Kian Diterima Pasar, Bitcoin Berisiko Picu Krisis Keuangan?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 March 2021 19:34
bitcoin
Foto: Bitcoin (REUTERS/Mark Blinch)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang kripto, bitcoin, kembali mendapat angin segar yang bisa membuatnya diterima semakin luas. Salah satu bank raksasa Amerika Serikat (AS), Morgan Stanley, dalam layanan wealth management, menawarkan akses ke bitcoin kepada para nasabah yang kaya raya.

Kabar tersebut dilaporkan CNBC International Rabu (17/3/2021) yang mengutip dari seorang sumber yang menolak untuk dipublikasikan indentitasnya.

Meroketnya harga bitcoin memang menarik perhatian bank-bank besar di Negeri Paman Sam. Apalagi setelah investor institusional hingga perusahaan besar semacam Tesla mulai masuk pasar bitcoin.

Namun, Morgan Stanley menjadi bank besar pertama di AS yang memberikan layanan bitcoin ke nasabahnya. Meski tidak semua nasabah, bahkan yang kaya, bisa mendapatkan layanan tersebut. Morgan Stanley baru akan memberikan akses kepada nasabah dengan "toleransi risiko yang agresif" yang memiliki dana yang dikelola perusahaan minimal US$ 2 juta.

Selain itu, Morgan Stanley juga menerapkan aturan yang ketat, investasi di bitcoin dibatasi maksimal 2,5% dari dana yang dimiliki.

Harga bitcoin pada perdagangan kemarin menguat lebih dari 2% ke US$ 57.725,64/BTC, dan berlanjut naik 1% lebih hari ini. Sementara rekor tertinggi sepanjang masa berada di US$ 61.780,63/BTC yang dicapai pada Sabtu 13 Maret lalu.

Jika langkah Morgan Stanley diikuti bank besar lainnya, bukan tidak mungkin harga bitcoin akan terus melesat memecahkan rekor tertinggi baru.

CEO Pantera Capital, Dan Morehead, memprediksi harga bitcoin kini menuju US$ 115.000/BTC di bulan Agustus nanti. Prediksi tersebut diberikan pada April 2020 lalu, saat harga bitcoin masih di bawah US$ 9.000/BTC.

"Bitcoin saat ini menuju target yang kami berikan pada April 2020 lalu, yakni di US$ 115.000/BTC di musim panas tahun ini," kata Morehead dalam sebuah rilis yang dikutip CoinDesk, Kamis (17/3/2021).

Selain menimbulkan euforia di pasar finansial, bitcoin juga masih menuai kontra. Masih banyak tokoh-tokoh finansial global yang menyebut bitcoin sebagai suatu aset yang berbahaya, sebut saja Menteri Keuangan AS, Janet Yellen.

Kemudian pemerintah India juga akan melarang segala macam aktivitas terkait mata uang kripto, pelakunya bisa terancam sanksi denda hingga hukuman penjara.
Bitcoin diberi cap "mother of all bubbles" oleh Michael Hartnett, kepala strategi investasi Bank of America.

idrFoto: CNBC International

"Reli bitcoin belakangan ini bisa jadi merupakan kasus spekulasi mania lainnya. Bitcoin terlihat seperti 'mother of all bubbles'," kata Hartnett, sebagaimana dilansir CNN Business, Jumat (8/1/2020).

Saat Hertnett mengungkapkan hal tersebut, harga bitcoin berada di kisaran US$ 40.000/btc, jika dibandingkan dengan level saat ini, sudah melesat nyaris 50% lagi.

Hartnett melihat bitcoin melesat jauh lebih besar dari kenaikan aset-aset yang pernah mengalami bubble dalam beberapa dekade terakhir. Harga emas yang melonjak 400% di akhir 1970an misalnya, kemudian bursa saham Jepang di akhir 1980an, hingga dot-com bubble di akhir 1990an.

Aset-aset tersebut melesat 3 digit persentase, sebelum akhirnya crash dan nyungsep senyungsep-nyungsepnya.

Meski demikan, Hartnett tidak memberikan prediksi harga bitcoin akan nyungsep, ia hanya menunjukkan jika bitcoin menjadi contoh meningkatnya aksi spekulasi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Bitcoin Bisa Picu Krisis Finansial?

Bitcoin muncul sebagai respon atas krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008. Dengan nilai yang terus meroket, dan beberapa pihak menganggapnya sebagai aset berbahaya hingga bubble, seandainya mengalami crash, akan kah bitcoin memicu krisis? Tentu akan menjadi ironi, aset yang muncul karena krisis malah memicu krisis. 

