Gunung Es Raksasa 1,1 Triliun Ton Pecah, Ilmuwan Beri Kabar Mengerikan
Jakarta, CNBC Indonesia - Gunung es terbesar dan paling paling lama bertahan di dunia bernama A23A mulai pecah dengan cepat menjadi bongkahan-bongkahan besar. Gunung es raksasa seberat hampir 1,1 triliun ton dengan luas semula mencapai 3.672 km persegi itu telah menyusut drastis dan terancam hancur sepenuhnya dalam waktu dekat.
A23A pertama kali pecah dari Rak Es Filchner-Ronne di Antartika pada 1986. Selama lebih dari 30 tahun, gunung es ini sempat tertahan di dasar laut Laut Weddell hingga akhirnya terlepas pada 2020 dan hanyut ke arah utara. Tahun ini, ukurannya tinggal sekitar 1.700 km persegi atau sebanding dengan wilayah Greater London.
Sejak Mei lalu, A23A mengikuti arus kuat bernama Southern Antarctic Circumpolar Current Front (SACCF) yang mengalir berlawanan arah jarum jam di sekitar Pulau Georgia Selatan.
Arus inilah yang kini menyeret gunung es dan pecahannya ke timur laut, kawasan yang dikenal sebagai jalur kuburan gunung es (iceberg alley).
"Gunung es ini dengan cepat terpecah dan melepaskan bongkahan besar, yang masing-masing kini diklasifikasi sebagai gunung es besar oleh US National Ice Center," jelas Andrew Meijers, ahli oseanografi BAS, dikutip dari CNN, Sabtu (6/9/2025).
Ilmuwan es University of Colorado Ted Scambos menambahkan A23A berpotensi runtuh mendadak seperti longsoran es di laut.
Ia menjelaskan, peristiwa ini tidak langsung menaikkan permukaan laut, karena bongkahan es memang sudah mengapung.
Posisi gunung es terbesar dunia kini sudah diambil alih oleh D15A, yang luasnya sekitar 3.000 km persegi dan relatif stabil di pesisir Antartika dekat Pangkalan Davis milik Australia.
Para peneliti mengingatkan, meski pecahnya A23A tidak langsung menaikkan permukaan laut karena sudah mengapung, berkurangnya rak es membuat gletser daratan lebih mudah mengalir ke laut. Hal ini dapat memicu kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang.
"Lepasnya air tawar dingin dalam jumlah besar kemungkinan berdampak besar pada organisme dasar laut maupun ekosistem sekitarnya," kata juru bicara BAS.
"Mempelajari dampak ini penting, karena gunung es besar bisa semakin sering muncul di sekitar Georgia Selatan akibat pemanasan global," tambahnya.
(dce)