Wawancara Eksklusif

OJK Buka-bukaan Soal Transformasi Bank Digital di RI

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
09 April 2021 16:50
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana
Foto: Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak kurang dari dua bulan lagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan meluncurkan aturan mengenai Peraturan OJK mengenai Bank Umum. Aturan ini, di antaranya akan mengakomodasi bagi pendirian bank digital di tanah air.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana menyebut, dalam aturan ini, regulator tidak akan membeda-bedakan antara bank umum maupun bank digital. Sebab, di dalam UU perbankan kita hanya mengenal dua bank, Bank Umum dan BPR.

"Kami memang sedang menyiapkan rancangan POJK mengenai bank umum, di dalamnya juga akan mengatur pendirian bank baru, termasuk yang ingin mendirikan bank fully digital," ujar Heru, dalam Forum VIP, Digital Bank di CNBC Indonesia, Kamis (8/4/2021).

Gayung bersambut, di tengah regulasi yang disiapkan terbit tersebut, sejumlah bank-bank besar tanah air sudah mengantisipasi jauh-jauh hari memasuki era neo bank, bank yang sepenuhnya tanpa cabang alias full digital. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) misalnya mengakuisisi Bank Royal untuk mendirikan Bank Digital BCA, lalu PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang sebagian sahamnya dimiliki Gojek. Sedangkan beberapa nama lebih dulu masuk di pasar, Digibank oleh DBS Indonesia dan Jenius, besutan Bank BTPN.

Lantas, bagaimana OJK menyikapi perkembangan maupun kesiapan mengenai bank digital di Indonesia, berikut ini petikan wawancaranya dengan CNBC Indonesia:

Bagaimana progres mengenai POJK Bank Digital di Indonesia?

Kami memang sedang menyiapkan rancangan POJK mengenai bank umum, di dalamnya juga akan mengatur pendirian bank baru, termasuk yang ingin mendirikan bank fully digital. OJK tidak mendikotomikan bank digital atau bank umum, di dalam UU perbankan kita hanya mengenal dua bank, Bank Umum dan BPR.

Yang terjadi sekarang, bank tradisional bertransformasi melayani digital, sehingga bank yang fully digital itu belum ada yang kita amati sampai sekarang, beberapa bank sudah melakukan transformasi dari tradisional ke digital, sesuai keinginan nasabah.

Di masa pandemi, kita melihat ada shifting behavior ke digital, tidak lagi transaksi tatap muka, datang ke bank hanya untuk transfer dana atau buka rekening, beberapa bank sudah mengikuti keinginan nasabah mengikuti pelayanan digital.

Sedang kita rancang POJK bank umum, semester I moga moga bisa kita umumkan, strategi kita yang akan ditempuh OJK mengakselerasi digital banking. Pertama, melakukan penguatan tata kelola dan manajemen risiko di teknologi informasi, mendorong penggunanaan IT sebagai game changer.

Kami mengharapkan, bank yang tidak mau move on ke layanan digital pasti akan ditinggalkan nasabahnya. Nasabah menginginkan transaksi lebih mudah menggunakan teknologi, dengan smartphone bisa melakukan apa saja, kira kira itu yang kita inginkan ke depan.

Kesiapan bank Indonesia untuk masuk ke digitalisasi seperti apa?

Mau tidak mau bank harus siap, kebutuhan para nasabah sudah seperti itu, kalau tidak siap akan ditinggalkan nasabah, memang perlu kapasitas permodalan yang lebih kuat, teknologi butuh permodalan lebih besar. Bank Jago misalnya, aturan modal inti minimal Rp 3 triliun, mereka sudah menyiapkan Rp 7 triliun, karena kesiapan transformasi ini butuh permodalan cukup kuat melayani teknologi, butuh modal dan SDM andal bisa melayani lebih baik ke depan.

Di Singapura ada dua jenis bank digital, bagaimana dengan di Indonesia?

