Pelemahan Rupiah (Tidak) Sesuai 'Fundamental Ekonomi'?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 March 2018 16:50
Faktor Utang Memperberat Kurs
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Faktor fiskal juga memengaruhi mata uang, yakni ketika sebuah negara menarik terlalu banyak utang untuk membiayai pembangunan, terutama ketika sektor manufakturnya belum kuat menjangkau pasar di seluruh dunia, maka investor asing akan cenderung menghindarinya. Meski utang pemerintah berujung pada bergulirnya perekonomian atau memiliki dampak positif, tetapi mata uang bisa memikul dampak negatifnya terutama ketika inflasi meroket.

Utang tersebut harus dibayar di masa depan, dengan nilai mata uang yang mengkerut karena terlibas inflasi.
Tidak jarang, pemerintah akan mencetak lebih banyak uang untuk membayar utangnya. Langkah ini dipastikan memicu inflasi, karena suplai uang beredar menjadi berlebih.

Jika pemerintah menerbitkan surat utang berdenominasi dolar, maka faktor psikologi pasar turut berperan menentukan nilai tukar rupiah ketika investor asing yang memegang surat utang pemerintah berdenominasi dolar khawatir dengan kondisi perekonomian. 
Jika dibandingkan antara Singapura dan Indonesia, Singapura memiliki rasio utang publik lebih tinggi yakni 112% terhadap PDB pada 2016, sementara Indonesia masih di kisaran 30% dari PDB.

Hanya saja, pemerintah Singapura saat ini memiliki postur fiskal lebih sehat dengan surplus S$9,6 miliar (sekitar Rp 100 triliun) pada tahun lalu, berbeda dari Indonesia yang masih mengalami defisit APBN senilai nyaris Rp 400 triliun.


Yang lebih penting lagi, Singapura memiliki kestabilan politik dan ekonomi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,84% dalam 42 tahun terakhir sejak negara tersebut berdiri. Pada tahun lalu, ekonomi negara tersebut tumbuh 3,6%.

Namun pada praktiknya, nilai kurs tidak sepenuhnya ditentukan berdasarkan perhitungan fundamental ekonomi semata. Banyak faktor non-fundamental yang memengaruhinya seperti psikologi pasar, spekulasi, dan intervensi bank sentral atau pemerintah.

Intervensi dilakukan untuk menjaga kestabilan kurs. Langkah ini diambil BI dengan masuk ke pasar sebagai bagian dari trader mata uang, memborong mata uang sendiri ketika ingin memperkuat nilainya atau sebaliknya melepas mata uangnya dalam jumlah besar agar nilainya melemah.

Karena itu, secara teoritis bisa saja S&P mengestimasi rupiah melemah menembus level psikologis 15.000 per dolar AS. Bukan karena ekonomi Indonesia melemah, tapi karena ekonomi atau iklim investasi negara maju yang membaik sehingga memicu capital outflow.

Hanya saja, dalam praktiknya proyeksi itu bisa berubah tergantung kekuatan cadangan devisa dan agresivitas BI dalam mengintervensi pasar, selama pemerintah mampu menjaga keseimbangan fiskal dan inflasi. ***
(ags/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular