
Film Joker & Kesadaran akan Kesehatan Mental di Publik
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
09 October 2019 20:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Film Joker yang dibintangi oleh Joaquin Rafael Phoenix rupanya mulai meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan mental di publik. Dalam film tersebut, Joaquin memerankan karakter komedian Arthur Fleck yang 'gagal' dalam kehidupan sosialnya.
Terisolasi, diintimidasi dan diabaikan oleh masyarakat, Fleck yang mengidap penyakit mental mulai berubah menjadi dalang kriminal yang dikenal sebagai Joker.
Film yang disutradarai Todd Phillips ini tidak pernah menyebutkan secara spesifik penyakit mental apa yang diderita oleh Fleck. Namun dilansir dari People, salah satu penyakit yang menyebabkan Fleck tertawa tak terkendali pada waktu yang tidak tepat adalah gangguan aktual yang disebut Pseudobulbar Affect atau PBA.
Menurut organisasi Mayo Clinic, kondisi tersebut menyebabkan tawa atau tangisan yang tidak terkendali dan biasanya bermanifestasi pada orang yang menderita ALS, MS, kondisi neurologis atau cedera otak traumatis.
Episode ini dapat berlangsung selama beberapa menit pada suatu waktu, dan dapat menyebabkan rasa malu, isolasi sosial, kesusahan, dan depresi. Dalam Joker, ledakan Fleck dipicu ketika ia marah, malu, terkejut atau gugup dalam situasi publik.
Jika Fleck berubah menjadi jahat, banyak pengidap penyakit mental yang memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka.
Menurut data dari WHO, dalam rentang usia 15 - 29 tahun, satu orang setiap 40 detik dapat melakukan bunuh diri dan upaya bunuh diri. Jika dijumlah, tiap tahunnya hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri dan lebih dari 20 dengan upaya bunuh diri.
Bunuh diri terjadi di semua wilayah di dunia. Faktanya, 79% dari bunuh diri global terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Sementara hubungan antara bunuh diri dan gangguan mental (khususnya, depresi dan gangguan penggunaan alkohol) biasanya terjangkit oleh orang-orang yang sudah mapan, dan banyak yang bunuh diri secara impulsif di saat-saat krisis.
Faktor-faktor lebih lanjut termasuk pengalaman kehilangan, kesepian, diskriminasi, putusnya hubungan, masalah keuangan, sakit kronis dan penyakit, kekerasan, pelecehan, dan konflik atau keadaan darurat kemanusiaan lainnya juga menjadi risiko terkuat untuk upaya bunuh diri.
Tentu bunuh diri dan upaya bunuh diri memiliki efek dan dampak yang besar bagi keluarga, teman, kolega, komunitas, dan masyarakat. Beruntung, bunuh diri oleh para pengidap penyakit mental bisa dicegah. Banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri di tingkat individu, komunitas dan nasional. WHO merekomendasikan empat intervensi utama yang telah terbukti efektif.
Pertama adalah membatasi akses ke sarana untuk upaya bunuh diri, membantu kaum muda mengembangkan keterampilan untuk mengatasi tekanan hidup, identifikasi dan manajemen awal orang-orang yang berpikir tentang bunuh diri atau yang telah melakukan upaya bunuh diri.
Menjaga kontak tindak lanjut dalam jangka pendek dan panjang kepada penderita juga direkomendasikan. Juga jangan lupa untuk bekerja dengan media guna memastikan pelaporan bunuh diri yang bertanggung jawab.
Secara kolektif, pendekatan WHO untuk pencegahan bunuh diri dikenal sebagai LIVE LIFE (kepemimpinan, intervensi, visi, dan evaluasi). Pendekatan ini adalah dasar untuk pencegahan bunuh diri skala nasional.
Terisolasi, diintimidasi dan diabaikan oleh masyarakat, Fleck yang mengidap penyakit mental mulai berubah menjadi dalang kriminal yang dikenal sebagai Joker.
Menurut organisasi Mayo Clinic, kondisi tersebut menyebabkan tawa atau tangisan yang tidak terkendali dan biasanya bermanifestasi pada orang yang menderita ALS, MS, kondisi neurologis atau cedera otak traumatis.
Episode ini dapat berlangsung selama beberapa menit pada suatu waktu, dan dapat menyebabkan rasa malu, isolasi sosial, kesusahan, dan depresi. Dalam Joker, ledakan Fleck dipicu ketika ia marah, malu, terkejut atau gugup dalam situasi publik.
Jika Fleck berubah menjadi jahat, banyak pengidap penyakit mental yang memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka.
Menurut data dari WHO, dalam rentang usia 15 - 29 tahun, satu orang setiap 40 detik dapat melakukan bunuh diri dan upaya bunuh diri. Jika dijumlah, tiap tahunnya hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri dan lebih dari 20 dengan upaya bunuh diri.
Bunuh diri terjadi di semua wilayah di dunia. Faktanya, 79% dari bunuh diri global terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Sementara hubungan antara bunuh diri dan gangguan mental (khususnya, depresi dan gangguan penggunaan alkohol) biasanya terjangkit oleh orang-orang yang sudah mapan, dan banyak yang bunuh diri secara impulsif di saat-saat krisis.
Faktor-faktor lebih lanjut termasuk pengalaman kehilangan, kesepian, diskriminasi, putusnya hubungan, masalah keuangan, sakit kronis dan penyakit, kekerasan, pelecehan, dan konflik atau keadaan darurat kemanusiaan lainnya juga menjadi risiko terkuat untuk upaya bunuh diri.
Tentu bunuh diri dan upaya bunuh diri memiliki efek dan dampak yang besar bagi keluarga, teman, kolega, komunitas, dan masyarakat. Beruntung, bunuh diri oleh para pengidap penyakit mental bisa dicegah. Banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri di tingkat individu, komunitas dan nasional. WHO merekomendasikan empat intervensi utama yang telah terbukti efektif.
Pertama adalah membatasi akses ke sarana untuk upaya bunuh diri, membantu kaum muda mengembangkan keterampilan untuk mengatasi tekanan hidup, identifikasi dan manajemen awal orang-orang yang berpikir tentang bunuh diri atau yang telah melakukan upaya bunuh diri.
Menjaga kontak tindak lanjut dalam jangka pendek dan panjang kepada penderita juga direkomendasikan. Juga jangan lupa untuk bekerja dengan media guna memastikan pelaporan bunuh diri yang bertanggung jawab.
Secara kolektif, pendekatan WHO untuk pencegahan bunuh diri dikenal sebagai LIVE LIFE (kepemimpinan, intervensi, visi, dan evaluasi). Pendekatan ini adalah dasar untuk pencegahan bunuh diri skala nasional.
Pages
Most Popular