
Laba Bersih Naik, Kenapa Saham ASII Tertekan?
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
05 March 2018 14:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2017 adalah tahun menguntungkan bagi PT Astra Internasional Tbk (ASII), menyusul kenaikan laba bersih sebesar 24,57% ke Rp 18,88 triliun. Lalu mengapa investor melepas saham perseroan hingga harga sahamnya tertekan sepanjang tahun ini?
Saham emiten berkode ASII ini sepanjang tahun berjalan (year to date/ YTD) melemah 1,81% ke Rp 8.150 per unit. Saham perusahaan konglomerasi tersebut bahkan menyentuh titik terendahnya tahun ini yakni Rp 8.000 pada 22 Februari, selang beberapa hari sebelum kinerja keuangan perseroan dirilis.
Bahkan, ekspansi perseroan dengan menyuntik Go-jek senilai US$150 juta (sekitar Rp2 triliun) pada 11 Februari tidak banyak mendorong investor saham untuk memburu saham berkode ASII. Kenaikan saham perseroan terlihat dalam dua hari perdagangan setelah aksi korporasi itu diumumkan, sebesar 2,13%, dan selanjutnya melemah kembali. Secara year to date, hingga perdagangan akhir pekan lalu, harga saham ASII terkoreksi 1,81%.
Dari sisi valuasi, saham ASII semestinya masih bisa menguat dengan rasio harga terhadap laba bersih per saham (PE ratio) sebesar 15,7 kali (untuk 12 bulan ke depan), atau lebih rendah dari rasio PE industri sebesar 19,39 kali. Artinya, investor membayar 15,7 kali lipat untuk bisa panen laba bersih yang dihasilkan tiap saham perseroan, secara umum lebih murah daripada ketika ingin memanen laba dari saham lain di industri yang sama.
Dari sisi nilai buku per saham (price to book value/ PBV), saham ASII juga masih murah yakni sebesar 2,38 kali, lebih rendah dibanding PBV industri yang telah mencapai 2,74 kali. PBV yang masih lebih rendah dari industri mengindikasikan bahwa saham Astra berpotensi menguat setahun ini.
CNBC Indonesia berusaha menelusuri kinerja keuangan Astra International, sebagai salah satu konglomerasi terbesar nasional ini berdasarkan laporan keuangan 2017 yang baru dirilis pekan lalu. Berdasarkan analisis yang kami lakukan, profitabilitas Astra masih terjaga tetapi ada indikasi perseroan menghadapi tantangan lebih berat di industri otomotif tahun lalu, sehingga berujung pada kenaikan inventorinya di tengah kenaikan kewajiban jangka pendeknya.
Laba Tumbuh, Meski Melemah
Dari sisi kinerja per segmen, sektor otomotif membukukan laba bersih tertinggi senilai Rp 8,86 triliun, diikuti alat berat dan pertambangan sebesar Rp 4,47 triliun, jasa keuangan senilai Rp 3,75 triliun, agribisnis Rp 1,6 triliun, dan teknologi informasi Rp 198 miliar.
Namun, perlu dicermati bahwa laba bersih divisi otomotif turun 3% dari Rp 9,16 triliun menjadi Rp 8,9 triliun karena dipicu oleh turunnya penjualan mobil sebesar 2% menjadi 579.000 unit. Pada periode yang sama, pangsa pasar perseroan juga turun dari 55% menjadi 54%.
Di sisi lain, sektor infrastruktur dan properti mencetak rugi bersih senilai Rp 18 miliar (2017), berbalik dari laba bersih sebesar Rp 263 miliar (2016). Hal ini agak berkebalikan dari tren industri mengingat sektor infrastruktur saat ini booming di tengah masifnya proyek pemerintah.
Menurut penjelasan manajemen, rugi bersih tersebut dibukukan karena tol Cikopo-Palimanan yang baru saja diakuisisi pada awal 2017. Selain itu, perseroan masih menanggung kerugian dari divestasi sahamnya di PT PAM Lyonnaise Jaya. Tidak disebutkan berapa nilai kerugian perseroan di kedua portofolio tersebut.
Menguti data Reuters, rentabilitas (kemampuan Astra dalam mencetak laba) masih terhitung kuat dengan pengembalian dari aset (return on asset/ ROA) sebelum pajak yang masih tinggi, yakni di kisaran 10,5%. Angka tersebut masih di atas industri yang hanya membukukan ROA 9,6%. Hanya saja, jika dilihat berdasarkan tren lima tahun terakhir, daya untung Astra sebenarnya melemah. Pada 2013, ROA perseroan berada di level 13,9%.
