
Dahsyatnya Industri Batik RI, Tak Lesu Meski Kena Krisis
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
02 October 2019 19:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Satu dekade lalu, tepatnya 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Pemilihan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober juga berdasarkan keputusan UNESCO yang secara resmi mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. UNESCO memasukkan batik dalam Daftar Representatif Budaya Tak benda Warisan Manusia. Pengakuan terhadap batik merupakan pengakuan internasional terhadap budaya Indonesia.
Lalu kini, bagaimana kabar batik?
Agus Purwanto dari Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) bidang Diklat dan Pengembangan sekaligus pemilik merek Batik Tiga Putri menjawab hal tersebut. Menurutnya, batik tidak pernah lesu di pasaran.
"Kalau batik itu tidak pernah lesu atau mati sampai kapan pun. Bahkan pada krisis ekonomi 1998, UKM batik tetap berjalan," ujar Agus dalam acara Profit CNBC Indonesia, Rabu (2/10).
Lebih lanjut, Agus mengatakan memang ada saatnya pasar batik naik dan turun, namun hal itu biasa dalam perjalanan membangun sebuah usaha.
"Tapi untuk secara global, batik tetap stabil bahkan cenderung naik dengan penggemar yang sangat fanatik," lanjutnya.
Menurut Agus, kenaikan pamor batik terjadi ketika UNESCO menetapkannya sebagai budaya warisan 10 tahun silam. "Itu tinggi sekali naiknya. Kemudian turun sedikit-sedikit," imbuhnya.
Kini keadaannya berbanding terbalik. Jika saat diumumkan oleh UNESCO, pamor batik naik sehingga banyak sekali pengusaha yang meraup untung. Sekarang pamor batik tak sementereng 1 dekade silam, namun tren penggunaan batik tidak pernah turun.
"Buktinya sekarang di mall-mall, semua ornamen dari batik ada. Anak-anak muda milenial pun senang mengenakannya, bahkan cenderung naik. Ini terjadi akibat banyaknya acara pameran batik yang diadakan dan diikuti. Sekitar 50% pembeli batik bahkan adalah anak muda," papar Agus.
Namun ketika ditanya mengenai perjalanan batik menjadi industri yang besar, Agus mengatakan hasil kerajinan tangan ini sulit dikategorikan dalam industri besar. "Kalau sudah masuk mass produk, sudah tidak bisa disebut craft lagi," ungkapnya.
Agus menjelaskan jika industri batik besar dalam hal profit atau omzet. "Dari data APPBI, kebutuhan bahan katun, sutra dan sejenisnya mencapai 1,7 triliun untuk bahan dasar saja,"
"Kalau itu diakumulasikan dalam kain, kebutuhan bahan itu sekitar 10-20% dari harga produk. Jadi kalau diakumulasi sekitar Rp 8-9 triliun untuk produksi batik mentah berupa kain, selendang dan lainnya yang tidak termasuk fashion. Dengan Rp 9 triliun itu, saya pikir kita sudah cukup tinggi," tukasnya.
(gus) Next Article Selamat Hari Batik, Ini Sejarah Pesona Kain Batik RI
Pemilihan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober juga berdasarkan keputusan UNESCO yang secara resmi mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. UNESCO memasukkan batik dalam Daftar Representatif Budaya Tak benda Warisan Manusia. Pengakuan terhadap batik merupakan pengakuan internasional terhadap budaya Indonesia.
Agus Purwanto dari Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) bidang Diklat dan Pengembangan sekaligus pemilik merek Batik Tiga Putri menjawab hal tersebut. Menurutnya, batik tidak pernah lesu di pasaran.
"Kalau batik itu tidak pernah lesu atau mati sampai kapan pun. Bahkan pada krisis ekonomi 1998, UKM batik tetap berjalan," ujar Agus dalam acara Profit CNBC Indonesia, Rabu (2/10).
Lebih lanjut, Agus mengatakan memang ada saatnya pasar batik naik dan turun, namun hal itu biasa dalam perjalanan membangun sebuah usaha.
"Tapi untuk secara global, batik tetap stabil bahkan cenderung naik dengan penggemar yang sangat fanatik," lanjutnya.
Menurut Agus, kenaikan pamor batik terjadi ketika UNESCO menetapkannya sebagai budaya warisan 10 tahun silam. "Itu tinggi sekali naiknya. Kemudian turun sedikit-sedikit," imbuhnya.
Kini keadaannya berbanding terbalik. Jika saat diumumkan oleh UNESCO, pamor batik naik sehingga banyak sekali pengusaha yang meraup untung. Sekarang pamor batik tak sementereng 1 dekade silam, namun tren penggunaan batik tidak pernah turun.
"Buktinya sekarang di mall-mall, semua ornamen dari batik ada. Anak-anak muda milenial pun senang mengenakannya, bahkan cenderung naik. Ini terjadi akibat banyaknya acara pameran batik yang diadakan dan diikuti. Sekitar 50% pembeli batik bahkan adalah anak muda," papar Agus.
Namun ketika ditanya mengenai perjalanan batik menjadi industri yang besar, Agus mengatakan hasil kerajinan tangan ini sulit dikategorikan dalam industri besar. "Kalau sudah masuk mass produk, sudah tidak bisa disebut craft lagi," ungkapnya.
Agus menjelaskan jika industri batik besar dalam hal profit atau omzet. "Dari data APPBI, kebutuhan bahan katun, sutra dan sejenisnya mencapai 1,7 triliun untuk bahan dasar saja,"
"Kalau itu diakumulasikan dalam kain, kebutuhan bahan itu sekitar 10-20% dari harga produk. Jadi kalau diakumulasi sekitar Rp 8-9 triliun untuk produksi batik mentah berupa kain, selendang dan lainnya yang tidak termasuk fashion. Dengan Rp 9 triliun itu, saya pikir kita sudah cukup tinggi," tukasnya.
(gus) Next Article Selamat Hari Batik, Ini Sejarah Pesona Kain Batik RI
Most Popular