Bank itu gak bedakan apakah menjadi bank digital atau bank umum biasa, aturan Undang-undang kita hanya membedakan Bank Umum dan BPR, rancangan POJK bank umum, akan mengatur bagaimana kapasitas permodalan kalau dia akan dirikan fully digital, harus punya tata kelola lebih baik dalam teknologi, kapasitas permodalan harus mencukupi dan model bisnisnya.

Itu yang akan kita atur dan memang dalam pendirian bank baru itu, kita menyaratkan modal bank baru Rp 10 triliun untuk mengantipasi bank melayani layanan digital. Kami sudah melakukan penelitian, kita mendapat kesimpulan, bank yang bisa melayani dengan baik modal intinya Rp 3 triliun sampai Rp 10 triliun. Itu akan kita atur dan sedang kita godok aturannya.

Apa pertimbangan meningkatkan modal inti tersebut?

Kita melakukan penelitian, bank bisa beroperasi efisien dan fully digital, bentangnya Rp 3 triliun sampai Rp 10 triliun, bank eksisting meningkatkan modal inti minimal Rp 3 triliun pada 2022 dan tahun 2023 untuk BPD. Bagi bank eksisting, kalau ingin melakukan transaksi digital, mereka akan mengembangkan permodalannya, seperti saya contohkan, Bank Jago sudah melakukan rights issue Rp 6-7 triliun, artinya kebutuhan layanan yang lebih baik, efisien, melayani nasabah rentangnya memang antara itu, Rp 3 triliun sampai dengan Rp 10 triliun, itu penelitian, kita gak ngarang.

Apa bank asing bisa ajukan lisensi bank digital?

Pendirian bank baru harus berbadan hukum Indonesia, bank asing silakan saja, mereka punya unit sendiri seperti Digibank punya DBS, BTPN punya Jenius, tapi kalau mendirikan bank baru harus berbadan hukum Indonesia. SIlakan, itu boleh.

Masalah yang dikeluhkan sekarang suku bunga kredit bank masih tinggi, apakah bank digital kemugkinan bisa menawarkan suku bunga lebih rendah?

Ya, saya ingin mengatakan, suku bunga itu dibentuk oleh biaya dana atau cost of fund, kedua biaya overhead, premi risiko dan profit marjin yang ingin dicapai, kalau bank digital overhead akan lebih rendah, mereka tidak perlu kantor terlalu banyak.

Premi risiko, bank yang melakukan layanan digital, di dalam mereka memberikan analisa kredit, sudah dengan teknologi, kredit skoring lebih bagus, semua itu lebih efisien, lebih cepat dan tepat. Premi risiko juga bisa ditekan, itu akan membuat suku bunga lebih efisien boleh dikatakan, bisa lebih rendah karena mereka beroperasi lebih efisien, saya percaya banget itu akan bisa lebih bersaing suku bunganya bisa lebih rendah, pasti.

Bagaimana OJK memastikan kepercayaan keamanan transaksi?

Aspek perlindungan nasabah jadi sangat kritikal dalam operasional bank digital, karena hal ini pasti akan menjadi problerm kalau kita tidak mengedukasi nasabahnya. Aspek perlindungan ini dalam POJK akan kita tekankan, bank bisa melakukan keamanan teknologinya.

Masyarakat supaya paham, digitalisasi itu tidak ada masalah keamanan, kita juga ingin memastikan aspek perlindungan nasabah, serangan siber tidak boleh diabaikan. Kita mensyaratkan, aspek keamanan ini tidak boleh dilupakan dan harus diketahui oleh CEO bank yang melakukan pelayanan digital.

BERSAMBUNG KE HALAMAN BERIKUTNYA>>>>>

Investor mau garap bisnis digital, apa upaya OJK memastikan investor bisa komitmen sebagai pemegang saham?

Bisnis perbankan ini bisnis padat modal, bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan, bisnis yang memerlukan trust nasabah, pemegang saham pengendali harus memenuhi aspek integritas dan kelayakan keuangan. Pemegang Saham Pengendali (PSP), tidak boleh mengatakan saya gak punya uang, gak cukup kapasitas permodalan mendukung bank itu.