Di sisi lain, pengembalian dari ekuitas (return on equity/ ROE) sebelum pajak tercatat di level 24,8%, atau sedikit di atas rerata industri sebesar 23,8%. Namun lagi-lagi, dibandingkan dengan posisi 5 tahun terakhir, kekuatan Astra sedikit melemah karena ROE perusahaan yang separuh kepemilikannya dipegang investor Singapura (Jardine Cycle and Carriage Ltd) ini pada 2013 mencapai 35,5%.
Faktor siklis komoditas menjadi salah satu biang di balik pelemahan kekuatan Astra dalam beroleh laba. Maklum saja, dua anak usaha Astra bergerak di sektor komoditas-yang dalam 4 tahun terakhir cenderung melemah, yakni PT United Tractors Tbk dan PT Astra Agro Lestari Tbk.
Ada Apa Dengan Otomotif?
Jika bisnis anak usaha Astra di komoditas tertekan, lalu kenapa penjualan otomotif juga ikut-ikutan tertekan? Jawabannya ada pada satu simpul yang mengaitkan tren penurunan komoditas dengan penjualan otomotif perseroan, yakni: konsumsi masyarakat.
Awam diketahui bahwa perusahaan-perusahaan multifinance di era 2010 gencar ekspansi ke luar Jawa karena booming sektor komoditas membantu penjualan otomotif karena masyarakat di luar Jawa-terutama di daerah produsen sawit dan batu bara-mendapat berkah dari kenaikan tersebut.
Sebagaimana diketahui, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pengeluaran konsumsi rumah tangga menyumbang 54,27% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun lalu. Secara bersamaan, sektor komoditas menjadi penopang investasi dan ekspor nasional.
Pertumbuhan ekspor Indonesia secara konsisten turun dari 2014 ke 2016, dengan pelemahan terbesar pada triwulan III/2016 dan triwulan IV/2015 masing-masing -6,66% dan -6,55%. Sejalan dengan itu, jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan dan agrikultur (di mana sawit termasuk di dalamnya) tercatat turun 3,67 juta menjadi 35,92 juta orang (per Agustus 2017), dari posisi 2012.
Di sisi lain, jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan juga mengalami tren penurunan, namun tercatat tidak sedalam sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan berjumlah 1,39 juta orang pada Agustus 2017, melemah sekitar 210 ribu orang dari Agustus 2012.
Jangan lupakan juga pelemahan konsumsi masyarakat yang terjadi pada tahun lalu, yang memukul terutama sektor ritel dan fast moving consumer goods (FMCG). Otomotif berada di garda kedua yang ikut terpukul karena kelas menengah disengat kenaikan tarif listrik pada tahun lalu.
Tidak heran, Lebaran gagal meneruskan tradisinya sebagai pengangkat penjualan sepeda motor. Pada musim Lebaran di Juni 2017, penjualan motor tercatat 379.467 unit, anjlok 28% dari capaian Mei sebanyak 531.496 unit. Astra pun memangkas target penjualan dari 5,9 juta menjadi 5,75 juta.
Di tengah permintaan yang melemah, industri otomotif nasional tahun lalu menyaksikan masuknya pemain baru, yakni produk Wuling. Dalam debut pertamanya pada 2017, pabrikan mobil asal China tersebut membukukan penjualan 5.050 unit hanya dalam 6 bulan sejak peluncurannya pada Juli.
Tren ini berlangsung sampai dengan tahun ini. Pada Januari 2018 saja, Wuling telah membukukan penjualan sebanyak 927 unit, atau nyaris seperlima dari capaian tahun lalu. Jejak melambatnya penjualan otomotif ini terekam dalam laporan keuangan perseroan.
Inventori & Kewajiban Terus Naik
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi perseroan yang dirilis Selasa, pendapatan bersih Astra tercatat naik 13,79% menjadi Rp 206,05 triliun dari Rp 181,08 triliun, sedangkan beban pokok naik 13,15% dari Rp 144,65 triliun ke Rp163,68 triliun.
Semuanya baik-baik saja. Namun jika dilihat lebih detil, kita bisa menemukan jejak ketatnya pasar otomotif tahun lalu dari inventori perseroan. Berdasarkan laporan keuangan, inventori Astra naik 7,94% atau Rp 1,41 triliun setahun kemarin menjadi Rp 19,18 triliun.
Itu merupakan inventori tertinggi 5 tahun terakhir. Pada periode yang sama, penjualan mobil Astra turun 2% menjadi 579.000 unit. Kondisi itu mengulang situasi serupa pada 2015, di mana inventori Astra naik Rp 1,35 triliun dan laba bersihnya anjlok hingga Rp 1 triliun lebih, menjadi Rp 14,5 triliun.
