Bunuh 7 Juta Orang Setahun, Polusi Lebih Bahaya dari Corona?

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
25 February 2020 16:54
Polusi udara merupakan pembunuh diam-diam dan berbahaya
Foto: Jakarta (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak banyak yang sadar bahwa polusi udara kini semakin menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan manusia. Hal tersebut pun disertai  dengan adanya temuan bahwa 90% populasi global saat ini menghirup udara yang tidak aman. 


Data terbaru yang dikumpulkan oleh IQAir, yang diterbitkan dalam 2019 World Air Quality Report mengungkap bahwa ada peringkat kota-kota di dunia yang paling tercemar, serta membeberkan perubahan konsentrasi partikulat PM 2.5 di seluruh dunia sepanjang 2019.  
 
Dalam laporan global yang diterbitkan hari ini, IQAir menyoroti bahwa tingkat polusi udara yang meningkat sepanjang tahun lalu sebagai akibat dari perubahan iklim, seperti badai pasir, kebakaran hutan, dan polusi akibat urbanisasi kota yang sangat cepat seperti yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. 


Meski telah ada beberapa inovasi infrastruktur dalam pemantauan kualitas udara secara global, namun di sisi lain masih ada jurang yang besar dalam akses tentang data polusi udara di seluruh dunia.
 
"Sementara virus corona baru sekarang mendominasi berita utama internasional, polusi udara telah menjadi pembunuh dalam senyap yang menyebabkan hampir 7 juta kematian per-tahunnya. Dengan mengumpulkan dan memvisualisasikan data dari ribuan stasiun pemantauan kualitas udara, 2019 World Air Quality Report ini memberikan konteks baru mengenai ancaman kesehatan lingkungan utama di dunia," kata CEO IQAir, Frank Hammes.


 
Sementara itu, kebakaran hutan dan praktik pembakaran lahan terbuka memiliki dampak besar pada kualitas udara kota-kota dan negara-negara di seluruh dunia, termasuk di antaranya Singapura, Australia, Indonesia, Brasil, Kuala Lumpur, Bangkok, Chiang Mai, dan Los Angeles.


 Penggurunan dan badai pasir mempunyai peran besar dalam kualitas udara yang buruk di Timur Tengah dan wilayah China barat.
 
Populasi yang kian membesar di seluruh dunia saat ini tidak diikuti dengan kemudahan mendapatkan akses mengenai data polusi udara dalam real-time, khususnya di Afrika dan Timur Tengah. Meningkatnya jumlah warga dunia dan LSM membuat terjadinya penyebaran sensor kualitas udara yang murah untuk mengisi kesenjangan data di kawasan tersebut. 

Upaya itu berdampak positif karena data kualitas udara publik kini tersedia untuk pertama kalinya di Angola, Bahama, Kamboja, Kongo, Mesir, Ghana, Latvia, Nigeria dan Suriah.
 
Data kualitas udara 2019 menunjukkan indikasi yang jelas bahwa perubahan iklim dapat secara langsung meningkatkan risiko paparan polusi udara, melalui peningkatan frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan badai pasir. 

Demikian pula yang terjadi di banyak wilayah ketika peningkatan polutan PM2.5 dan gas rumah kaca yang terkait dengan perubahan iklim beberapa di antaranya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara.
 
"Sementara pemantauan kualitas udara meningkat, kurangnya data kualitas udara di sebagian besar dunia menimbulkan masalah serius. Karena apa yang tidak diukur tidak dapat dikelola," ujar Hammes.
 
Hammes menambahkan, bahwa daerah-daerah yang kekurangan informasi kualitas udara diperkirakan menjadi daerah dengan polusi udara paling parah di dunia, yang artinya dapat menempatkan populasi besar di satu wilayah dalam keadaan berbahaya. 

Misalnya, Afrika benua dengan 1,3 miliar orang saat ini hanya memiliki kurang dari 100 stasiun pemantauan yang membuat data PM2.5 bisa diakses publik dalam waktu nyata.
 
"Lebih banyak data kualitas udara dalam waktu nyata dapat memicu warga dan pemerintah membuat keputusan yang lebih baik, yang nantinya mampu meningkatkan kehidupan jutaan orang hingga beberapa dekade ke depan," papar Hammes.

[Gambas:Video CNBC]



 
(gus) Next Article Kemenhub: Tempat Parkir Sepeda Jangan Ditempatkan di Basement

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular