Cacar Monyet Sudah Ada Dulu, Apa Bedanya yang Sekarang?

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
Rabu, 27/07/2022 20:38 WIB
Foto: Gambar mikroskop elektron yang disediakan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit ini menunjukkan virion cacar monyet. (Cynthia S. Goldsmith, Russell Regner/CDC via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Cacar monyet atau monkeypox sebenarnya bukan penyakit baru. Namun pada Sabtu 23 Juli 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menyatakan monkeypox sebagai Darurat Kesehatan Global.

Cacar monyet pertama kali terdeteksi pada tahun 1958 dan mulai mengenai manusia pertama kali pada 1970. Meski begitu, cacar monyet dulu dan sekarang ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan.


Penyakit ini dulunya dapat terjadi pada segala kategori usia, termasuk pada anak-anak. Namun yang terjadi saat ini, justru cacar monyet lebih banyak terdeteksi pada orang dewasa.

"Jadi sebetulnya ada perbedaan gambaran klinis yang bisa ditemukan dari laporan kasus di Afrika dengan kasus tiga bulan terakhir ini," ujar dokter spesialis penyakit dalam, Robert Sinto dalam konferensi pers Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Rabu (27/7/022).

Biasanya, gejala cacar monyet yang muncul kala itu berupa dataran merah, menonjol, berisi cairan, dan terakhir akan menjadi keropeng dan melepas. Dulu, gejalanya hampir mirip dengan cacar air, tetapi perbedaannya adalah cacar air perubahan dari satu gambaran ke gambaran lain membutuhkan waktu yang cepat. Sehingga dalam hitungan hari, cacar air bisa ada yang keropeng, ada yang mulai bintil isi air dan ada yang masih datar merah.

"Nah ini yang tidak terjadi pada cacar monyet. Cacar monyet gambarannya dalam satu waktu kita akan bertemu tampilan klinis yang sama. Jadi kalau bertemu dengan bintil isi air, pada waktu itu semuanya bintil isi air," terangnya.

Robert menjelaskan, yang bisa menjadikan pembeda antara cacar air dan cacar monyet adalah munculnya bintil isi air di telapak tangan.

"Yang membedakannya lagi dengan cacar air adalah di telapak tangannya biasa terdampak. Kalau cacar air tidak di telapak tangan," tuturnya.

Pada kasus cacar monyet terjadi pembengkakan pada kelenjar getah bening. Sedangkan pada kasus cacar air biasa tidak ditemukan adanya pembengkakan yang terjadi di area tersebut.

"Itu adalah gambaran klasik yang dilaporkan di Afrika. Sampai kemudian ada dua publikasi besar di tiga bulan terakhir ini yang melaporkan gambaran berbeda yang kita temukan saat ini," ujar Robert.

"Jadi cacar monyet yang tiga bulan terakhir banyak ditemukan di daerah non-endemis itu justru lesinya atau gambar kulitnya terlokalisir," tambahnya.

Robert menyebutkan bahwa pada kasus cacar monyet yang ditemukan saat ini, lesi atau luka yang muncul terjadi di satu tempat. Biasanya di sekitar mulut, kemaluan, atau di sekitar lubang dubur.

"Jadi di laporannya justru localize. Jumlah lesinya juga 50 persen itu justru 5 sampai 10 saja, jadi tidak menyebar dari seluruh atas sampai kaki," kata Robert.

"Karena laporannya banyak dilaporkan pada mereka yang sexual active, tentu laporan yang terjadi pada anak itu tidak banyak saat ini," Robert menjelaskan.

Namun Roberts menegaskan bahwa cacar monyet bukanlah penyakit menular seksual. Hanya saja dilaporkan penularan banyak terjadi pada mereka yang aktif secara seksual.

"Jadi jangan salah mengerti. Ini belum dinyatakan sebagai penyakit menular seksual." pungkasnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Dorong Ekonomi Digital RI Lewat AI, Cloud & Data Center