BPK Soroti Transaksi Murah Antar Bank BI FAST, Ada Apa?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Jumat, 07/10/2022 13:55 WIB
Foto: BI-FAST. (Dok. Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan temuan permasalahan dalam penetapan nilai tarif transfer BAnk Indonesia Fast Payment atau BI FAST. BPK menilai, BI tidak transparan dan akuntabel.

Temuan BPK mengenai BI FAST tersebut tertuang di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2022, yang dikutip Jumat (4/10/2022).

Seperti diketahui, pada 2021, BI meluncurkan BI FAST yang merupakan infrastruktur sistem pembayaran ritel non tunai bagi masyarakat dan dapat diakses melalui aplikasi yang disediakan oleh industri sistem pembayaran.



Sehubungan dengan hal tersebut, BI telah menetapkan biaya transaksi kredit individual BI-FAST melalui Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia Nomor 23/7/KEP.DpG/2021 tentang Penetapan Biaya Transaksi dalam Penyelenggaraan BI-FAST.

Namun demikian, BPK memandang BI belum memiliki pedoman baku untuk menghitung biaya transfer dana dan belum memiliki peraturan mengenai tata cara pengenaan biaya transfer dana sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

"Akibatnya, biaya transfer BI-FAST tidak transparan dan akuntabel," jelas BPK.

Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan agar Gubernur BI memerintahkan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) berkoordinasi dengan Kepala Departemen Hukum (DHK) untuk menyusun kebijakan harga sistem pembayaran termasuk transfer dana, sesuai dengan amanat Pasal 68 UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Temuan lain dalam audit laporan keuangan BI Tahun 2021 oleh BPK yakni mengenai pengadaan barang dan jasa dengan nilai lebih dari Rp 250 juta.




Dalam Peraturan Dewan Gubernur (PDG) Nomor 18/9/PDG/2016 menyebutkan bahwa untuk pengadaan barang dan jasa dengan nilai lebih dari Rp 250 juta, penyedia wajib memberikan jaminan pelaksanaan sebesar 5% dari nilai kontrak induk.

Sementara untuk pengadaan dengan nilai penawaran lebih rendah dari 80% harga perkiraan sendiri (HPS), maka nilai jaminan dihitung lebih dengan menggunakan dasar penghitungan sebagaimana diatur dalam PDG Nomor 18/9/PDG/2016.

Sehingga jaminan pelaksanaan atas pekerjaan pengembangan dan pemeliharaan BI-CBS (core banking system) dan pekerjaan pengembangan dan pemeliharaan BI-FAST masing-masing kurang sebesar Rp 1,14 miliar dan Rp 4,26 miliar.

"Akibatnya, BI berisiko tidak terpenuhi haknya apabila penyedia wanprestasi," jelas BPK.

BPK juga menilai, penyusunan HPS pekerjaan pengembangan dan pemeliharaan aplikasi 3-Commercial Off The Shelf (3-COTS) dan BI FAST tidak memperhitungkan klasifikasi skala perusahaan penyedia.

Selain itu, penyusunan HPS atas pekerjaan tersebut mempertimbangkan inflasi untuk komponen biaya jasa personel yang tidak memiliki dasar rujukan.

"Akibatnya, nilai HPS pekerjaan pengembangan dan pemeliharaan aplikasi 3-COTS dan BI-FAST tidak sepenuhnya mencerminkan kewajaran harga," tulis BPK dalam laporannya.



Oleh karena itu BPK merekomendasikan Gubernur BI agar memerintahkan Kepala Departemen Audit Intern (DAI) untuk memvalidasi kekurangan penetapan nilai jaminan pelaksanaan sebesar Rp 5,40 miliar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Menurut BPK, Gubernur BI juga harus memerintahkan Anggota Dewan Gubernur (ADG) Bidang untuk memberikan pembinaan kepada Kepala Departemen Pengelolaan Strategis yang tidak mematuhi ketentuan dalam penetapan jaminan pelaksanaan pekerjaan.

BPK juga merekomendasikan Gubernur BI agar memerintahkan ADG Bidang untuk memberikan pembinaan kepada Kepala Departemen Pengelolaan Strategis yang tidak mematuhi ketentuan dalam penetapan HPS dan penetapan Juknis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengadaan yang tidak mempedomani PDG Nomor 18/9/PDG/2016.


(cap/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Adopsi Teknologi Tinggi, Infrastruktur Digital Makin Diperkuat