Sejarawan ekonomi dari University of Cambridge, Garrick Hileman, mengatakan mata uang kripto berisiko memicu krisis finansial. Hileman mengatakan semakin banyaknya institusi finansial yang tertarik dengan mata uang kripto membuatnya semakin cepat menjadi "penting secara sistemik" sehingga menimbulkan "risiko yang sistemik".

Hileman mengatakan hal tersebut pada akhir 2017 lalu kepada Business Insider, saat itu harga bitcoin masih di kisaran US$ 19.000/BTC.

Saat itu Hileman mengatakan jika terjadi crash di pasar finansial maka bitcoin dan mata uang kripto akan semakin banyak diterima. Prediksinya jitu, pasar finansial global sempat mengalami gejolak pada Maret 2020 ketika virus corona dinyatakan sebagai pandemi global. Sejak saat itu semakin banyak institusi finansial hingga perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi di bitcoin, harganya pun terus meroket.

Di taun 2017 lalu, harga bitcoin meroket nyaris 2000%, hingga mendekati US$ 20.000/BTC. Saat itu para ekonom dalam sebuah survei menyatakan bitcoin belum memiliki risiko pemicu krisis, sebab kapitalisasi pasarnya yang kecil dan terpisah dari pasar finansial lainnya.

Kapitalisasi pasar bitcoin maupun seluruh mata uang kripto saat ini tentunya sudah berlipat-lipat, sebab harganya sudah bergerak di kisaran US$ 60.000/BTC. Berdasarkan data Coin Market Cap, kapitalisasi pasar bitcoin saat ini nyaris US$ 1,1 triliun.

Kapitalisasi pasar tersebut setara dengan nilai produk domestik bruto Indonesia, meski dibandingkan aset lainnya masih lebih kecil.

Sebagai perbandingan, Morgan Stanley Wealth Management yang memberikan layanan akses bitcoin memiliki aset AUM (asset under management) sebesar US$ 1,24 triliun per 30 Juni 2020, berdasarkan data dari ADV Rating.

Artinya kapitalisasi pasat bitcoin saat ini masih di bawah AUM Morgan Stanley Wealth Management.

Sementara kapitalisasi pasar seluruh mata uang kripto saat ini sebesar US$ 1,81 triliun. Kapitalisasi pasar tersebut juga lebih rendah dari AUM USB Wealth Management sebesar US$ 2,6 triliun per 30 Juni 2020.

Kapitalisasi pasar seluruh mata uang kripto juga jauh lebih rendah dari emas yang berada di kisaran US$ 11 triliun.

Pun, jika dianggap kapitalisasi pasar bitcoin masih belum cukup besar untuk memicu krisis, Hileman menyebut integrasi dengan pasar finansial tradisional mulai terjadi dan perkembangannya sangat cepat. Sehingga, mata uang kripto tidak hanya mengancam stabilitas, tetapi bisa "memperburuk" krisis jika terjadi lagi.

"Anda bisa keluar dari sistem perbankan tradisional dengan sangat mudah ke sesuatu yang tidak terkoneksi, dan itu bisa memperburuk sebuah krisis" kata Hileman.

Sementara itu invetor veteran, Mark Mobious, dalam acara CNBC Pro Talk Rabu (18/3/2021) kemarin mengatakan ia "berharap dan berdoa" harga bitcoin tidak mengalami crash, sebab hal itu akan memicu anjloknya pasar yang lebih luas.

Menurut Mobius, kenaikan mata uang kripto menjadi salah satu alasan pasar saham menguat, sebab banyak pemain bitcoin, bahkan yang menjadi miliuner semakin berani mengambil risiko di aset lainnya.

"Ini merupakan salah satu alasan kenapa kinerja pasar saham menjadi bagus, orang-orang yang membeli bitcoin, katakanlah diharga US$ 1 atau US$ 10, saat ini menjadi kaya," kata Mobius sebagaimana dilansir CNBC International.

"Orang-orang itu bersedia 'membuang' uangnya di pasar saham bahkan berjudi. Saya berharap dan berdoa harga bitcoin tidak akan crash, sebab jika itu terjadi saya pikir akan ada kemerosotan di pasar saham," tambahnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cerita Gokil Bitcoin Sempat Tembus Rp 190 Juta Gegara Paypal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular