Psikolog Respons Aturan Baru RI Batasi Medsos Buat Anak
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah negara diketahui menerbitkan aturan soal pembatasan usia menggunakan media sosial. Salah satunya adalah Indonesia yang menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) pada Maret lalu.
Aturan itu mengelompokkan akses konten berdasarkan usia. Misalnya di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang aman seperti edukasi atau platform anak.
Usia 13-15 tahun bisa mengakses platform yang dinilai berisiko rendah hingga sedang, sementara 16-17 tahun bisa menggunakan platform berisiko tinggi dengan pengawasan orang orang tua. Terakhir remaja berusia 18 tahun ke atas boleh mengakses seluruh platform secara independen.
Terkait aturan pembatasan usia penggunaan media sosial, Psikolog dan Ketua Bidang E (Humas, Media, dan Edukasi Masyarakat), Samanta Elsener mengatakan sebagai psikolog mendukung hal tersebut. Karena tidak ingin anak-anak terpapar konten negatif yang pada akhirnya membahayakan.
"Kita sebagai psikolog sangat mendukung. Karena kita enggak mau anak-anak remaja ini semakin terpapar lagi. Konten-konten negatif yang bisa membahayakan mereka dan teman-temannya mereka. Atau masyarakat yang lebih luas lagi," jelas Samanta, di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Dia mengingatkan usia remaja awal memiliki perkembangan sangat pesat. Kelompok usia ini disebutnya memang rentan terpapar konten negatif di internet.
"Jadi sangat baik sih karena memang di periode remaja awal itu kan perkembangannya mereka sangat pesat sekali ya, hormonal, otaknya mereka juga strukturnya ada perubahan-perubahan sedikit gitu. Sehingga mereka sangat rentan untuk terpapar konten-konten," ungkapnya.
Waktu Ideal Bermain Gadget
Saat ditanya apa cara paling tepat untuk orang tua agar anak-anak tak terkena konten negatif, dia menegaskan pentingnya literasi digital. Supaya para orang tua bisa mengajarkan anak bisa beraktivits di internet dengan aman.
Salah satunya mengetahui cara algoritma bekerja dan agar video yang sama tak muncul lagi di akun kita. Berikutnya tugas orang tua memberitahu kepada anak-anak pengetahuan itu.
"Kita harus punya digital literacy. Dan bagaimana algoritma itu bekerja. Supaya kita bisa ngajarin anak cara berinternet yang aman itu seperti apa. Contoh misalnya gini, kita tahu ketika sekali kita nonton video yang lama di social media, Video yang temanya sama akan muncul terus di algoritma kita. Dan bagaimana kita mengacak algoritma itu lagi. Itu yang jadi PR-nya orang tua, untuk bisa ngajarin ke anak-anak," kata Samanta.
Sementara itu, dia juga menjelaskan waktu ideal anak remaja bermain gadget untuk berselancar di internet maksimal dua jam per hari. Namun Samanta mengatakan ada potensi mereka berupaya untuk menggunakannya lebih dari waktu yang ditentukan secara diam-diam.
Jadi penting sebagai orang tua untuk bisa mengajarkan anak-anak bisa melakukan self-control. Dengan begitu, mereka bisa lebih disiplin dengan penetapan waktu yang ada dan tidak perlu diingatkan lagi.
"Jadi sebetulnya balik lagi bagaimana kita bisa mengajarkan mereka self-control. Dari kita ngobrol sama mereka. Ketika kita ngobrol sama mereka, mereka punya pemahaman dan akhirnya itu menjadi self-controlnya mereka. Kalau waktunya 2 jam yaudah 2 jam," ujarnya.
"Kalau enggak kan kita harus selalu kasih time reminder di handphonenya terus kan. Kalau seperti itu berarti dia tidak berkembang self-controllnya. Jadi kayak udah harus otomatis mati baru dia stop," dia menambahkan.
Dengan self-control yang tepat, anak-anak bisa mengontrol dorong impulsif dalam perilaku yang mereka tampilkan.
(fab/fab)