Inventori merupakan salah satu indikator untuk mengukur aktivitas perseroan. Inventori yang meningkat mengindikasikan sebuah perusahaan mengalami perlambatan penjualan produknya. Apalagi, jika itu terjadi ketika kondisi ekonomi tidak memberi alasan kuat untuk menumpuk bahan baku dan persediaan.
Mengacu pada laporan keuangan Astra, inventory turnover (perputaran inventori) perseroan terlihat menguat dari 45 hari pada 2016 menjadi 41 hari pada tahun lalu. Artinya, perseroan rata-rata mampu menjual barangnya 4 hari lebih cepat pada tahun lalu, dibandingkan dengan periode 2016.
Hanya saja, jika dibandingkan dengan rerata industri (per 2017) yang hanya 36 hari, angka tersebut masih lebih lama. Berdasarkan tren jangka menengah, kenaikan perputaran inventori Astra pada tahun lalu juga masih lebih rendah dibandingkan dengan posisi 2013 yang kala itu mencapai 34 hari.
Dari sisi likuiditas, perseroan mencatatkan lonjakan kewajiban perseroan ke level tertinggi setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Jumlah liabilitas jangka pendek naik Rp 9,64 triliun, menjadi Rp 98,72 triliun pada tahun lalu. Pada 2013, liabilitas jangka pendek perseroan hanya senilai Rp 71,14 triliun.
Berdasarkan pengukuran terhadap rasio cepat (quick ratio), likuiditas perseroan turun tipis menjadi 1,03 pada tahun lalu, tetapi masih di atas rerata industri sebesar 0,99%. Artinya, pada tahun lalu perseroan memiliki aset yang bisa dicairkan secara cepat senilai 1,03 perak untuk tiap 1 perak utang jangka pendeknya.
Rasio cepat menunjukan kemampuan perusahaan dalam memenuhi, kewajiban atau membayar utang lancar (utang jangka pendek) dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan inventori. Rule of thumb (aturan jamak) yang diikuti untuk standar minimal rasio cepat adalah 1,5 kali.
Meski laba bersih tahun lalu menguat, tetapi secara fundamental Astra masih menghadapi tantangan berupa persaingan ketat di sektor otomotif hingga berujung pada kenaikan inventori. Di sisi lain, kewajiban jangka pendek justru meningkat-meski masih dalam skala yang belum membahayakan.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan belum terlihatnya pemulihan konsumsi rumah tangga, kombinasi faktor-faktor tersebut membuat daya tarik saham Astra sedikit tertekan sepanjang tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Kinerja Q1-2020 Emiten RI Bakal Ambles, Q2 Lebih Parah
Saham emiten berkode ASII ini sepanjang tahun berjalan (year to date/ YTD) melemah 1,81% ke Rp 8.150 per unit. Saham perusahaan konglomerasi tersebut bahkan menyentuh titik terendahnya tahun ini yakni Rp 8.000 pada 22 Februari, selang beberapa hari sebelum kinerja keuangan perseroan dirilis.
Bahkan, ekspansi perseroan dengan menyuntik Go-jek senilai US$150 juta (sekitar Rp2 triliun) pada 11 Februari tidak banyak mendorong investor saham untuk memburu saham berkode ASII. Kenaikan saham perseroan terlihat dalam dua hari perdagangan setelah aksi korporasi itu diumumkan, sebesar 2,13%, dan selanjutnya melemah kembali. Secara year to date, hingga perdagangan akhir pekan lalu, harga saham ASII terkoreksi 1,81%.
Dari sisi nilai buku per saham (price to book value/ PBV), saham ASII juga masih murah yakni sebesar 2,38 kali, lebih rendah dibanding PBV industri yang telah mencapai 2,74 kali. PBV yang masih lebih rendah dari industri mengindikasikan bahwa saham Astra berpotensi menguat setahun ini.
CNBC Indonesia berusaha menelusuri kinerja keuangan Astra International, sebagai salah satu konglomerasi terbesar nasional ini berdasarkan laporan keuangan 2017 yang baru dirilis pekan lalu. Berdasarkan analisis yang kami lakukan, profitabilitas Astra masih terjaga tetapi ada indikasi perseroan menghadapi tantangan lebih berat di industri otomotif tahun lalu, sehingga berujung pada kenaikan inventorinya di tengah kenaikan kewajiban jangka pendeknya.
