RI di Ambang Resesi, Benarkah Cash Is The King?

Rahajeng Kusumo, CNBC Indonesia
15 July 2020 10:23
Melihat Jalanan Ibu Kota Lengang saat Pencegahan Virus Corona. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Melihat Jalanan Ibu Kota Lengang saat Pencegahan Virus Corona. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengingatkan seluruh masyarakat bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami dua krisis. Bukan hanya krisis kesehatan karena virus corona (Covid-19), melainkan juga krisis ekonomi.

"Kita menghadapi masalah kesehatan dan ekonomi yang sangat pelik, seperti juga halnya 215 negara di dunia mengalami hal yang sama," kata Jokowi, Selasa (14/7/2020).

Pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian dunia terpukul, bahkan negara tetangga seperti Singapura telah resmi resesi. Sebagai negara yang ikut merasakan dampak Covid-19, Indonesia pun berpotensi mengalami resesi.

Hal ini terlihat dari proyeksi terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) yang memproyeksikan ekonomi Indonesia akan terkontraksi -0,3%. Padahal sebelumnya IMF memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 0,5% tahun ini.

Resesi didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Pada kuartal I-2020, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 2,97%. Meski menjadi catatan terendah sejak 2001, tetapi itu bisa dicapai saat negara-negara lain mengalami kontraksi. Bahkan China mengalami kontraksi sampai -6,8%.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan ekonomi April-Juni akan turun dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%.

Jika kuartal III-2020 kontraksi kembali terjadi, maka Indonesia secara sah dan meyakinkan akan masuk jurang resesi. Pemerintah sendiri memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2020 berada di kisaran -1% hingga 1,2%. Kemungkinan kontraksi masih ada, sehingga risiko resesi tidak bisa dikesampingkan.

"Secara definisi begitu (resesi). Namun kita berharap kuartal III tidak negatif," ujar Sri Mulyani.

DBS, bank terbesar di ASEAN, juga memperkirakan ekonomi Indonesia bakal minus tahun ini tepatnya di -1%. Kuartal II sepertinya akan menjadi titik nadir, dan kemudian tren pembalikan terjadi mulai paruh kedua 2020.

"Indikator ekonomi seperti ekspor, penjualan ritel, keyakinan konsumen, PMI, impor barang modal, dan sebagainya masih turun pada April dan Mei. Jadi penurunan pada kuartal II sepertinya bakal lumayan dalam, sebelum membaik pada semester II," sebut riset DBS.

Sementara itu, dengan resesi yang dialami Singapura turut membawa dampak negatif bagi Indonesia. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan Benny Soetrisno menyebut ada sejumlah sektor yang bakal terpukul, khususnya investasi. Selama ini Singapura merupakan investor utama di Indonesia.

"Pengertian saya resesi itu yang akan terpukul pertama sektor riil. Mobilitas orang kan dibatasi," katanya.

Selain itu, sektor investasi yang masuk ke Indonesia juga bakal terpukul keras. Investor bakal lebih konservatif dalam menyimpan asetnya. Pada kuartal I-2020, Singapura adalah investor terbesar Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment/FDI).

Ketika Singapura resesi, sangat sulit berharap ada arus modal yang mengalir dari negara tersebut. Akibatnya, investasi sebagai salah satu motor utama pendorong pertumbuhan ekonomi jadi sulit diandalkan.

"Kalau terpukul lembaga keuangannya berarti investasi keluar dia akan berkurang," papar Benny.

Cash Is The King?

Ketidakpastian yang terjadi di pasar global dan ancaman resesi di berbagai negara membuat Investor Warren Buffett justru menahan diri masuk ke pasar saham dan memilih memegang dana tunai menjadi sinyal keruntuhan pasar keuangan dunia.

Para taipan yang dijuluki Greatest Of All Time (GOAT) atau investor kakap ini menjadi penyebab keruntuhan tersebut.

Dalam situasi pasar keuangan dunia seperti sekarang ini, Warren Buffett dinilai seharusnya menyebar uang tunai ke pasar keuangan yang sedang terkoreksi dalam, tetapi kenyataan itu tidak dilakukannya. Tulisan ini diunggah di yahoofinance yang disadur dari The Motley Fool.

Rupanya ada hal yang membuat Buffett menahan diri untuk masuk ke pasar keuangan saat ini, mengingat banyak orang tinggal di rumah karena COVID-19 dan bermain pasar saham.

Para amatiran ini membuat Buffett berpikir market tak sehat karena banyak yang berspekulasi, sesuatu yang tidak ia sukai. Para pedagang saham harian ini banyak membeli saham perusahaan-perusahaan yang tertekan.

Boom nilai perdagangan harian di bursa saat ini memiliki kemiripan dengan gelembung era dotcom yang terjadi pada awal 2000. Buffett mengatakan bahwa investor fokus "bukan pada apa yang akan dihasilkan oleh aset, melainkan pada apa yang akan dibayarkan oleh orang berikutnya."

Gelembung Pecah

Hal yang sama diperlihatkan oleh pemilik klub NBA dan waralaba Dallas Mavericks, Mark Cuban. Dia membagikan apa yang dirasakan Buffett tersebut.

Dia percaya reli pasar saham yang terengah-engah akan berakhir setelah besarnya kehancuran pandemi diketahui. Trader harian menghasilkan uang dengan berpikir bahwa mereka jenius di pasar saham yang sedang naik atau bullish.

Howard Marks, investor miliarder lainnya dan CEO Oaktree Capital di AS, mengatakan orang membeli saham untuk bersenang-senang.

Jangan melihatnya sebagai permainan judi karena perdagangan saham yang dilakukan secara sembrono tidak sehat. Banyak yang berpikir selama era gelembung maraknya dotcom, itu adalah "strategi yang tidak dapat dilewatkan." Gelembung itu akhirnya pecah.

Para miliarder mengingatkan adanya kecenderungan berjudi, bukan berinvestasi. Buffett, Kuba, dan Marks memperingatkan investor untuk tidak terbawa emosi. Sekarang bukan waktunya untuk berspekulasi karena pasar saat ini ibaratnya berdiri di atas es tipis. Siap-siap pecah dan membuat Anda tenggelam.

Ketika saham turun, itu akan memicu aksi jual besar-besaran karena orang akan menarik uang mereka dari pasar.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Begini Cara Warren Buffett Investasi di Tengah Resesi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular