Jakarta, CNBC Indonesia - Isu bursa saham Amerika Serikat (AS) mengalami bubble sedang mengemuka belakangan ini, setelah mencetak rekor berkali-kali di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Isu tersebut tentunya memicu kecemasan akan terjadinya crash di pasar saham, tidak hanya Wall Street, tetapi juga di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Maklum saja, Wall Street merupakan kiblat bursa saham dunia.
Namun, pendapat berbeda diberikan oleh Capital Economic dalam Asset Allocation Update edisi Januari 2021. Dalam laporan tersebut Capital Economic mengatakan meski ada tanda jelas ekses spekulatif di beberapa pasar tertentu, seperti Bitcoin misalnya, tetapi ini bukan merupakan fase akhir bubble di aset berisiko secara umum.
Ada 3 hal yang mendasari pandangan tersebut, yang pertama Capital Economic berhati-hati menyimpulkan penguatan ekstrim beberapa saham sebagai bubble di pasar saham secara umum.
Yang kedua, level risk-free rate (tingkat pengembalian bebas risiko) saat ini lebih rendah ketimbang sebelumnya, yang berarti valuasi bursa saham saat ini lebih tinggi ketimbang rata-rata jangka panjangnya.
Capital Economic melihat valuasi indeks S&P 500 dengan imbal hasil obligasi (Treasury) saat ini relatif tidak merenggang. Hal tersebut sangat berbeda dibandingkan sebelum tahun 1929 dan ketika terjadi dotcom bubble di tahun 2.000 yang akhirnya memicu crash.
 Foto: Capital Economics |
Yang ketiga, Capital Economic tidak melihat adanya leverage atau ketidakseimbangan keuangan sektor swasta di AS seperti yang menyertai bubble sistemik pada masa lalu.
Berdasarkan sejarah menurut Capital Economic, bubble sistemik di masa lalu dikaitkan dengan kenaikan dan tingginya leverage. Dalam pasar finansial, leverage membuat buying power lebih besar, sehingga investor mampu membeli aset berisiko ketika harga sedang meroket. Penggunaan leverage juga membuat harga suatu aset lebih tidak stabil.
Kemudian dari sisi keseimbangan keuangan, neraca sektor swasta di AS saat ini juga berbeda ketimbang dotcom bubble atau krisis finansial global. Saat itu, neraca sektor swasta AS dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) negatif. Sementara pada saat ini, justru positif.
 Foto: Refinitiv |
Capital Economic melihat hal tersebut terjadi akibat pengurangan belanja, tentunya akibat menurunnya aktivitas bisnis, serta stimulus fiskal jumbo yang dikeluarkan pemerintah AS yang membantu neraca sektor swasta AS.
Meski demikian, Capital Economic mengatakan tidak menutup kemungkinan bubble akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Tetapi untuk saat ini, aset-aset berisiko diprediksi masih akan menguat, sebab vaksinasi massal sudah dimulai sehingga pembatasan sosial perlahan akan dilonggarkan dan perekonomian berputar lebih kencang.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Stimulus Fiskal Bikin Wall Street jadi Bubble
Analis dari Bank of America (BofA) yang dipimpin Michael Harnett dalam sebuah catatan memperingatkan kebijakan pemerintah saat ini telah membentuk bubble di Wall Street.
"Kebijakan pemerintah AS mendorong terjadinya bubble di Wall Street. Ketika seseorang ingin tetap kaya bertindak seperti orang yang ingin kaya, hal tersebut menunjukkan aksi spekulatif," kata Harnett.
Harnett memprediksi Wall Street akan mencapai puncak di kuartal I-2020, dan indikator Bull & Bear BofA menunjukkan "sinyal jual".
Hal senada diungkapkan investor legendaris Jeremy Grantham saat diwawancara Bloomberg mengatakan jika Presiden AS, Joseph 'Joe' Biden mengucurkan stimulus fiskal lagi senilai US$ 1,9 triliun maka hal tersebut akan memompa bubble di Wall Street.
Dalam stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, Biden berencana memberikan batuan langsung tunai (BLT) senilai US$ 1.400 per orang.
Pendiri GMO Asset Management tersebut mengatakan "sad truth" jika stimulus fiskal US$ 2 triliun yang digelontorkan di bulan Maret 2020 lalu tidak memicu kenaikan belanja juga produksi, tetapi justru masuk ke pasar saham.
"Jika stimulus sebesar yang pemerintah katakan, itu akan membuat pasar mencapai puncak, dan mencetak rekor tertinggi. Kita akan punya uang tambahan selama beberapa pekan, beberapa pekan untuk masuk ke pasar, dan kemudian kemerosotan yang spektakuler," kata Grantham, sebagaimana dilansir Business Insider, Minggu (24/1/2021).
Grantham sudah lama memperingatkan bubble yang terjadi di Wall Street. Ia mengatakan valuasi saat ini ekstrim, harga saham yang meroket, serta "perilaku investor spekulatif" menunjukkan pasar saham dalam kondisi bubble, bahkan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dikatakan mungkin tidak mampu menghentikan kemerosotan.
"Ketika anda mencapai level super antusias, bubble selalu terjadi, tanpa pengecualian. Dan akan pecah dalam hitungan bulan, bukan tahun" katanya.
Sementara itu survei dari E-Trade Financial Survey Morgan Stanley menunjukkan mayoritas investor melihat pasar saham AS sudah mengalami bubble atau sudah mendekati.
Namun yang menarik, meski melihat Wall Street sudah bubble, tetapi para investor tersebut tetap masih akan berinvestasi di saham, dan memprediksi masih akan ada kenaikan di kuartal I-2021, serta menaikkan toleransi risiko mereka.
Survei tersebut dilakukan pada periode 1 - 7 Januari, terhadap investor miliuner yang memiliki akun dengan nilai US$ 1 juta atau lebih di perusahaan sekuritas. Selain itu survei juga dilakukan lebih luas terhadap investor dengan nilai akun setidaknya US$ 10.000.
Hasilnya, sebanyak sebanyak 64% investor miliuner masih bullish terhadap pasar saham meski melihat sudah terjadi bubble. Persentase tersebut malah meningkat dibandingkan kuartal IV-2020 lalu sebesar 55%. Sementara itu untuk investor yang lebih luas dengan nilai akun setidaknya US$ 10.000, sebesar 57%.
Beberapa faktor yang membuat investor masih bullish adalah pemulihan ekonomi, vaksinasi massal yang sudah di mulai, serta stimulus fiskal yang akan digelontorkan Presiden Biden.
"Ada pengakuan secara luas mengenai membaiknya perekonomian, dan tanda-tanda yang mendukung penguatan pasar," kata Mike Lowengart, kepala investasi unit capital management E-Trade Financial, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (18/1/2021)
TIM RISET CNBC INDONESIA