Laba Tumbuh, Meski Melemah
Dari sisi kinerja per segmen, sektor otomotif membukukan laba bersih tertinggi senilai Rp 8,86 triliun, diikuti alat berat dan pertambangan sebesar Rp 4,47 triliun, jasa keuangan senilai Rp 3,75 triliun, agribisnis Rp 1,6 triliun, dan teknologi informasi Rp 198 miliar.
Namun, perlu dicermati bahwa laba bersih divisi otomotif turun 3% dari Rp 9,16 triliun menjadi Rp 8,9 triliun karena dipicu oleh turunnya penjualan mobil sebesar 2% menjadi 579.000 unit. Pada periode yang sama, pangsa pasar perseroan juga turun dari 55% menjadi 54%.
![]() |
Di sisi lain, sektor infrastruktur dan properti mencetak rugi bersih senilai Rp 18 miliar (2017), berbalik dari laba bersih sebesar Rp 263 miliar (2016). Hal ini agak berkebalikan dari tren industri mengingat sektor infrastruktur saat ini booming di tengah masifnya proyek pemerintah.
Menurut penjelasan manajemen, rugi bersih tersebut dibukukan karena tol Cikopo-Palimanan yang baru saja diakuisisi pada awal 2017. Selain itu, perseroan masih menanggung kerugian dari divestasi sahamnya di PT PAM Lyonnaise Jaya. Tidak disebutkan berapa nilai kerugian perseroan di kedua portofolio tersebut.
Menguti data Reuters, rentabilitas (kemampuan Astra dalam mencetak laba) masih terhitung kuat dengan pengembalian dari aset (return on asset/ ROA) sebelum pajak yang masih tinggi, yakni di kisaran 10,5%. Angka tersebut masih di atas industri yang hanya membukukan ROA 9,6%. Hanya saja, jika dilihat berdasarkan tren lima tahun terakhir, daya untung Astra sebenarnya melemah. Pada 2013, ROA perseroan berada di level 13,9%.
Di sisi lain, pengembalian dari ekuitas (return on equity/ ROE) sebelum pajak tercatat di level 24,8%, atau sedikit di atas rerata industri sebesar 23,8%. Namun lagi-lagi, dibandingkan dengan posisi 5 tahun terakhir, kekuatan Astra sedikit melemah karena ROE perusahaan yang separuh kepemilikannya dipegang investor Singapura (Jardine Cycle and Carriage Ltd) ini pada 2013 mencapai 35,5%.
![]() |
Faktor siklis komoditas menjadi salah satu biang di balik pelemahan kekuatan Astra dalam beroleh laba. Maklum saja, dua anak usaha Astra bergerak di sektor komoditas-yang dalam 4 tahun terakhir cenderung melemah, yakni PT United Tractors Tbk dan PT Astra Agro Lestari Tbk.
Ada Apa Dengan Otomotif?
Jika bisnis anak usaha Astra di komoditas tertekan, lalu kenapa penjualan otomotif juga ikut-ikutan tertekan? Jawabannya ada pada satu simpul yang mengaitkan tren penurunan komoditas dengan penjualan otomotif perseroan, yakni: konsumsi masyarakat.
Awam diketahui bahwa perusahaan-perusahaan multifinance di era 2010 gencar ekspansi ke luar Jawa karena booming sektor komoditas membantu penjualan otomotif karena masyarakat di luar Jawa-terutama di daerah produsen sawit dan batu bara-mendapat berkah dari kenaikan tersebut.
Sebagaimana diketahui, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pengeluaran konsumsi rumah tangga menyumbang 54,27% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun lalu. Secara bersamaan, sektor komoditas menjadi penopang investasi dan ekspor nasional.
Pertumbuhan ekspor Indonesia secara konsisten turun dari 2014 ke 2016, dengan pelemahan terbesar pada triwulan III/2016 dan triwulan IV/2015 masing-masing -6,66% dan -6,55%. Sejalan dengan itu, jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan dan agrikultur (di mana sawit termasuk di dalamnya) tercatat turun 3,67 juta menjadi 35,92 juta orang (per Agustus 2017), dari posisi 2012.
Di sisi lain, jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan juga mengalami tren penurunan, namun tercatat tidak sedalam sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan berjumlah 1,39 juta orang pada Agustus 2017, melemah sekitar 210 ribu orang dari Agustus 2012.
![]() |
Jangan lupakan juga pelemahan konsumsi masyarakat yang terjadi pada tahun lalu, yang memukul terutama sektor ritel dan fast moving consumer goods (FMCG). Otomotif berada di garda kedua yang ikut terpukul karena kelas menengah disengat kenaikan tarif listrik pada tahun lalu.