Kemudian juga, kelanjutan dari aspek bisnis seperti apa kalau jadi PSP suatu bank, kita akan melihat visi bank akan dikembangkan seperti apa ke depan, komitmen PSP mendukung ekonomi kita juga gak boleh dilupakan. Kontribusi bagi negara dan ekonomi akan jadi faktor sangat penting bagaimana mereka bisa memiliki bank di Indonesia.

Sudah berapa banyak Investor yang datang mengajukan bank digital ke OJK?

Kalau kita boleh mengatakan, sebetulnya sudah banyak, melayani digital, karena sudah menjadi keharusan, sudah banyak sekali bankir datang ke kita mengubah strategi bisnisnya untuk melayani secara digital. Kita punya 107 bank umum termasuk bank syariah, 1.600 BPR.

Dari 107 bank tersebut, bank besar sudah mentransformasi dirinya untuk bisa melayani digital, beberapa bank kelas menengah dan kecil sudah juga meminta ijin melayani bank digital. Bank Jago, Bank Digital BCA, Bank Net ingin melakukan transformasi, saya kira, dengan namanya usaha seperti itu, dengan kemampuan mereka, menyadari harus move on, saya gembira, ini akan membuat bank kita lebih efisien.

Perlu berapa banyak bank digital?

Kalau bank bank besar bertransformasi, sudah cukup banget jumlah penduduk kita 280 juta, jumlah bank kita sudah cukup banyak melayani masyarakat, saya sudah melihat bank-bank kita sudah move on, mengarah ke sana.

Lalu, ada berapa bank yang mau berekspektasi mau konsolidasi?

Kita memang sudah mengeluarkan beberapa peraturan mendorong bank melakukan konsolidasi, pertama kita keluarkan aturan modal inti Rp 3 triliun, bagi bank yang belum bisa ke sana bisa mencari partner, supaya bisa merger atau konsolidasi, apakah bank kecil tereliminasi? Tidak, kita membuat kelompok usaha bank, bank kecil yang tidak menambah modal bisa mencari induk usahanya yang menjadi pengampunya, tapi ada bank pengampu lebih besar yang akan memenuhi kebutuhan likuiditas, tambahan modal. Saya ingin memberikan contoh, BCA, mengambil Bank royal dijadikan bank digital BCA. BCA jadi pengampu, dan Bank Royal ditrasnformasikan jadi Bank Digital BCA, itu silakan, kita memberikan ruang seperti itu.

Ada lembaga non bank asing membentuk bank digital, kebijakannya akan sama?

Saya memandang tidak perlu ada regulasi lagi, semua pihak boleh menjadi pemilik atau mengambil alih, persyaratan menjadi pemilik kan gak mudah, ada fit and proper, integrity PSP, kemampuan kelayakan mendukung bisnis bank ke depan menjadi sangat penting, dan komitmen pemilik memberikan kontribusi bagi perekonomian kita, saya kira prinsip itu akan kita pertahankan.

Kita nanti RPOJK bank umum mengubah beberapa hal, modal inti bank baru, kita akan segera keluarkan semester I ini, sudah kita lakukan rule making rule, minta pendapat asosiasi, minta pendapat dari masyarakt, regulator lain, kita sudah siap semester I ini kita keluarkan aturannya.

Peluncuran layanan digital kapan?

Sudah boleh dilakukan mulai sekarang, tapi yang POJK yang keluar akan mempertegas tata kelola, keamanan data nasabah, mengatasi cyber crime, kita ingin menegaskan saja, aturan baru bagaimana bank yang ingin melakukan layanan digital ada aturan yang lebih tegas melindungi keamanan nasabah dan bank itu sendiri. Tapi, kapan mereka bisa melayani, sekarang sudah boleh itu. Untuk pendirian full digital banking, yang mendirikan baru, mereka harus mengikuti persyaratan modal itu.

Dari penilaian OJK, sudah berapa yang siap?

Bank-bank besar termasuk beberapa bank kecil sudah siap sebetulnya melakukan pelayanan digital, saya menganggap dan saya amati mereka sudah siap, dalam POJK kita akan mempertegas aturan-aturannya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular