jepang relatif tahan guncangan. Sebab, peranan investor domestik sangat dominan sehingga tidak rentan terhadap gejolak eksternal.

Kala pasar keuangan global terguncang, obligasi negara Jepang praktis tidak mengalami tekanan yang berarti. Tidak ada tekanan akibat arus modal keluar, karena memang investor lokal yang mendominasi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular