
Bingung Saham Blue Chip Bisa ARB? Ini Penjelasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Puluhan saham masuk ke dalam lubang batas auto reject bawah (ARB) sepanjang pekan kemarin. Tidak sedikit juga saham-saham blue chip yang masuk ke dalam jurang ini. Deputy Head of Research MNC Sekuritas, Victoria Venny mengungkapkan hal ini terjadi akibat tidak simetrisnya ketentuan batas penurunan atau ARB serta kenaikan yakni auto reject bawah.
Bursa Efek Indonesia mengatur ARA untuk harga acuan Rp. 50 s/d Rp. 200 sebesar 35%, kemudian >Rp. 200 s/d Rp. 5.000 sebesar 25% serta >Rp 5.000 sebesar 20%. Sedangkan ARB semua di angka batas penurunan 7%. Ketetapan keduanya tidak seimbang atau asimetris.
"Auto Rejection asimetris yang ditetapkan pihak Bursa Efek atau regulator itu kemudian pada 2020 ini ditetapkan untuk menopang kinerja saham agar ngga turun signifikan," kata Venny dalam program Investime CNBC Indonesia, dikutip Senin (1/2/21).
BEI nampaknya belajar dari kejadian di Maret 2020 lalu dimana saham-saham berguguran hampir di batas bawah, yang kala itu masih di angka 25%. Kemudian ini jadi salah satu peluang karena reward lebih besar dari risk
"Sehingga bursa kembali rebound bahkan rebound dua kali lebih cepat dari krisis-krisis sebelumnya, di krisis 2008 dari lowest level ke highest level recovery butuh hampir 1,5 tahun. Di 2020 dengan kebijakan ARB asimetris dimana 7% batas bawah bisa cushion penurunan saham yang lebih dalam lagi," katanya.
Sejalan dengan kebijakan itu, pada perdagangan Kamis pekan lalu ada 12 saham yang masuk daftar top losers karena sebagian besar nyaris menyentuh batas auto reject bawah (ARB) dengan penurunan maksimal 7% dalam sehari. Tertinggi ada Waskita Beton (WSBP), saham -6,99% Rp 266, transaksi Rp 133 M kemudian Bank Agroniaga (AGRO), -6,99% Rp 865, transaksi Rp 432 M serta PP (PTPP), -6,99% Rp 1.730, transaksi Rp 213 M.
"Dengan ARB yang asimetris ada kecenderungan investor cukup nyaman, oh udah ARB 7% aja. Tapi di satu sisi juga selain penurunan saham yang signifikan, beberapa hari selain ada ARB juga maraknya for sell atas saham-saham yang dapat margin call, sehingga saham-saham margin kemarin dimanfaatkan oleh sebagian besar investor ritel untuk pendanaan dan kemudian ketika mereka ngga bisa jual akhirnya di for sell," sebut Venny.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Begini Tips Pilah-pilih Saham Murah tapi Bagus