Tidak heran, Lebaran gagal meneruskan tradisinya sebagai pengangkat penjualan sepeda motor. Pada musim Lebaran di Juni 2017, penjualan motor tercatat 379.467 unit, anjlok 28% dari capaian Mei sebanyak 531.496 unit. Astra pun memangkas target penjualan dari 5,9 juta menjadi 5,75 juta.
Di tengah permintaan yang melemah, industri otomotif nasional tahun lalu menyaksikan masuknya pemain baru, yakni produk Wuling. Dalam debut pertamanya pada 2017, pabrikan mobil asal China tersebut membukukan penjualan 5.050 unit hanya dalam 6 bulan sejak peluncurannya pada Juli.
Tren ini berlangsung sampai dengan tahun ini. Pada Januari 2018 saja, Wuling telah membukukan penjualan sebanyak 927 unit, atau nyaris seperlima dari capaian tahun lalu. Jejak melambatnya penjualan otomotif ini terekam dalam laporan keuangan perseroan.
Inventori & Kewajiban Terus Naik
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi perseroan yang dirilis Selasa, pendapatan bersih Astra tercatat naik 13,79% menjadi Rp 206,05 triliun dari Rp 181,08 triliun, sedangkan beban pokok naik 13,15% dari Rp 144,65 triliun ke Rp163,68 triliun.
Semuanya baik-baik saja. Namun jika dilihat lebih detil, kita bisa menemukan jejak ketatnya pasar otomotif tahun lalu dari inventori perseroan. Berdasarkan laporan keuangan, inventori Astra naik 7,94% atau Rp 1,41 triliun setahun kemarin menjadi Rp 19,18 triliun.
Itu merupakan inventori tertinggi 5 tahun terakhir. Pada periode yang sama, penjualan mobil Astra turun 2% menjadi 579.000 unit. Kondisi itu mengulang situasi serupa pada 2015, di mana inventori Astra naik Rp 1,35 triliun dan laba bersihnya anjlok hingga Rp 1 triliun lebih, menjadi Rp 14,5 triliun.
Inventori merupakan salah satu indikator untuk mengukur aktivitas perseroan. Inventori yang meningkat mengindikasikan sebuah perusahaan mengalami perlambatan penjualan produknya. Apalagi, jika itu terjadi ketika kondisi ekonomi tidak memberi alasan kuat untuk menumpuk bahan baku dan persediaan.
Mengacu pada laporan keuangan Astra, inventory turnover (perputaran inventori) perseroan terlihat menguat dari 45 hari pada 2016 menjadi 41 hari pada tahun lalu. Artinya, perseroan rata-rata mampu menjual barangnya 4 hari lebih cepat pada tahun lalu, dibandingkan dengan periode 2016.
![]() |
Hanya saja, jika dibandingkan dengan rerata industri (per 2017) yang hanya 36 hari, angka tersebut masih lebih lama. Berdasarkan tren jangka menengah, kenaikan perputaran inventori Astra pada tahun lalu juga masih lebih rendah dibandingkan dengan posisi 2013 yang kala itu mencapai 34 hari.
Dari sisi likuiditas, perseroan mencatatkan lonjakan kewajiban perseroan ke level tertinggi setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Jumlah liabilitas jangka pendek naik Rp 9,64 triliun, menjadi Rp 98,72 triliun pada tahun lalu. Pada 2013, liabilitas jangka pendek perseroan hanya senilai Rp 71,14 triliun.
Berdasarkan pengukuran terhadap rasio cepat (quick ratio), likuiditas perseroan turun tipis menjadi 1,03 pada tahun lalu, tetapi masih di atas rerata industri sebesar 0,99%. Artinya, pada tahun lalu perseroan memiliki aset yang bisa dicairkan secara cepat senilai 1,03 perak untuk tiap 1 perak utang jangka pendeknya.
![]() |
Rasio cepat menunjukan kemampuan perusahaan dalam memenuhi, kewajiban atau membayar utang lancar (utang jangka pendek) dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan inventori. Rule of thumb (aturan jamak) yang diikuti untuk standar minimal rasio cepat adalah 1,5 kali.
Meski laba bersih tahun lalu menguat, tetapi secara fundamental Astra masih menghadapi tantangan berupa persaingan ketat di sektor otomotif hingga berujung pada kenaikan inventori. Di sisi lain, kewajiban jangka pendek justru meningkat-meski masih dalam skala yang belum membahayakan.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan belum terlihatnya pemulihan konsumsi rumah tangga, kombinasi faktor-faktor tersebut membuat daya tarik saham Astra sedikit tertekan sepanjang tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Kinerja Q1-2020 Emiten RI Bakal Ambles, Q2 Lebih Parah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular