
Bukan Impor, Ekspor RI Lewat Ecommerce Ternyata Lebih Besar

Jakarta, CNBC Indonesia - Revisi aturan perdagangan lintas batas negara (cross-border) lewat ecommerce harus dijalankan dengan cermat. Pasalnya, banyak perusahaan RI yang mengekspor produknya lewat marketplace. Bahkan, volume ekspor lebih besar dari impor.
Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono mengingatkan bahwa revisi aturan ecommerce cross-border bisa berdampak ke UMKM yang giat menjual produknya di pasar luar negeri lewat marketplace regional.
Kegiatan perdagangan cross-border lewat platform ecommerce, menurutnya, sudah dimanfaatkan dengan baik oleh UMKM di Indonesia. Bahkan, di beberapa platform angka ekspor lewat marketplace lebih besar daripada angka impor.
"Ada platform besar yang melakukan transaksi ekspor cross-border UMKM ke enam negara dengan volume melebihi angka impor," kata Sonny dalam keterangan resminya, seperti dikutip Rabu (2/8/2023).
Artinya, lanjut dia, transaksi ini sesungguhnya memperbaiki neraca berjalan RI yaitu selisih antara ekspor dan impor di suatu negara.
Oleh karena itu, penutupan keran transaksi impor lintas negara tersebut malah bisa mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja menghentikan semua transaksi cross-border ke Indonesia.
Kemendag berencana merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Kabarnya, pemerintah akan melarang impor barang seharga US$ 100 atau sekitar Rp 1,5 juta lewat platform ecommerce.
Selain itu, APLE menyebut proses impor cross-border ke Indonesia dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesori ponsel dan/atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor ilegal. Secara prinsip ekonomi, jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung.
Sonny menyebut kondisi ini sebenarnya sudah tergambar pada e-commerce lokal yang menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual non-importir.
Ia menjelaskan bahwa platform yang memfasilitasi transaksi cross-border semacam ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, tetapi di berbagai negara. Namun demikian, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan yang sama, yaitu berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu.
"Dari sisi proses, impor dilakukan seratus persen secara digital dan terotomatisasi, terlebih bea cukai sudah mengaplikasikan e-catalog agar pendapatan negara yang berasal dari bea masuk (BM), pajak pertambahan nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) yang besar dapat dipastikan sesuai," jelasnya.
Oleh karena itu, APLE berharap pemerintah tetap memberikan dukungan bagi platform belanja untuk menjalankan transaksi cross-border. Sebab, platform yang tidak melakukan transaksi crossborder justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM tersebut lantaran masih ada barang eks-impor di sana yang memang boleh diperjualbelikan tanpa harus memenuhi kewajiban pemberian keterangan asal barang.
"Tentu hal semacam ini malah merugikan negara, karena barang-barang eks-impor ini tidak dikenai pajak," tutur dia.
(dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Survei APJII: 73,7% UMKM Pilih Jualan di Tokopedia
