
Kian Diterima Pasar, Bitcoin Berisiko Picu Krisis Keuangan?

Bitcoin muncul sebagai respon atas krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008. Dengan nilai yang terus meroket, dan beberapa pihak menganggapnya sebagai aset berbahaya hingga bubble, seandainya mengalami crash, akan kah bitcoin memicu krisis? Tentu akan menjadi ironi, aset yang muncul karena krisis malah memicu krisis.
Sejarawan ekonomi dari University of Cambridge, Garrick Hileman, mengatakan mata uang kripto berisiko memicu krisis finansial. Hileman mengatakan semakin banyaknya institusi finansial yang tertarik dengan mata uang kripto membuatnya semakin cepat menjadi "penting secara sistemik" sehingga menimbulkan "risiko yang sistemik".
Hileman mengatakan hal tersebut pada akhir 2017 lalu kepada Business Insider, saat itu harga bitcoin masih di kisaran US$ 19.000/BTC.
Saat itu Hileman mengatakan jika terjadi crash di pasar finansial maka bitcoin dan mata uang kripto akan semakin banyak diterima. Prediksinya jitu, pasar finansial global sempat mengalami gejolak pada Maret 2020 ketika virus corona dinyatakan sebagai pandemi global. Sejak saat itu semakin banyak institusi finansial hingga perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi di bitcoin, harganya pun terus meroket.
Di taun 2017 lalu, harga bitcoin meroket nyaris 2000%, hingga mendekati US$ 20.000/BTC. Saat itu para ekonom dalam sebuah survei menyatakan bitcoin belum memiliki risiko pemicu krisis, sebab kapitalisasi pasarnya yang kecil dan terpisah dari pasar finansial lainnya.
Kapitalisasi pasar bitcoin maupun seluruh mata uang kripto saat ini tentunya sudah berlipat-lipat, sebab harganya sudah bergerak di kisaran US$ 60.000/BTC. Berdasarkan data Coin Market Cap, kapitalisasi pasar bitcoin saat ini nyaris US$ 1,1 triliun.
Kapitalisasi pasar tersebut setara dengan nilai produk domestik bruto Indonesia, meski dibandingkan aset lainnya masih lebih kecil.
Sebagai perbandingan, Morgan Stanley Wealth Management yang memberikan layanan akses bitcoin memiliki aset AUM (asset under management) sebesar US$ 1,24 triliun per 30 Juni 2020, berdasarkan data dari ADV Rating.
Artinya kapitalisasi pasat bitcoin saat ini masih di bawah AUM Morgan Stanley Wealth Management.
Sementara kapitalisasi pasar seluruh mata uang kripto saat ini sebesar US$ 1,81 triliun. Kapitalisasi pasar tersebut juga lebih rendah dari AUM USB Wealth Management sebesar US$ 2,6 triliun per 30 Juni 2020.
Kapitalisasi pasar seluruh mata uang kripto juga jauh lebih rendah dari emas yang berada di kisaran US$ 11 triliun.
Pun, jika dianggap kapitalisasi pasar bitcoin masih belum cukup besar untuk memicu krisis, Hileman menyebut integrasi dengan pasar finansial tradisional mulai terjadi dan perkembangannya sangat cepat. Sehingga, mata uang kripto tidak hanya mengancam stabilitas, tetapi bisa "memperburuk" krisis jika terjadi lagi.
"Anda bisa keluar dari sistem perbankan tradisional dengan sangat mudah ke sesuatu yang tidak terkoneksi, dan itu bisa memperburuk sebuah krisis" kata Hileman.
Sementara itu invetor veteran, Mark Mobious, dalam acara CNBC Pro Talk Rabu (18/3/2021) kemarin mengatakan ia "berharap dan berdoa" harga bitcoin tidak mengalami crash, sebab hal itu akan memicu anjloknya pasar yang lebih luas.
Menurut Mobius, kenaikan mata uang kripto menjadi salah satu alasan pasar saham menguat, sebab banyak pemain bitcoin, bahkan yang menjadi miliuner semakin berani mengambil risiko di aset lainnya.
"Ini merupakan salah satu alasan kenapa kinerja pasar saham menjadi bagus, orang-orang yang membeli bitcoin, katakanlah diharga US$ 1 atau US$ 10, saat ini menjadi kaya," kata Mobius sebagaimana dilansir CNBC International.
"Orang-orang itu bersedia 'membuang' uangnya di pasar saham bahkan berjudi. Saya berharap dan berdoa harga bitcoin tidak akan crash, sebab jika itu terjadi saya pikir akan ada kemerosotan di pasar saham," tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/roy)
[Gambas:Video CNBC]