
Alert! Orangutan Terancam Punah & Kelaparan Gegara Corona
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
10 May 2020 13:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona atau covid-19 bukan hanya mengacam kehidupan manusia, tapi juga satwa di Indonesia. Adanya virus corona mengancam orangutan tidak bisa kembali ke habitat alamnya di hutan.
CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Jamartin Sihite mengatakan, ratusan orangutan terpaksa harus tinggal lebih lama di pusat rehabilitasi. Padahal seharusnya beberapa individu orangutan itu sudah bisa kembali ke hutan, rumah alaminya.
"Rilis orangutan dihentikan terlebih dahulu selama covid-19 ini. Jadi selama wabah covid-19 ini kami tidak akan melepasliarkan orangutan. Orangutan yang sudah bisa lepas liar itu, mohon maaf mereka harus terpaksa bertahan di kandang lebih lama," kata Jamartin kepada CNBC Indonesia, Sabtu (9/5/2020).
Orangutan adalah hewan kera besar yang memiliki DNA 97% nyaris sama seperti manusia. Potensi penularan virus dari manusia ke orangutan pun sangat besar. Namun, BOSF tidak bisa serta merta meniadakan kontak fisik antara orangutan dan manusia.
Bagaimana pun orangutan di pusat rehabilitasi butuh manusia untuk merawatnya. mengigat kebutuhan pakan dan perawatan sehar-hari mereka masih perlu tenaga manusia, entah itu tenaga medis atau perawat orangutan.
"BOSF dengan cepat menutup pintu kami dari segala jenis kunjungan dan bahkan menghentikan semua staf yang bertukar antar program. Kami menerapkan prosedur yang lebih ketat," tutur Jamartin.
Dua pusat rehabilitasi yang dikelola BOSF harus ditutup atau tidak bisa dikunjungi siapa pun, kecuali para petugas. Baik itu Pusat Rehabilitasi BOSF Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah dan Pusat Rehabilitasi BOSF Samboja Lestari di Kalimantan Timur. Sudah dua bulan kedua pusat rehabiitasi Orangutan Kalimantan itu ditutup.
"Karena DNA orangutan itu 97% lebih kurang lebih sama dengan manusia, artinya proses penularan hampir sedikit lebih mudah. Sementara kita tidak tahu seberapa mematikan virus ini ke orangutan. Di manusia butuh 14 hari. Di orangutan kita belum tau," kata Jamartin melanjutkan.
Ada 430 Orangutan Terancam Kelaparan
Bukan hanya tidak bisa kembali ke hutan, 430 orangutan di dua Pusat Rehabilitasi yang dikelola BOSF juga terancam kelaparan. Pusat Rehabilitasi yang kini biasanya mendatangkan pundi-pundi dari para relawan, kini pemasukan pun terhenti.
Jamarti mengatakan, sebagian besar kegiatan sukarelawan, pengunjung, dan penggalangan dana kepada BOSF telah ditangguhkan tanpa batas waktu. Hal ini menghentikan aliran pendapatan utama dan membahayakan kelanjutan kegiatan operasional BOSF dalam merawat orangutan.
"Pusat rehabilitasi harus menghadapi masalah menipisnya dana dan meningkatnya biaya. Setiap orangutan dan staf harus diuji dan diperlakukan secara ketat sebagai objek yang dipantau. Biaya pasti akan meroket, atau bahkan terjadinya potensi kematian satwa di pusat rehabilitasi," ujar Jamartin.
Jamartin pun menceritakan, setiap satu individu orangutan, setidaknya membutuhkan kurang lebih Rp 35 juta per tahun untuk merawat orangutan.
Belum lagi, biaya operasional yang cukup tinggi untuk merawat orangutan terus melonjak seperti masker, cairan pembersih tangan, dan kebutuhan dasar lain bagi perawat satwa.
Sayangnya, kata Jamartin, pemerintah sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam memiliki orangutan tidak begitu memiliki andil besar dalam menyalamatkan satwa yang dilindungi UU Konsevrasi No. 5 Tahun 1990 ini.
"Pemerintah sebenarnya sudah mengalokasikan hutan buat konservasi orangutan. Tapi, bantuan langsung secara financial tidak ada. Karena aturan di negeri ini, tidak memungkinkan pemerintah untuk memberikan APBN kepada NGO [Non Government Organization]," kata Jamartin.
Kendati demikian, Jamartin pun optimistis bahwa pandemi covid-19 ini akan segera berakhir, dan dirinya tidak akan mungkin untuk meninggalkan ke-430 orangutan yang sedang dirawatnya.
Jamartin percaya bahwa dia bersama para seluruh NGO yang lain yang tengah berjuang merawat satwa, tidak akan pernah lelah berjuang menyuarakan hidup para satwa yang tidak bisa bersuara.
