
Benarkah Harga Aset Keuangan Sudah Mengarah Bubble?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 March 2018 13:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menilai koreksi di pasar tengah terjadi di pasar saham merupakan hal yang wajar. Pasalnya, kenaikan harga aset yang terjadi sebelumnya sudah terlalu kencang dan memang harus ada koreksi agar tidak menjadi penggelembungan nilai aset (bubble).
"Ini cenderung mengarah ke bubble. Hanya tinggal menunggu waktu untuk koreksi," ujar Doddy Zulverdi, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, dalam jumpa pers di gedung BI, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Memang, bursa saham dan obligasi terus-menerus membukukan penguatan pada 2 tahun terakhir. Namun, benarkah sudah mengarah ke bubble?
Pasar saham Indonesia memang sudah relatif mahal jika dibandingkan dengan bursa saham negara-negara tetangga. Mengutip Reuters, saat ini price-to-earnings ratio (PER) IHSG adalah sebesar 19,03, lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia (16,86), Thailand (17,31), dan China (14,96). Namun, PER IHSG masih lebih rendah jika dibandingkan dengan India (21,8) dan Filipina (22,36).
Kenaikan IHSG yang kelewat kencang memang menjadi salah satu penyebab tingginya valuasi IHSG. Pada tahun 2017 misalnya, penguatan IHSG yang sebesar 19,99% merupakan yang terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam (48,03%) dan Filipina (25,11%). Kenaikan IHSG salah satunya dipicu oleh pemberian peringkat layak investasi (investment-grade) oleh Standard & Poor’s/S&P yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar.
Menjelang akhir tahun, giliran Fitch Ratings yang menganjar Indonesia dengan kenaikan peringkat surat utang. Kala itu, Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.
Walaupun diimbangi dengan kenaikan peringkat surat utang yang mengindikasikan tingkat resiko yang lebih rendah, PER dari IHSG yang sudah relatif tinggi menandakan bahwa memang valuasi IHSG sudah relatif mahal jika dibandingkan dengan bursa-bursa saham lainnya, terutama di kawasan Asia. Selain pasar saham, pasar obligasi Indonesia terus menunjukkan penguatan yang signifikan dalam 2 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari terus melandainya imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun. Pada pertengahan Januari lalu, nilainya bahkan sempat menyentuh 6,076%, capaian terendah sejak Juni 2013 silam.
Jika melihat selisih (spread) antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi, nilainya juga sudah menyempit. Pada periode 2015-2017, rata-ratanya adalah sebesar 4,38%. Memasuki tahun 2018, dengan asumsi yield tetap pada posisi kemarin sampai dengan akhir tahun (6,61%) dan target inflasi pemerintah sebesar 3,5% tercapai, maka spread akan menyempit menjadi 3,11%.
Spread yang sudah sempit ini tentu menandakan tingginya valuasi yang diberikan pelaku pasar terhadap obligasi pemerintah Indonesia. Masalahnya, resiko yang membayangi pergerakan inflasi masih tinggi, seperti la nina yang dapat menganggu panen raya dan mendorong naik harga bahan pangan.
Jadi, memang ada kecenderungan bahwa harga aset (saham dan obligasi) sudah mengarah menjadi bubble. Investor patut waspada dalam kondisi ini dengan memperhitungkan banyak faktor sebelum mengambil keputusan, seperti rilis data ekonomi, laporan keuangan perusahaan, dan kondisi politik tanah air.
(hps/hps) Next Article Saham Teknologi AS Dinilai Membentuk "Bubble", tapi..
"Ini cenderung mengarah ke bubble. Hanya tinggal menunggu waktu untuk koreksi," ujar Doddy Zulverdi, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, dalam jumpa pers di gedung BI, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Memang, bursa saham dan obligasi terus-menerus membukukan penguatan pada 2 tahun terakhir. Namun, benarkah sudah mengarah ke bubble?
Kenaikan IHSG yang kelewat kencang memang menjadi salah satu penyebab tingginya valuasi IHSG. Pada tahun 2017 misalnya, penguatan IHSG yang sebesar 19,99% merupakan yang terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam (48,03%) dan Filipina (25,11%). Kenaikan IHSG salah satunya dipicu oleh pemberian peringkat layak investasi (investment-grade) oleh Standard & Poor’s/S&P yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar.
Menjelang akhir tahun, giliran Fitch Ratings yang menganjar Indonesia dengan kenaikan peringkat surat utang. Kala itu, Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.
Walaupun diimbangi dengan kenaikan peringkat surat utang yang mengindikasikan tingkat resiko yang lebih rendah, PER dari IHSG yang sudah relatif tinggi menandakan bahwa memang valuasi IHSG sudah relatif mahal jika dibandingkan dengan bursa-bursa saham lainnya, terutama di kawasan Asia. Selain pasar saham, pasar obligasi Indonesia terus menunjukkan penguatan yang signifikan dalam 2 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari terus melandainya imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun. Pada pertengahan Januari lalu, nilainya bahkan sempat menyentuh 6,076%, capaian terendah sejak Juni 2013 silam.
Jika melihat selisih (spread) antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi, nilainya juga sudah menyempit. Pada periode 2015-2017, rata-ratanya adalah sebesar 4,38%. Memasuki tahun 2018, dengan asumsi yield tetap pada posisi kemarin sampai dengan akhir tahun (6,61%) dan target inflasi pemerintah sebesar 3,5% tercapai, maka spread akan menyempit menjadi 3,11%.
Spread yang sudah sempit ini tentu menandakan tingginya valuasi yang diberikan pelaku pasar terhadap obligasi pemerintah Indonesia. Masalahnya, resiko yang membayangi pergerakan inflasi masih tinggi, seperti la nina yang dapat menganggu panen raya dan mendorong naik harga bahan pangan.
Jadi, memang ada kecenderungan bahwa harga aset (saham dan obligasi) sudah mengarah menjadi bubble. Investor patut waspada dalam kondisi ini dengan memperhitungkan banyak faktor sebelum mengambil keputusan, seperti rilis data ekonomi, laporan keuangan perusahaan, dan kondisi politik tanah air.
(hps/hps) Next Article Saham Teknologi AS Dinilai Membentuk "Bubble", tapi..
Most Popular