"Apakah kita akan meninggalkan orangutan ini mati kelaparan? tidak. Kami akan tetap berjuang untuk orangutan dan tidak meninggalkan mereka," kata Jamartin menutup obrolannya.
(gus) Next Article Begini Kondisi Kasus Covid di Indonesia setelah PPKM Dicabut
CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Jamartin Sihite mengatakan, ratusan orangutan terpaksa harus tinggal lebih lama di pusat rehabilitasi. Padahal seharusnya beberapa individu orangutan itu sudah bisa kembali ke hutan, rumah alaminya.
"Rilis orangutan dihentikan terlebih dahulu selama covid-19 ini. Jadi selama wabah covid-19 ini kami tidak akan melepasliarkan orangutan. Orangutan yang sudah bisa lepas liar itu, mohon maaf mereka harus terpaksa bertahan di kandang lebih lama," kata Jamartin kepada CNBC Indonesia, Sabtu (9/5/2020).
Bagaimana pun orangutan di pusat rehabilitasi butuh manusia untuk merawatnya. mengigat kebutuhan pakan dan perawatan sehar-hari mereka masih perlu tenaga manusia, entah itu tenaga medis atau perawat orangutan.
"BOSF dengan cepat menutup pintu kami dari segala jenis kunjungan dan bahkan menghentikan semua staf yang bertukar antar program. Kami menerapkan prosedur yang lebih ketat," tutur Jamartin.
Dua pusat rehabilitasi yang dikelola BOSF harus ditutup atau tidak bisa dikunjungi siapa pun, kecuali para petugas. Baik itu Pusat Rehabilitasi BOSF Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah dan Pusat Rehabilitasi BOSF Samboja Lestari di Kalimantan Timur. Sudah dua bulan kedua pusat rehabiitasi Orangutan Kalimantan itu ditutup.
"Karena DNA orangutan itu 97% lebih kurang lebih sama dengan manusia, artinya proses penularan hampir sedikit lebih mudah. Sementara kita tidak tahu seberapa mematikan virus ini ke orangutan. Di manusia butuh 14 hari. Di orangutan kita belum tau," kata Jamartin melanjutkan.
Ada 430 Orangutan Terancam Kelaparan
Bukan hanya tidak bisa kembali ke hutan, 430 orangutan di dua Pusat Rehabilitasi yang dikelola BOSF juga terancam kelaparan. Pusat Rehabilitasi yang kini biasanya mendatangkan pundi-pundi dari para relawan, kini pemasukan pun terhenti.
Jamarti mengatakan, sebagian besar kegiatan sukarelawan, pengunjung, dan penggalangan dana kepada BOSF telah ditangguhkan tanpa batas waktu. Hal ini menghentikan aliran pendapatan utama dan membahayakan kelanjutan kegiatan operasional BOSF dalam merawat orangutan.
"Pusat rehabilitasi harus menghadapi masalah menipisnya dana dan meningkatnya biaya. Setiap orangutan dan staf harus diuji dan diperlakukan secara ketat sebagai objek yang dipantau. Biaya pasti akan meroket, atau bahkan terjadinya potensi kematian satwa di pusat rehabilitasi," ujar Jamartin.
Jamartin pun menceritakan, setiap satu individu orangutan, setidaknya membutuhkan kurang lebih Rp 35 juta per tahun untuk merawat orangutan.
Belum lagi, biaya operasional yang cukup tinggi untuk merawat orangutan terus melonjak seperti masker, cairan pembersih tangan, dan kebutuhan dasar lain bagi perawat satwa.
Sayangnya, kata Jamartin, pemerintah sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam memiliki orangutan tidak begitu memiliki andil besar dalam menyalamatkan satwa yang dilindungi UU Konsevrasi No. 5 Tahun 1990 ini.
"Pemerintah sebenarnya sudah mengalokasikan hutan buat konservasi orangutan. Tapi, bantuan langsung secara financial tidak ada. Karena aturan di negeri ini, tidak memungkinkan pemerintah untuk memberikan APBN kepada NGO [Non Government Organization]," kata Jamartin.
Kendati demikian, Jamartin pun optimistis bahwa pandemi covid-19 ini akan segera berakhir, dan dirinya tidak akan mungkin untuk meninggalkan ke-430 orangutan yang sedang dirawatnya.
Jamartin percaya bahwa dia bersama para seluruh NGO yang lain yang tengah berjuang merawat satwa, tidak akan pernah lelah berjuang menyuarakan hidup para satwa yang tidak bisa bersuara.
"Apakah kita akan meninggalkan orangutan ini mati kelaparan? tidak. Kami akan tetap berjuang untuk orangutan dan tidak meninggalkan mereka," kata Jamartin menutup obrolannya.
(gus) Next Article Begini Kondisi Kasus Covid di Indonesia setelah PPKM Dicabut
Most Popular